Cerpen Abdi Negara
Tatihku
semakin lama semakin jelas. Tak pernah aku tertatih-tatih lebih dari yang
kubisa, inilah mungkin saatnya. Ketika mentari enggan berkuasa atas langit.
Lalu sembilu meradang di awan menghujam pinus-pinus di kaki gunung. Aroma
semerbak melukis sebentuk hati di serai-serai sepi pagi. Kiranya air sungai tak
mampu lagi ditahan oleh bendungan dan kanal. Ia ingin meriak menggunung lalu
menembus langit. Sedikit teriak di sela keheningan bebatuan memecah
seriuh-riuhnya. Kepulan gemericik semakin buncah kala aku menimang-nimang
keseriusan ini. Sikap yang kuraut dalam simpul tatih yang menatih.
Empat
tahun ini aku lelah dengan seribu pinta dari manusia-manusia yang bergerak di
koridor-koridor kampus. Dosen-dosen dengan ribuan teori peninggalan
pendahulunya serta wajah ketat yang menyapa di awal pagi. Semua kuhadapi dengan
keikhlasan tanpa ada pinta di akhirnya. Kurungan-kurungan dalam diktat tebal
yang menyeranta mata agar terus terjaga dan belum lagi seikat asa yang ditumpuk
orang tua di atas pundakku. Itu yang membuat aku harus menjadi lebih dibanding
manusia lain. Lebih dalam berpikir, bertindak dan bernafas. Asa yang menumpuk
tak pula berkurang hari demi hari, ia selalu bertambah bak kemarau yang
dirancang tanpa mengenal hujan.
Aku
semakin renta dengan kejeniusan ini. Semua dituntut untuk menjadi manusia yang
benar dan manusia yang tepat guna. Rentetan hutang-hutang itu memacu pembuluh
darah ini. Tak ingin rasanya aku hanyut hanya untuk memikirkan sebuah kesiaan
dalam menjalani hidup. Hidup adalah anugerah yang selalu diperebutkan oleh
jutaan sperma yang haus akan hirupan oksigen. Menatap dunia dengan mata.
Mendengar cerita dengan telinga lalu menyicip suka dan duka dengan hati. Tentu
saja kesenangan akan hidup terus berikrar dalam sperma-sperma itu hingga
akhirnya lahirlah menyentuh bumi.
Keringat
Orangtuaku lah yang membuatku hari ini menangis terisak. Sungguh begitu isak
dalam kalut menelisik. Kecilku dibesarkan dari seribu keringat yang jatuh tiap
terik berteriak. Ia tak takut akan panas apalagi hanya sebuah cerita jika kulit
melegam. Baginya legam adalah emas dari tuhan bersebab ia mengais riski dengan
menggali langit dan menenggelamkan kepasrahan. Kami tak memiliki kebun ataupun
ladang berhektar-hektar. Kami cukup memiliki cangkul dan sabit serta beberapa
alat tani lainnya. Ayah telah tiada semenjak sepuluh tahun yang lalu. Ia
tertabrak oleh truk di kota. Kata mereka seperti itu, sebab Ayah hanya kulihat
ketika masih kecil. Aku hanya ingat sedikit dari raut wajahnya.Sekarang tinggallah
perempuan perkasa yang tak mau kompromi dengan waktu. Ibu adalah pekerja keras,
ditambah lagi dengan urat-urat Ibu yang
mengaku masih kuat untuk bergelut dengan tanah. Dari tanah kembali ke tanah. Ibu
selalu mengucapkan itu. Ayah dan Ibu persis seperti manusia yang tak ada habis
lelahnya. Tanpa ragu ia rela mengorbankan setiap uang hasil menggarap lahan
orang untuk ditabung di celengan semarnya. Cling-cling, bunyi itu selalu
mengiang dan menipuku. Bukan karena apa, hingga aku kuliah di kota pun yang
jauhnya ratusan ribu kilometer bunyi tak seberapa itu selalu mengisi
langit-langit kamar. Aku rapuh jika mendengarnya. Aku harus berlari jangan
berjalan lalu melompat dan jangan pula berhenti.
Ibu
ingin aku dan keempat adikku sekolah dengan baik, paling tidak mengikuti wajib
belajar yang ditetapkan pemerintah. Mungkin inilah resiko dari Ibu yang tidak
mendapatkan pendidikan keluarga berencana. Desaku jauh dari perencanaan matang
dari pemerintah itu. Makanya semua yang disini senang memiliki anak. Setiap tahun
pasti punya rencana memiliki anak. Banyak anak banyak rezeki, itu filosofi yang
bagus hingga akhirnya aku menjumpai kata-kata itu salah ketika sudah di kota.
