Intertekstualitas, Feminisme dan Realisme Jalang




SEKITAR dua-tiga bulan lalu, ketika saya diminta oleh Kunni Masrohanti dan kawan-kawan di Komunitas Rumah Sunting untuk membedah naskah lakon Jalang karya Rian Harahap, saya merasa bahagia. Bukan bahagia tersebab saya yang diminta sebagai pembedahnya, tetapi terlebih karena “bedah naskah” semacam ini penting bagi pekerja teater (di Riau) untuk membangun tradisi diskusi. Diskusi yang (mestinya) dapat “mengawal” proses penggarapan teater mulai dari pemilihan naskah sampai pementasan, dan pasca pementasan. Diskusi yang tak cukup sekali di awal, tapi berkali-kali, selama proses berlangsung. Diskusi, yang tidak semata diikuti oleh para pendukung pertunjukan, akan tetapi terbuka untuk umum, dan melibatkan para seniman dari berbagai disiplin (teater, sastra, seni rupa, tari, dll). Sehingga, kalau pun kemudian dibuka sesi diskusi pasca pertunjukan, yang terjadi tidak (terkesan) sebagai “penghakiman,” sebab semua telah merasa terlibat sejak awal, telah merasa bahwa ini adalah kreativitas bersama.

Dalam konteks yang lebih luas, saya juga hendak mengatakan bahwa, selain “melibatkan” mereka dalam diskusi, juga eloknya “menjemput” para seniman/kritikus (yang dianggap mampu memberi apresiasi dan kritik) untuk menonton. Karena, hemat saya, bukankah kita (para pekerja teater) sesungguhnya tidak semata butuh “penonton cair” yang membeli tiket, tetapi juga butuh “penonton apresiatif” yang memberi penilaian?

Intertekstualitas
Kebahagiaan lain yang saya rasakan adalah, lahirnya penulis-penulis naskah lakon yang baru. Rian Harahap, sebagai penulis naskah Jalang, telah menunjukkan bakatnya yang potensial dalam melahirkan naskah realis. Meskipun, ketika saya melakukan pembacaan terhadap naskah ini, aroma Motinggo Busye dalam lakon Malam Jahanam (selanjutnya disingkat MJ), demikian terasa. Proses intertekstualitas (teori yang dipopulerkan oleh Julia Kristeva, sekitar tahun 1960), sedikit banyak, saya kira telah terjadi di situ. Sebuah proses yang sangat wajar, ketika kita—seturut Roland Barthes—bersepakat bahwa “teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.” Teks (berasal dari bahasa Latin: textus), yang berarti: tenunan, anyaman, penggabungan, susunan dan jalinan, tentu dapat memberi ruang yang sangat leluasa untuk disusun dan dijalin ulang.

Maka teks-teks Jalang yang ditulis oleh Rian, adalah jaringan dari mozaik teks-teks lain yang telah terserak sebelumnya, bermain dan berkelindan dalam berbagai pengalaman dan pembacaan penulisnya, yang kemudian merangkai simpulan-simpulan “baru”. Salah satu teks lain yang berkelindan itu, dan yang paling dekat teks serapannya dengan teks Jalang adalah teks lakon MJ (tentu dengan tidak menutup kemungkinan adanya teks-teks lain). Dan, tak perlu ada pengakuan langsung dari Rian, soal kebenaran bahwa ia memang misalnya “terinspirasi” dari MJ dan melakukan proses interteks itu, sebab—saya sepakat dengan Teew—intertekstualitas itu sama sekali tidak harus berdasarkan pada niat eksplisit atau kesengajaan seorang penulis, sebab seringkali seorang penulis tidak sadar akan hipogram (dasar penulisan) yang melatari karyanya.

