Risau-risau di Ujung Siak


Risau-risau di Ujung Siak
Oleh Rian Harahap
Pagi menenteng surya di balik rerumputan. Ada kicauan burung-burung yang menjamah kaki bukit. Tetes hujan tadi malam belum lagi berpisah dari becek yang mengakar di ujung jalan. Belukar semakin menyemak tinggi sedada orang dewasa. Kampung ini sudah lama tidak tercatat di pelajaran-pelajaran bahkan di peta. Ya, kampung kami yang jauh di seberang ibukota bahkan beribu kilometer dari suasana mesin-mesin ringsek menghunus kepala. Dedaunan beriring menjerjak kesenangan menyambut mentari yang setiap hari hadirnya di ekor mata. Tiada yang berubah sinar surya tetap hadir di ujung dermaga dan sembunyi jika pada waktunya di balik bakau-bakau yang karam.
Aku merinding ketika melangkah ke dalam kesunyian kampung ini. Ada burung-burung yang malu berkicau. Ada tua yang berlari tak seperti biasa. Ada gemuruh kecil dunia yang tak berkumpul seakan peka  kemodernitasan. Kampung ini semakin lama semakin tak asing kubaca liuknya. Ya, kampung ini ialah Melebung. Aku dibesarkan di kampung ini. Kampung yang dahulunya menjadi peraduan bocah-bocah merah putih menitip mimpi pada bendera. Setiap upacara ada pesan yang ingin diteriakkan dalam hormatnya kepada sang saka. Aku masih ingat lagi betapa beberapa dari kami begitu khidmatnya hingga meneteskan air mata jika sudah hormat kepada bendera. Begitu berbekas di ingatanku semua itu.
Hatiku kini dibawa ke masa lalu. Masa dimana gembira-gembira kami dahulu menumbuh dengan sendirinya. Tiada paksaan dari sesama bahkan orang tua yang membiarkan kami berlari di padang sawah. Hijau, tak ada yang menguning di sepanjang batas mata. Masa paling indah pula ketika kami harus bermandi dan meloncat ke sungai yang paling dalam di negeri ini. Entah betul atau tidaknya aku belum percaya. Sebab kami tidak pernah mengenyam buku sama sekali di masa hijau itu. Jujur saja aku sudah rindu dengan udara yang kuhirup setiap pagi. Bangun setiap subuh untuk mendengar ceramah ustad Rozak yang sangat hapal dengan Al-Quran sehingga beberapa temanku sangat kagum padanya. Aku hanya bisa tertawa melihat kami yang sewaktu itu masih bocah kecil ingusan yang sudah tahu pula arti kekaguman.
Masa terindah dalam hidup ialah masa kanak-kanak. Aku sangat sepakat dengan anggapan itu. Sebuah angggapan yang mungkin dinyana orang sebagai pernyataan klise. Masa kanak-kanakku semakin membekas dalam rusuk-rusuk dahulu yang pernah menerka malam. Ini masa dimana aku bekerja keras mengingat setiap ucap dan kalimat yang tertata dalam tawa dan canda.
Namun itu dahulu ketika masih ada yang diharapkan oleh sebait awan. Aku sudah lama tidak menjumpai masa itu, apalagi setelah kami sekeluarga pindah ke kota.
“Apakah melebung masih sama?”
Ah, entahlah aku juga tidak tahu dengan racauku yang aneh itu.
Hidup di kota membuatku hilang dengan tawa dan canda semuanya harus dibalut kesibukan tanpa ada kekeluargaan. Inilah pisau yang terus menguhujan jantungku dengan tajamnya. Hingga rindu ini memuncak sepenuh gelombang di tengah lautan. Ya, aku begitu rindu dengan semua itu.
“Aku harus pergi kesana”, pikirku cepat.
Segera kucoba menembus ruang direkturku untuk mengambil cuti beberapa hari. Sulit memang ia memberi sebuah tiket cuti bagiku. Namun dengan berbagai lobi ala perompak aku pun dapat menikmati cuti itu. Tujuanku satu yaitu ke Melebung.
