Cerpen


Tanah Kami, 26 Desember 2004
Aceh beberapa tahun ini belum lagi siap bergerak dan terjerembab dengan kesuksesan. Di beberapa titik masih tampak orang-orang berseragam dengan membawa senjata. Jarak mereka tak jauh, ada yang berdiri di balik pepohonan dan ada juga yang dengan jelas memampangkan senjata kaliber itu tergantung rapi di bahunya. Otot-otot yang bergeliat menyeruak dan ingin menghempas siapa saja yang akan mengeluarkan kecaman-kecaman atas mereka. Memang tidak ada yang berani melakukan itu disini, sementara mereka pun tahu. Musuh abadi bukanlah tetangga yang setiap hari bersama mereka tapi mereka yang bersiap meluluhkan perjuangan yang mereka sampaikan.
Hujan tak berhenti mengipas desas-desus tentang sebuah perjuangan. Lambat laun bunyi letusan pistol kaliber itu menembakkan pelurunya mengiringi beberapa raungan hutan-hutan lebat di Meulaboh. Beberapa sekat ketenangan berubah pecah menjadi ladang pertempuran bagi setiap tubuh yang dialiri darah perjuangan. Sikap yang siap mati untuk tanah yang nenek moyang yang rela menghentakkan jalan-jalan kebenaran. Masih ingat lagi ketika dahulu sebuah monumen di Negara ini menjadi sumbangan yang besar pula dari rakyat kami. Ini bukan permintaan sebenarnya tentang kedamaian, mungkin komunikasi saja yang belum sampai.
Tampak seorang lelaki tua yang datang dari balik pepohonan. Ia menyandang sebuah senapan kaliber 47. Dari kejauhan memang tampak sekali kekuatannya, badannya yang gempal dengan kumis dan janggut yang merata di bagian wajahnya. Senyum yang siap merekah menjadi simpul bahwa ia adalah pejuang yang santun. Mengucapkan salam dalam setiap perjumpaan persis dengan seluruh warga di negeri serambi ini. Ia adalah ayahku. Tubuhnya yang gempal datang ke pondok tempat kami tinggal. Disana banyak keluarga juga yang menanti kedatangan seorang ayah dengan senyum yang membahana di balik pepohonan. Tentang cerita keindahan yang didapatinya selama meneruskan perjuangan dan menceritakannya pada anak-anaknya agar anaknya kelak tahu apa itu masa lalu, sejarah dan sebuah perjuangan.
Ayah adalah pejuang yang siap mengobarkan mimpinya. Terlebih tentang sebuah perjuangan suci yang telah dicita-citakan oleh teman angkatannya. Mengenai kedigdayaan yang selama ini tidak adil menurut kami. Begitulah Ayah, dengan menyandang senjata setiap hari bergerak menyisir hutan-hutan untuk memastikan bahwa pemukiman anak dan istri pejuang ini bersih dari hal-hal yang mengancam. Langit pun datang dengan kegelapan, lalu ia pun pamit pergi untuk berjaga disisi paling pinggir dari kota ini. Ia berjaga di tepi pantai Meulaboh, disana bersama beberapa temannya mereka siap untuk syahid menjadikan yang benar bagi negeri ini, sementara ibu dan aku di rumah hanya bisa berdoa terus dan menerus, tentang bagaimana kehidupan yang lebih adil untuk sebuah keluarga. Ibu mulai bosan dengan kehidupan yang selalu ditinggalkan oleh Ayah. Dalam benaknya setiap malam, aku melihat matanya mengucurkan air mata yang sibuk menganak sungai. Melimpahkan tetesan air mata itu jatuh ke lantai dengan pasrah. Tak ada asa yang bisa diutarakan pada bocah kecil sepertiku, mengurungnya dalam hati adalah sebuah kejujuran daripada mengikrarkannya dalam bincang tengah malam dengan bocah yang ingusnya masih terus keluar.