MJ sendiri, ditulis tahun 1958 oleh Motinggo, adalah lakon yang amat populer dalam dunia teater modern Indonesia, selain lakon Badai Sampai Sore dan Malam Pengantin di Bukit Kera. Ratusan kali, telah dipentaskan, oleh berbagai kelompok teater, amatir maupun profesional. Aroma pesisir dalam lakon tersebut, serta konflik-konfliknya yang kuat, dipadu dengan karakter-karakter pelaku yang khas, membuat MJ menjadi representasi simbolik-tematik dunia proletar-nelayan yang suram yang sulit ditandingi, dan dengan begitu, sangat ampuh untuk mempengaruhi pembaca/penikmat. Maka, teks yang semacam ini, sangat berpotensi membangkitkan imajinasi dan obsesi pembaca/penulis atau para kreator teater, untuk menciptakan “teks lain.” Saya kira, hanya teks-teks yang dirajut dalam “karya besar” (semisal MJ ini), yang biasanya mengundang respon dan reaksi kreatif, yang kemudian melahirkan “teks yang baru.” Teks yang baru ini, penting dicatat, bahwa meskipun ia lahir dari “olahan” kelindan teks-teks lain, ia tetap dianggap sebagai sebuah “karya baru.” Bukan plagiasi. Sebab, di dalamnya terdapat pandangan, daya kreativitas, konsep estetika, yang mencerminkan subyektivitas pengarangnya.

Untuk melihat sejauhmana proses intertekstualitas itu terjadi, kita bisa menelisiknya dari unsur-unsur intrinsik (tematik, ide/gagasan, plot, latar, penokohan, gaya bahasa, konflik-konflik, dll) maupun ekstrinsik (historis, sosiologis, agama, budaya, ideologis, dll). Tentu, dalam ruang yang terbatas ini, saya tidak akan mengurai satu persatu unsur-unsur itu dalam kajian yang komprehensif. Namun, setidaknya—sebagaimana tujuan dari interteks itu—saya hendak menemukan makna-makna yang baru secara lebih penuh, dan orisinil, dari lakon Jalang, jika dibandingkan dengan MJ sebagai teks hipogramnya. Misalnya, secara tematik, Jalang dan MJ sama-sama mengangkat konflik keluarga nelayan yang miskin. Meski ditulis dalam tahun yang berbeda dengan kondisi sosial yang berbeda, kemiskinan dalam Jalang, tidak jauh berbeda dalam MJ. Jika kita percaya bahwa naskah (baca: karya sastra) diangkat dari realitas sosial masyarakatnya, maka kita bisa berkesimpulan bahwa sesungguhnya kita hidup di sebuah bangsa yang jalan di tempat, dengan sejarah yang terus berulang. Nyatanya, kemiskinan, masih menjadi tema yang kontekstual sampai hari ini.

Dan kemiskinan keluarga nelayan, dalam kedua lakon ini, sama-sama ditempatkan sebagai (semata) latar sosial, yang tidak berpengaruh langsung pada pembangunan konflik-konflik dalam peristiwa. Namun, setidaknya, keduanya sama-sama meyakini, bahwa kemiskinan dapat memberi pengaruh psikologis, yang memberi efek pada prilaku-prilaku sosial yang menyimpang, semisal perselingkuhan, bahkan pembunuhan.

Tema perselingkuhan, kemudian, seolah mengambil porsi yang lebih besar dalam dua lakon ini. Sama-sama diawali oleh ketidakmampuan sepasang suami istri untuk memiliki anak, dan sama-sama memunculkan orang ketiga sebagai pemicu konflik. Perbedaannya adalah, orang ketiga dalam MJ adalah seorang lelaki bernama Soleman (tetangga sebelah rumah) yang berselingkuh dengan Paijah (istri Mat Kontan), sampai hamil. Sementara dalam Jalang orang ketiganya adalah seorang perempuan (Siti, adik perempuan Tijah), yang juga hamil karena diselingkuhi oleh Samsul, suami Tijah. Maka muncul perbedaan lain, di mana posisi Soleman dalam MJ sebagai antagonis, sementara Siti dalam Jalang adalah protagonis. Sebab, Siti, diposisikan sebagai tokoh lemah yang menderita, yang terseret masuk dalam pusaran konflik. Kehadiran tokoh lain, Utai dalam MJ, dan Buyung dalam Jalang,  sesungguhnya memiliki posisi yang sama, yakni pelengkap cerita yang menghiasi konflik. Hanya saja, Buyung dalam Jalang, turut pula diseret masuk dalam konflik, dengan cecabang plot yang lain, untuk menambah kesan penderitaan yang lebih mendalam pada tokoh Siti. Maka, kalau kita kemudian menilai ke dalam unsur penokohan, MJ dan Jalang memunculkan tokoh-tokoh yang hampir serupa, dengan karakter-karakter dasar yang tak jauh berbeda, termasuk kelahiran seorang bayi.