Hilda, adik perempuanku serta Samsul dan Seno. Mereka begitu rajin sekolah
meski keterbatasan kadang hadir. Ya, Ibu tak pernah meminta apa-apa. Kecuali
pendidikan dan pendidikan. Pernah suatu ketika Ibu sedang membuka lahan, namun
karena begitu luasnya kami pun tak ingin hanya melihat. Meski sekolah akan
menjelang kami sudah bertekad akan membantu Ibu membuka lahan tapi ia memang
tak ingin sama. Ia ingin berbeda. Kami harus lebih pintar darinya. Kami harus
mencoba memakai seragam dan menulis serta membaca meski ia hanya bisa
mendengar. Itu yang sangat ia kecamkan padaku dan adik-adikku. Hingga kami
harus berlari melewati semak-semak untuk pergi ke sekolah setelah mendengar
itu, takut jika terlambat.
Keringat
ibu selalu mengguyur tubuhnya yang mulai layu. Diambilnya cangkul lalu dengan
gagah membelah tanah. Baginya ini bukan hanya semata pekerjaan lelaki tapi ini
adalah hidup. Hidup yang ditempuh dengan lokomotif tanpa asap. Bisa terbang
bisa melayang. Ibu pun menangis sedu, seketika mengangkat telponku yang
menumpang ke rumah pak Kepala Desa.
“Bu.
esok lusa anakmu wisuda, Ibu datang ya”
“
Nak ee, ya kalo mbokmu datang ke kota
lalu siapa yang ke ladang. Ya kalau belum penting-penting amat, mbok disini
aja”
“Tapi
wisuda itu penting lo mbok”
“Emang
wisuda itu opo?”
Aku
pikir ibu memang tidak tahu menahu mengenai kata-kata aneh ini. Bisa saja ia
beranggapan yang kukatakan ini adalah hanya sebuah permintaan kunjungan seperti
seorang anak pesantren yang hendak dikunjungi orangtuanya di pondok.
“Wisuda
itu mbok, aku uwes eneng wae kuliah”
“Habis
?”
“Iyo-iyo”
“Yo
uwes ibu datang ...”, entah suara apalagi yang terdengar seperti kegembiraan
yang sudah lama ingin pecah.
Aku
senang ibu akan datang dan betul saja. Mengenakan kebaya satu-satunya, Ibu
berlari ke arahku ketika anaknya sudah memegang gelar sarjana. Empat tahun yang
lama bagiku, bagi Ibu dan bagi cangkul-cangkul kami. Sesegera kesejukan meretas
di sekitar hatiku. Aku yakin begitu berartinya sebuah gelar ini baginya. Ia
yakin anaknya pasti mampu melakukan dengan sepenuh jiwa. Hingga tak perlu ada
keraguan meski wisuda itupun ia tahu artinya dari sebuah penjelasan kecil di
rumah kepala desa.
***
Pagi
di desa. Sejuk tanpa ada aroma kesibukan yang merongrong. Semua kabar menepi di
ujung-ujung warung. Bunyi dentang gitar menyapu sekian lama kelelahan yang
diderita. Gubuk-gubuk menyaji kesetiaan seorang istri yang mengepulkan asap
dapur. Rengekan bayi-bayi di gendongan Ibunya. Keceriaan yang tak berbatas
tanpa melihat ke atas. Seribu kupu-kupu berterbangan menjenguk sunyinya hutan
hujan di pinggir desa. Meski begitu pun aku masih saja sama, menganggur.
Pengangguran
adalah kawan yang rela berbagi cerita saat hujan, terik, sendiri, ramai hingga
kembali lagi ke hari ini. Ketika menganggur hinggap di kepalaku, banyak lagi
beban yang menghimpit tepat di ubun-ubunku. Kejadian ini serupa ketika aku
harus secepatnya menyelesaikan kuliahku. Kesempatan bekerja hanyalah untuk
orang-orang yang memiliki sanak kerabat yang ada pemerintah ataupun yang memiliki
koneksi yang begitu kuat. Irama itu sudah pasti menjadi harmoni yang serasi
dengan lakon bumi. Maka menganggur semakin lekat dengan pikiranku, sembari itu aku
terus beranjak dari keterpurukan.
Sudah
hampir setahun aku menganggur sebagai seorang sarjana. Sarjana yang mengerti
betul akan siap bekerja. Sembari itu
kusingkapkan lengan baju selama berjalannya detik yang melalui hari. Membantu
mereka yang belum sempat mengenyam berlian pendidikan. Mereka yang tak mampu
membaca, menulis dan hanya bisa mendengar. Persis seperti Ibu, gambaran itu
setidaknya harus berubah jika orang-orang menanyakan seperti apa desaku. Aku
berseliweran ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, pinggiran sungai bahkan di tepi
jurang asalkan masih ada yang belum mengenal pendidikan.
Ibu
tetap mengurus ladang orang. Menanami cabe serta diselipkan beberapa tanaman
holtikultura. Pagi tetap menjadi pagi lalu malam kembali malam. Ibu semakin
menua, terkadang aku menyempatkan membantu ibu disela kesibukannya menata
gemburnya tanah. Ia tak pernah mengerutkan dahi hingga senjakala pun menembus
awan sutra.
Namun
aku sedikit gamang dengan kondisi Ibu. Ia lebih banyak diam sekarang. Beribu
pertanyaan menganntung di jidatku.