Malam-malam yang dipotong oleh cahaya bulan. Tak ingin seperti penyair yang menyebut bulan yang bisa disakukan , ibu malah membuat bulan itu ada dimatanya. Ya, itulah Ayah yang sekarang sedang memegang senjata dan mungkin sedang bermain dengan peluru-peluru tajam yang berkeliaran di atas kepalanya. Dalam doa ibu biarlah negeri ini menjadi damai dengan cepat lalu kami bisa pergi ke sebuah tempat dimana kami bisa menikmati sebagai keluarga yang utuh. Terhembuslah wewangian surga dimana kami bisa duduk dan berbincang tentang sekolahku di masa yang akan datang. Kami bergembira dan melihat taman-taman berbunga, indah sekali. Itu hal yang paling dahsyat dalam doa ibu dan mungkin juga dengan perempuan lain yang sama disini. Dalam barak ini sekitar dua puluh perempuan telah lama berbincang dan menjadi sebuah keluarga besar, jika ada dua puluh wanita maka doa itu pun akan semakin munajab. Ibu berharap itulah yang akan terjadi dalam waktu dekat, sementara orang-orang sibuk dengan egonya masing-masing tentang sebuah idealisme, maka ibu pun hanya meminta satu hari yang indah pada Tuhan. Tentang hari dimana kami bisa berbagi cinta dan sayang, tanpa senjata dan desingan peluru.
Malam mengikik, seterang apa rembulan yang tadi berteriak maka kini ia pun membelah tubuhnya. Menjadi sabit dan mengerlipkan wajah Meulaboh dalam terang yang sederhana. Di dalam hutan, tak ada suara sepeda motor, mobil ataupun mesin-mesin modern. Hanya ada bincang jangkrik dan sesekali auman harimau yang mengendus wangi manusia. Malam sudah mengharuskan ibu dan aku tidur mala mini. Tentang memimpikan pagi yang indah di taman di atas dipan-dipan malam ini. Tak ada lagi anak seumuranku yang terjaga, mereka sudah pulas akaibat kecapekan bermain bola bersamaku tadi sore. Itulah tanda bahwa mata harus terpejam saat logika tak lagi merintih sama. Ibu pun coba memejamkan mata, seakan ia betul-betul melakukan itu. Meski ada sesak yang kudengar dari helaan nafasnya, tentang pikirannya yang melayang dan berkobar mengikis rindu-rindu seorang tersayang. Bahkan ibu pun memcoba memelukku dengan erat, tubuhku yang mugil ini semakin lama semakin kuat didekapnya. Itu seperti rindu yang tak terperi lagi oleh hitungan angka-angka dan waktu. Memang baru sedari tadi pagi Ayah disini dan malam baru pergi lagi menuju pantai., tapi itu tak sama seperti logika waktu. Pernikahan ibu yang baru seumuran jagung dan rutinitas pertemuan yang sedikit membuatnya kalang kabut. Menerima kasih dan sayang yang digantung oleh hutan dan pantai, terlebih lagi senjata-senjata itu. Cuma saja ia tetap tak ingin mengatakan itu lewat kata, cukup dengan pelukan ada anak yang terus bersamanya.
Makin sunyi, jangkrik makin bergerilya. Taka ada lagi lampu teplok yang menyandar di dinding. Semua sudah padam dan menemukan mimpi kebahagiannya dibawah alam sadar. Tergiling syarat-syarat kehidupan yang terlalu kejam di hari-hari biasa. Jangkrik itu pun terus bernyanyi dan berdendang. Setelah hujan mereka merdeka dan tak ingin dilalui oleh katak yang mulai dengan antusiasme vokalnya. Menyenandungkan lagu-lagu indah agar seisi barak bisa tidur dengan tenang. Hingga akhirnya ada sebuah cahaya datang dari balik pepohonan. Cahaya itu tak tentu arahnya, berlari seperti tidak fokus sama sekali. Cahayanya membentur dinding-dinding barak ini. aku melihat cahaya itu seperti kibasan cahaya malaikat yang datang menjemput maut. Apakah cuma aku yang melihat ini? sudah tepatkah aku yang haurs mati terlebih dahulu di dalam hutan ini? itu hanya anggapan sementara namun membuatku merinding, terlebih ia semakin lama semakin dekat. Memang tak ada suara, hanya langkah kaki yang semakin kencang. Mendentum tanah-tanah becek dan memercik. Dengusan nafas dingin dan membuat asap seperti kabut dalam cahaya itu. Itu seperti cahaya senter seorang yang berlari. Tubuhnya mendekat ke arah barak, hingga suarapun makin lebar dan mengalahkan jangkrik-jangkrik.
“Tolong-tolong!”
Suaranya membahana mengisi kekosongan. Bulan terkejut dan menitihkan mata melotot ke bumi. Apa sebenarnya yang terjadi? Beberapa orang terjaga dan mulai mengucek matanya. Lampu teplok kembali dihidupkan oleh Abah-seorang penjaga barak-dan membuat ruangan ini terang. Wajah-wajah yang masih bingung dengan teriakan minta tolong tadi.