Ideologi Feminisme (?)
Agaknya, akan menarik juga kalau kemudian kita melihat secara ekstrinsik, terutama dalam kerangka ideologis. Jika kita bicara sastra dan ideologi, seturut Budi Darma (2012), maka setidaknya akan berkisar pada tiga istilah: weltanschaung, worldview, dan ideologi. Meski pada prinsipnya, ketiga istilah itu memiliki kesamaan secara harfiah, namun berbeda pada penekanan dan implikasinya. Sama-sama berbicara tentang bagaimana “karya sastra memandang dunia.” Akan tetapi, weltanschaung (bahasa Jerman) lebih mengandung unsur-unsur perjuangan (aku menulis karena aku memperjuangkan sesuatu). Sementara worldview, lebih pada pandangan dan kesadaran kolektif masyarakat mengenai dunia, dan penulis merepresentasikannya. Dan istilah ideologi sendiri, akan tak mudah dipisahkan dengan dunia politik. Apalagi, ditengarai, pemikir awal yang memasukkan masalah ideologi ke dalam studi sastra adalah Karl Marx. Buku Das Kapital adalah puncak gagasannya. Maka kemudian Marxisme muncul sebagai ideologi yang punya banyak pengikut dalam sastra dan kebudayaan, termasuk munculnya sastra feminis, sastra kolonial, sastra pascakolonial, sastra borjuis, dan lain sebagainya.

Dalam diskusi bedah naskah Jalang, saya sempat menuliskan dalam pointer, ihwal kemungkinan wacana feminisme bisa dieksplorasi lebih mendalam sebagai “ideologi” dalam naskah ini. Sebab, potensinya ada. Terutama jika konsepsi ideologi itu lebih mengarah pada “wacana perlawanan” yang melibatkan dua pihak yang berseberangan, yang dalam konteks Jalang adalah: lelaki dan perempuan. Sosok dua lelaki (Samsul dan Buyung) yang lebih antagonistik-hegemonik, vis-a-vis dengan sosok dua perempuan (Tijah dan Siti) yang protagonistik-lemah. Potensi yang saya maksud adalah momen ketika pemasungan tokoh Siti yang hamil besar, dan momen ketika Samsul memaksakan kehendaknya untuk berjudi. Saya kira, potensi “perlawanan” (ideologis) itu, mestinya terjadi dalam dua momentum di atas. Namun, saya tidak melihat ada adegan perlawanan oleh Siti ketika dipasung—yang kemudian sekaligus menunjukkan logika dan motivasi adegan ini menjadi lemah. Demikian pula pada momen yang lain, Tijah seperti tak berdaya menolak kemauan Samsul untuk berjudi dengan uang simpanan mereka. Maka, perempuan, dalam lakon Jalang, diposisikan sangat lemah, meski penulis hendak menunjukkan perlawanan itu pada ending, dengan adegan pembunuhan yang dilakukan Tijah terhadap Samsul.   

Dengan begitu, hemat saya, feminisme dalam konteks gerakan memperjuangkan “kesetaraan” perempuan yang tidak dianggap sebagai “the second sex” sebagai ideologi tidak sedang “bekerja” dalam lakon ini. Kalaupun, telah tergambar adanya (wacana) kekerasan terhadap perempuan, namun kekerasan itu, terjadi justru untuk menambah kesan superiornya lelaki, dan inferiornya perempuan. Sehingga, saya boleh berkesimpulan bahwa Jalang lebih merepresentasikan pada kita ihwal “pandangan kolektif masyarakat mengenai dunia,” dalam kerangka worldview. Penulis, hendak menyampaikan kembali kepada kita, bahwa demikianlah kiranya pandangan para lelaki, di kampung-kampung (nelayan), yang patriarkis, didukung lingkungan tradisi, dan rendahnya pendidikan. Demikianlah kiranya, kehidupan para nelayan miskin itu. Demikianlah kondisinya, kekerasan kerap terjadi, pemasungan atas yang lemah dengan mudah terjadi, pemerkosaan kerap terjadi, dan seterusnya. Demikianlah kiranya, yang tampak secara kasat mata.