***
Senja menyemut dengan riak sungai siak di batas hari. Aku berlari kecil dalam pikiran untuk menerawang situasi disana. Sudah tiada lagi kesabaran dalam ubun ini untuk melihat kampungku. Jika naik kapal seperti ini aku jadi ingat kejadian beberapa tahun lalu. Waktu itu Ibu sedang dalam tahap belajar mendayung sampan kecil atau ketek. Belum lagi ibu mendayung, aku sudah meraung di pinggir dermaga usang itu untuk menahannya tidak pergi. Apa boleh buat, semuanya tiba-tiba terjadi. Bocah kecil itu lupa jika ia sudah dekat sekali dengan pinggir dermaga dan ya dia jatuh ke dalam sungai Siak. Sungai terdalam di Indonesia.
Tiada yang menyangka siak begitu kejam. Ya, begitu aku tenggelam tiada yang mampu melihat lagi. Betapa tidak, sungai itu pekat dengan lumpur. Ibu langsung mendayung ke arah jatuhku dan selang beberapa menit terlihat sebuah singlet putih. Ibu langsung menariknya ke atas perahu berharap bahwa yang masih memakainya masih lekat. Harapan itu tidak sia-sia semua masih ada dalam restu Tuhan.
Itu sekelumit ceritaku yang rindu dengan Siak. Rindu yang membelah pekatnya kedalaman. Rindu yang membuncah dan tak lagi bisa tertepis. Jarum arlojiku sudah menunjuk pukul 10.15 wib. Sebentar lagi aku sampai di dermaga kecil itu. Aku tidak sabar dengan riak-riak Siak.
Asap tebal mengepul di ujung dermaga menyambut kapalku yang kutumpangi sedari tadi. Semua semakin penuh dengan karbon hingga aku pun batuk dan seisi kapal juga batuk kulihat. Ini semacam sambutan mistis pikirku. Ya aku menyebutnya mistis dalam rona modernitas. Terlihat puluhan pabrik bergelut dengan suara mesin-mesin disana. Kampungku sudah kenal modernitas.
Aku semakin bertualang di dunia masa depan. Masa dimana sawah-sawah berubah menjadi riuh kecepatan yang tak terhentikan. Lirikan mata ini tak mampu menampung kejenuhan berisik yang diatur mesin-mesin. Dalam penasaranku itu masih kusimpan bongkahan-bongkahan cerita masa lalu yang kudapati. Dengan segera kapalku merapat ke tubuh daratan. Begitu liar mata ini menyambut kesibukan yang sudah bergumul tanpa basa-basi kekeluargaan. Melebung telah berubah menjadi sebuah kota. Ya, kota yang luar biasa dengan produksi yang terus berpacu menghadap ke barat. Melebung sudah mendekat dengan kemampuannya menembus batas yang dahulu terkekang. Sekarang mereka sudah mampu membangun istana megah karena telah menjadi satu bagian dari miniatur yang telah diatur. Tidak ada lagi sekolah yang berdinding papan dan semua telah berani menghadap mentari dengan gagah. Tidak ada lagi cerita anak nelayan yang tidak bisa sekolah karena belum ada biaya. Semua telah menjadi mimpi masa depan yang menjanjikan. Mereka dijanjikan oleh sejuta rasa yang sudah lama diagung-agungkan.
            Mendung menyeruput tanah nenek moyangku ini. Kerinduan akan lalu lalang guru sekolah dasarku berboncengan dengan senyuman yang ia taja setiap sorenya. Lari bocah-bocah kecil dalam sapaan yang hangat menjerjak di hati. Jujur aku semakin terburai air mata melihat desa ini menjadi hilang perawannya dalam kesepian. Air mata tidaklah seberapa jika harus diuntai merefleksikan desas-desus kerinduan yang tertanam. Pijakan kakiku kali ini menembus memoar lalu beberapa tahun silam. Berulang kali aku berpkir untuk melangkah keluar dari dermaga ini untuk masuk lebih dalam lagi menyusuri aspal yang dilalui ratusan truk tiap harinya. Namun kesimpulanku sudah bulat dalam relung yang tak biasa. Kegelisahan yang kurangkum akan rindu kampungnya. Semua kuretas dalam ubun-ubun dan menerawang sayup membisik di telinga.
“ Risau-risau di ujung Siak”, pikirku liar.






Komentar

Postingan Populer