“Siapa yang minta tolong?, teriak Abah.
“Aku disini, diluar”
“Kau siapa?”, seakan Abah yakin ini bukan salah satu dari kami.
“Ini aku Rasyid”
Maka hembusan nafas Abah pertanda ia percaya bahwa dibalik pintu merupakan orang yang ia kenal. Rasyid seorang pejuang yang juga ikut menjaga di daerah pantai. Saat itu juga pintu dibuka. Rasyid tergopoh-gopoh, ada bercak darah diseragamnya. Seperti darah yang telah lama terciprat. Ia sesak nafas telah berlari ke arah barak.
“Ada apa? coba kau duduk dulu disini. Kau terluka?”
“Tidak apa-apa, jangan khawatirkan aku. Ini biasa” , Rasyid memegang lengannya yang tertembus peluru dengan senyuman.
“Kami sedang berjaga di daerah pantai, namun ada serangan dari luar. Dari sebuah perahu yang mungkin itu mata-mata.  Kami pikir itu perahu nelayan, Cuma berondongan peluru langsungan menghadang kami ketika itu kami biarkan merapat ke pantai”
“Jadi sekarang?”
“Sekarang, mereka sedang bertempur. Aku ditugaskan untuk memberi kabar pada kalian. Jika tidak aku akan tetap disana, hingga aku bisa menjadi pejuang yang terus setia pada nasib rakyatnya”
Semua yang berada disana pelan-pelan diam. Melihat tubuh Rasyid seakan tubuh yang mereka miliki. Keluarlah bayang-bayang kegelapan tentang tubuh pria yang mereka sayangi akan sama seperti Rasyid atau lebih mungkin. Tetesan air mata jatuh ke bumi membasahi keheningan dan kehampaan. Mimpi pecah setelah teriakan tolong dalam hiruk pikuk kedamaian. Aku pun ngilu, tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku yang kecil menolak untuk mengangkat senjata yang ada di gudang sebelah barak. Andai saja tubuh ini sudah besar maka aku akan menjadi sebuah godam yang siap melanglang buana di pinggir pantai Meulaboh. Namun Abah satu-satunya pria yang ada di barak mengatakan tak ada yang boleh keluar dari barak. Tunggu hingga pagi tiba.
“Menunggu pagi tiba?”, pikirku.
Aku tak sepakat akan hal itu menunggu pagi tiba. Ini semacam pembiaran pada Ayah kami. Namun wacana sudah diuntai oleh pria itu. Kami menunggu hingga pagi tiba. Saat mentari itu datang, kami sudah gembira. Lain halnya dengan bumi, ia seakan tak sepakat dengan kegembiraan yang kami buat. Ia pun berguncang hebat di samudera dan tanah-tanah yang kami pijak. Beberapa pohon tumbang dan barak itu hanya tinggal puing. Pikiran sudah penuh dengan tragis yang tak henti. Gempa itu datang ke negeri kami, saat kami harus menjemput gembira pagi hari. Orang-orang menyuruh untuk pergi ke naik ke bukit menyelamatkan diri. Ibu menggendongku, ia berlari ke arah yang berbeda. Ia berlari menuju pantai, disana pikirannya tentang Ayah masih tertinggal. Abah langsung melihat kami berlari menuju pantai.
“Kau mau kemana?”
“Aku mau menjemput suamiku!”
“Tak usah kau kesana,orang sudah pergi dari sana. Mereka sudah naik ke atas bukit. Pasti mereka menyelamatkan dirinya”
“Tidak bang, aku mau melihat dia dengan mata kepalaku sendiri!”
Abah melihat Ibu keras kepala. Ia tak ingin Ibu menjauhi perintahnya dan berlari ke arah yang salah. Lalu ditariknya Ibu ke arah bukit. Ibu terus menangis dan berteriak. Ia ingin lepas dari genggaman tarikan Abah, tapi tetap saja tubuhnya sudah menjauhi pantai. Angin pun berlalu dari atas bukit kami melihat air meluap. Kejernihan unsur yang telah meluluhlantakkan dasar-dasar hidup. Semua hilang ditelan gelombang Tsunami, tak ada yang tersisa. Tampak tubuh-tubuh seperti semut yang hanyut. Banyak tangis di atas bukit, seperti gelombang yang dahsyat mengguncang negeri kami. Ibu tak mampu melihat dan mencari sekelilingnya. Hingga akhirnya ia hanya menuliskan nama Ayah di tanah kami.


Komentar

Postingan Populer