Agak berbeda misalnya kalau kita menengok kembali naskah MJ karya Motinggo Busye sebagai hipogram intertekstual naskah Jalang. Sosok Paijah, sebagai perempuan kampung, memainkan peran yang tidak kalah penting dengan tokoh yang lain. Dalam posisinya sebagai protagonis, ia juga menyelinap dalam sosok yang antagonistik. Baik-buruk seorang manusia, tidak digambarkan secara hitam-putih. Seorang istri yang sejak awal digambarkan sebagai sosok setia, toh juga (ternyata) berselingkuh. Perselingkuhan, yang seolah dilegitimasi oleh keinginan untuk memiliki anak, sekaligus di lain sisi, hendak menunjukkan ketidakmampuan si suami. Sosok Mat Kontan, lelaki yang digambarkan sebagai tokoh yang tak bertanggungjawab sebagai suami, toh pada beberapa kasus ia ternyata lebih humanis, lebih terasa berupaya membangun harga dirinya sebagai lelaki, meskipun dalam selimut kepalsuan. Maka, lakon MJ, saya kira, lebih masuk dalam kerangka weltanschaung, sebab Motinggo tampak memang sedang “memperjuangkan sesuatu.” Memperjuangkan bagaimana mengubah cara pandang orang untuk melihat persoalan tidak hanya pada yang kasat mata, akan tetapi sesuatu yang sesungguhnya tengah bergerak di balik itu. Sesuatu yang justru memberi nilai kritis, terhadap berbagai prilaku sosial dalam dinamika kehidupan masyarakatnya.

Ihwal Realisme
Di awal tulisan ini, saya sempat menyebut bahwa Rian Harahap telah menulis sebuah naskah realis. Saya berani menyebutnya begitu, terlebih karena teks Jalang—berdasarkan kajian saya di atas secara struktural—merupakan interteks dari lakon MJ karya Motinggo Busye sebagai hipogramnya. Dan karya-karya Motinggo, memang memiliki kecenderungan yang sama, yakni realisme. Meskipun, dalam pembacaan saya (seperti juga saya sampaikan dalam pointer untuk diskusi ‘bedah naskah”) menemukan di sana-sini sejumlah kelemahan naskah ini (terutama dalam dua hal: bahasa dan logika realisme), namun saya tetap memberi kategori bahwa Jalang adalah naskah realis. Maka, tantangan yang sempat saya lontarkan kepada sutradara dalam diskusi waktu itu adalah; beranikah Anda mementaskan naskah realis ini dengan konvensi realisme?

Jawaban konkretnya adalah apa yang tampak dalam pertunjukan yang kita saksikan pada 11-12 April 2014 lalu, di gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru. Setelah menyaksikan pertunjukan tersebut, saya kemudian menjadi ragu apakah ini sebuah pertunjukan realisme? Keraguan itu muncul ketika misalnya frame pemahaman yang ada di dalam kepala saya merujuk kepada bagaimana konsepsi awal (sejarahnya) realisme muncul sebagai sebuah “gerakan seni”—yang tentu saja di Barat abad ke-19—yang menganut gagasan utama untuk berkeinginan menciptakan illusion of reality di atas panggung. Targetnya adalah, bagaimana agar penonton diyakinkan bahwa apa yang mereka lihat di atas panggung itu adalah sebuah realitas, dan dengan begitu, penonton akan lupa bahwa mereka sedang menonton sebuah drama. Maka, muncullah kemudian kecenderungan tata-panggung untuk menciptakan dinding-dinding yang betul-betul berdiri di panggung, seperti sebuah ruang kamar yang sesungguhnya, yang dalam bahasanya Kernodle (1967), “convention of the fourth wall.” Konvensi realisme semacam ini, kemudian kerap dipakai oleh para pekerja “teater akademik” di kampus-kampus, maupun di luar kampus.