“Apakah
karena aku pengangguran?”
Aku
malu melihat matanya. Aku sadar sebuah pengabdian yang kulakukan ini adalah tanpa
pamrih. Hanya menelurkan insan-insan cerdik pandai tanpa imbal sedikitpun. Aku
sadar itu, konon lagi jika menatap matanya yang tipis itu. Melirik tubuhnya
yang kecil dengan legam yang menghias indah dalam lekuk-lekuk lesung pipinya.
Penasaranku membuncah, ingin kutanya padanya mengapa ia gundah gulana? Aku tak
kuat bertanya itu padanya. Waktu itu juga aku memeberanikan diri. Ia duduk di
dipan, Aku coba kesampingnya.
“Mbok,
Mbok.. , Ada apa ya kok menung aja seharian?”
“Ga
apa-apa, nak”
“Ayo
Mbok jujur toh”
Sebenarnya
ia tak ingin bercerita namun sesegera mungkin ia meluapkan kegundahannya padaku.
Meski terbata di awal.
“Gini
loh. Mbok senang kalau kamu udah kerja, sangat senang. Apalagi kamu sudah
mengajari anak-anak desa ini makin pintar. Tapi ya kerjamu itu yang diberi
balasan yang setimpal dong. Mbok pingin kamu jadi orang kantoran. Kamu pergi
pagi-pagi membawa tas dengan pakaian rapi. Kamu dapat gaji yang pas tiap bulan.
Mbok juga kepingin kamu itu ditanya tetangga. Kalau kamu itu kerja dimana?”
“Anakku
kerja PNS”, ia melirik lekat ke arahku.
“Iya
Mbok tapi, ..”
“Tapi,
ya itu cuma mimpi-mimpi Mbok. Biar kamu gak seperti Mbok loh”
Aku
tak kuat untuk melawan argumennya lagi. Sebab aku tak pernah diajarkan untuk
menepis kemuliaan yang dipinta orang tua. Bagiku itulah doanya padaku saat ini.
Aku sungguh menikmati kata-kata itu.
Aku sempat mendengar kabar dari tetangga kalau
salah satu pemuda di kampung sebelah menjadi pegawai negeri sipil di kantor
kecamatan. Mungkin itu yang membuat Ibu memiliki mimpi anaknya berseragam.
Begitu polosnya dan cintanya Ibu. Aku sesak dalam labirin yang tak berisi
udara. Ibu sangat mencintaiku. Lalu kutekankan pula dalam kondisi melankolis
itu bahwa aku harus bisa menempuh yang ia pinta.
Dan
benar saja tak berapa lama ada tes penerimaan pegawai negeri sipil di
kabupaten. Aku mendaftar dengan sejuta harapan yang membisu agar pinta Ibu jadi
pintu nyata cintaku padanya. Sejak saat itu, Aku berusaha menghadirkan suasana
belajar yang intens di balik tepas-tepas yang mau rubuh. Tinggallah aku
menunggu hasil dari sebuah harapan. Apakah harapan akan berbuah mimpi atau hanya
ilusi? Tak sabar kugesa langkah ini.
Kupacu tumitku untuk menuju ke kantor kecamatan, tapi sebelumnya Aku pamit ke
Ibu.
“Mbok,
aku ke kecamatan yo. Lihat hasil pengumuman. Doain ya Mbok”
“Iyo,
hati-hati nak”
Semakin
lama hangat tubuh ini semakin tak stabil, tak siap untuk melihat sebait kecil
namaku.
“Jarwo
Prasetyo”
Itu
Aku, air mataku penuh menganak sungai. Semua peluh tumbuh menjadi teh yang
diseduh. Penuh nikmat dan rasa manis. Tak ada luka, sakit hanya senang dan
riang. Aku menatap jauh ke langit, melihat Ibu tersenyum di balik awan.
Memanggilku pulang ke rumah dan menghendakiku mendekapnya lalu berkeliling ke
ladang-ladang milik orang. Aku akan mengajaknya dengan seragam abdi negara ini
menuju kantorku. Melihat pergi pagi dengan rapi dan pulang kesorean dengan
segepok buah tangan. Ibu pasti senang. Kuputar balik arahku searah degup
jantung yang dicabik-cabik cinta. Di mata hanya ada matanya. Di telinga hanya
ada suara celengannya. Di bibir mengucap doa padanya. Teriakku sudah kuungkap
setibanya di ujung desa kami.
“Mbok,
aku lulus jadi abdi negara. PNS Mbok, PNS”
“Mbok,
Mbok dimana?”
Belum
juga kuterima balasan sahut yang diharap. Lalu aku termangu di depan
ladang-ladang. Hanya ada jalan berlubang bersimbah darah. Tak ada perempuan.
Apalagi mimpi yang dilukis di tepi langit. Terdengar sesekali bisik-bisik di
rumah tetangga.
“Mboknya
Jarwo kecelakaan waktu nyusul ke kecamatan”
Komentar
Posting Komentar