Jika kita lihat dalam setting panggung Jalang, maka tentu ia tidak termasuk dalam konvensi ini. Sebab, tak ditemukan dinding-dinding itu, tak juga batas-batas imajiner ruang. Namun, dalam konsep dasar realisme yang lain, ada istilah representational, yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa sebuah pertunjukan teater realisme harus menyajikan unsur-unsur (akting, kostum, make-up, setting, properti, dll) yang dikenali oleh penonton dalam kehidupan sehari-hari. Maka, realitas yang terjadi di atas panggung adalah representasi dari realitas keseharian—yang dalam istilah Kernodle: the here and now. Pertanyaannya kemudian, apakah yang tampak dan tersaji di atas panggung Jalang, segala unsur-unsurnya, dapat dikenali oleh penonton seperti dalam kehidupan sehari-hari mereka, di sini dan sekarang? Saya kira, kita semua akan segera menjawab: ya, dapat dikenali. Kehadiran jaring adalah sebagai jaring, kehadiran rumah reot adalah sebagai rumah reot, kursi sebagai kursi, kostum, akting, properti dan seterusnya, semua dapat dikenali sebagaimana penonton mengenalinya dalam keseharian. Maka sampai di sini, pertunjukan Jalang, sementara boleh dikategorikan sebagai “teater realis.”

Lalu, bagaimana dengan konsep lain dalam lakon realisme yang berbunyi well-made play (lakon yang dirancang dengan teliti)? Istilah yang pada awalnya lebih dirumuskan untuk menunjukkan bahwa sebuah naskah lakon realisme itu, memiliki plot yang rapi, logika runtut, terkontrol, dengan motivasi-motivasi yang jelas. Maka, naskah-naskah Henrik Ibsen (disebut sebagai tokoh realisme, dari Norwegia) misalnya, masuk dalam kategori ini, tersebab, lakon-lakonnya dirancang dengan adegan-adegan yang sangat teliti, detil, yang kerap orang menyebutnya sebagai “lakon akademik.” Bagi Ibsen, setting panggung itu, tidak sekedar berfungsi sebagai latar belakang saja, akan tetapi ia menjadi bagian integral dari struktur pertunjukan itu sendiri. Sebab, tokoh-tokoh di atas panggung, bagi Ibsen, memiliki hubungan dengan lingkungannya: alam dan sosial. Lingkungan alam dan lingkungan sosial inilah yang membuat tokoh-tokoh hidup dan berinteraksi di atas “panggung” realitas dan juga dalam realitas panggung realis.

Jadi, jika konsep utama well-made-play dalam realisme itu adalah teliti dan detil, maka Jalang tidak masuk dalam konvensi itu. Sebab, bagi saya sebagai penonton, satu hal yang cukup mengganggu saya sejak awal menonton adalah setting panggung yang tidak detil dan teliti, bahkan terkesan ala kadarnya. Mulai dari bagaimana mendesain bentuk-bentuknya (rumah yang rapuh, ujung sampan yang terletak di tengah-belakang (up-center) panggung dengan jaring-jaring, bangku, tempat tidur, dll), memikirkan warnanya, sampai pada posisi di mana seharusnya diletakkan di atas panggung sebagai sebuah tawaran estetis dalam berbagai aspek, yang mendukung pertunjukan. Pembagian wilayah panggung yang biasanya dibagi menjadi sembilan (terutama dalam Benedetti, The Actor of Work) menjadi tidak terlalu signifikan lagi. Maka, sementara, saya mengganggap bahwa setting dalam Jalang, tidak “diposisikan” sebagai bagian penting dan integral dalam pertunjukan. Ketidaktelitian dan ketidakdetilan itu, sayangnya, juga tampak dalam sejumlah aspek lain dalam pementasan.

Lalu, saya kemudian berkesimpulan bahwa sutradara sedang tidak mementaskan Jalang dalam konvensi realisme yang saya pahami di atas. Dan tentu, saya tidak boleh memaksakan pemahaman saya itu—apalagi karena saya adalah (hanya) seorang penonton—untuk membuat pementasan Jalang di mata penonton (yang memenuhi gedung) menjadi “tidak berhasil.” Karena, saya merasakan, penonton demikian antusias dan serius menyaksikan pertunjukan ini, dengan segala respon dan apresiasi mereka. Terutama, saya kira, terlebih karena totalitas bermain yang diperlihatkan oleh para aktornya yang memerankan tokoh-tokoh dalam Jalang (Rian Harahap, Siti Salmah, M Fakhri Azhari, dan Ade Aisyah)—tentu tanpa mengabaikan peran para pendukung yang lain. Totalitas itu terlihat bagaimana mereka sangat intens memerankan karakternya masing-masing, dengan “gaya” bermain realis. Jika mencari detil dan ketelitian, hemat saya, itu bisa didapatkan pada permainan aktornya. Sehingga, boleh jadi kemudian membuat penonton dapat melupakan ketidaktelitian dan ketidakdetilan pada aspek pertunjukan yang lain.

Maka, sampai di sini, agaknya, menjadi tidak penting apakah pertunjukan Jalang itu realisme atau tidak. Sebab, terlampau banyak yang dapat dibantah dari konvensi-konvensi realisme yang saya jabarkan di atas. Apalagi misalnya, kehadiran para penari, yang justru seolah “menyempal” dari struktur pertunjukan (yang juga “menyempal” dari realisme), lalu visual sepasang manusia putih yang terbang (yang masuk dalam pertunjukan teater klasik), visual bulan memerah, dan seterusnya (yang kadang-kadang saya jadi teringat konsep alienasi-nya Bertold Brecht). Andai, ini sebuah tawaran sebuah bentuk dan gaya “teater realisme” ala Rumah Sunting, tentu, kita harus mendiskusikannya lebih jauh.

Yang penting, agaknya, konsep utama yang digunakan sutradara perempuan (satu dari sedikit yang dipunyai oleh Riau) Kunni Masrohanti, bersama Komunitas Rumah Sunting, adalah bagaimana membuat sebuah pertunjukan teater yang dapat “menghibur” para penonton, sekaligus dapat memberi sebuah aufklarung alias “pencerahan,” bahwa realitas sosial kita kini, sedang sakit parah, gawat darurat. Pemasungan, pemerkosaan, pembunuhan, perselingkuhan, perjudian, sudah menjadi berita harian. Terjadi di mana-mana, tak di kota, tak di kampung. In here and now. Dan massage itu, sudah “diterima” dengan baik oleh penonton (receiver). Penonton teater Riau, yang pelan-pelan, mulai merasa “nikmat” menonton pertunjukan teater. Tabik!***   


SPN. Marhalim Zaini. SSn, MA,
akademisi dan sutradara teater.

Komentar

  1. kalau gak salah artikel ini yang terbit di riau pos bareng ulasan jalang itu ya?
    saya tertarik dengan bahasan pak Zaini yang mengatakan bahwa dalam naskah Jalang ini wanita cenderung protagonis dan lemah posisinya (di awal), yang memang semakin membuat gender wanita disitu benar-benar tertindas, lalu setelahnya dia cenderung menumpahkan "kekesalannya" di akhir. bagaimana tanggapannya nih bang Rian sebagai penulis naskah? kira-kira pesan tersirat apa yang ingin disampaikan dalam bentuk watak seperti itu?
    terimakasih ^_^

    BalasHapus
  2. Pada dasarnya, menjadi perempuan yang tertindas atau tidak ada dalam pemikiran perempuan itu masing-masing. Saya sebagai penulis naskah hanya menjabarkan dalam bentuk teksnya. Namun untuk di kemudian hari diartikan secara lebih luas ketertindasan itu hanya bisa diartikan olhe genderitas mereka masing-masing. Apakah sebagai korban, dikorbankan atau mengorbankan? see?

    BalasHapus
  3. Okay, I get the point. Thank you :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer