Sampai Kapan Anda Sanggup Berteater?

Sudah hampir setengah tahun saya tidak menulis di laman dunia maya ini. Tulisan ini datang dari kejenuhan dan sebuah kejengahan dalam berkarya namun satu lagi saya menulis tulisan ini setelah dapat mengabadikan gambar dengan salah satu idola dalam dunia berkesenia drama/teater. Ya, ini setelah berfoto dengan Mas Nano Riantiarno yang merupakan punggawa dalam teater Koma. Saya semakin yakin untuk menulis di laman yang sudah lama tak disumpah serapahi ini. 

Dunia kesenian yang membawa Nano Riantiarno hingga sampai ke usia senja dan hidup dalam ruang lingkup teater. Tentu ini merupakan pengalaman dan jalan hidup yang luar biasa. Ia bisa mencurahkan segala pikirannya untuk tunak dalam kesenian ini. Bergumul dalam peran dan segala macam manajemen produksi, hingga akhirnya tidak ada satupun seniman yang tidak kenal dengan teater Koma. Tiket pementasan mereka pun selalu ditunggu setiap acara. Inikah sebuah pengorbanan dalam berteater? Hidup dan mati dalam teater hingga usia senja. 

Belum lagi jika menilik kisah legenda teater modern Indonesia WS Rendra. Lewat bengkel teaternya yang melegenda dan menjadi idaman bagi setiap seniman teater muda untuk menimba ilmu disana. Sayang, sang burung merak sudah dahulu diambil oleh sang pencipta. Dan ingat, ia mati tetap dalam kinerja dan kreatifitas di dunia teater. Lantas?

Ya, sesuai dengan judul yang saya tulis. Sampai Kapan Anda Sanggup Berteater? Gambaran orang-orng sukses tadi merupakan gambaran satu diantara seribu orang yang telah gugur dalam medan peperangan dunia teater. Semenjak zaman Dardanella, teater Nasional hingga ke Teater Koma saat ini sudah banyak yang turun panggung dengan atau tanpa alasan yang jelas. Dunia teater memang gemerlap, lampu yang terang menyinari aktor, memiliki penonton dan tentu saja dikenal oleh banyak orang. Tak heran jika mereka saban hari dikatakan sebagai seorang aktor panggung. Tapi apa alasan yang membuat banyak sekali mereka yang berguguran di medan perang teater.

Saya tidak akan menjelaskannya secara detail seperti seorang guru menjelaskannya pada siswa. Saya akan menjelaskannya bak dosen atau profesor yang sedang menggelar diskusi. Mengupas pemikiran mahasiswanya hingga ia tak mampu lagi melihat dan bertanya pada dosen tersebut. Pertama, apakah teater itu bisa membuat hidup? pertanyaan ini klise sekali memang. Namun apa daya, jika ditilik secara lebih dalam, ini merupakan pertanyaan yang rata-rata orang bertungkus lumus di dalamnya sudah tahu jawabannya. Cukup untuk menghidupi tapi tidak untuk menghidupi. Kenapa? Tentu saja, dengan kesenian yang penontnnya pasang surut dan usia yang berganti. Maka tiket yang terjual pun sudah habis membayar hutang kesana dan kemari. Mulai dari set panggung sampai pada titik make up pemain. Maka kalau bisa ditanya kepada para aktor, apakah kalian digaji dalam setiap pementasan? jawabannya tidak. Tidak sama sekali. Disinilah alasan mereka yang telah meninggalkan teater dengan segala kesibukannya yang lebih menjanjikan untuk masa depan. Musababnya teater tidak bisa menghidupi keluarga mereka. Mungkin ada juga yang bisa menghidupi tapi itu tergantung bagaimana manajemen produksinya dengan jeli. Mereka ada yang fokus bekerja di bank, dokter, guru, tukang parkir, perawat dan lainnya, yang jelas mereka sudah meninggalkan teater. Benar-benar meninggalkan teater, sebab mereka tak pernah lagi menonton teater, apalagi memainkannya. Naas.Kalau saya? saya tidak pernah digaji sekalipun, hingga dan sampai detik ini. Saya masih hobi dan saya masih berteater.

Kedua, apakah teater bisa membuat manusia populer? Teater membuka wawasan. Sebagai seorang aktor teater akan menajamkan naluri anda sebagai manusia. Siapapun itu yang masuk dalam dunia teater akan tahu betapa indahnya wirasa, wiraga dan wirama. Ini bukan sinetron yang pemerannya bisa digantikan dengan frame in dan frame out. Ini adalah teater yang tidak menjanjikan kepopuleran wajah aktornya. Sesiapapun yang masuk dalam dunia teater dan mencari pencitraan diri. Ia tak lebih dari seekor lalat ditumpukan kotoran. Bayangkan betapa busuknya seekor lalat mampu bertahan dan menikmati kebusukan itu. Teater dunia anti kemapanan, memang sekilas mirip dengan slogan PUNK yang digadang-gadang oleh musisi jalanan. Ambisiusnya seorang aktor ataupun sutradara atau bahkan pimpinan sanggar tersebut maka dengan mudah teater tersebut jatuh dalam lubang yang dalam. Lubang menganga dimana mereka lupa bahwa teater itu adalah jalan untuk jujur dan ikhlas.

Ketiga? seperti yang saya ucapkan tadi. Saya tidak akan menjelaskan secara detail. Pada dasarnya teater mengajak kita untuk masuk dalam relung. Makanya hingga saat ini pekerja seni teater bisa dihitung dengan jari di setiap daerahnya, bandingkan dengan mereka yang memiliki lahan sangat basah, penari, pemusik dan perupa. Inilah jalan teater di saat orang-orang banyak meninggalkannya, di saat itu pula ada benih-benih baru masuk untuk menjaganya. Saya sangat mengecam mereka yang mengkomersilkan teater untuk kantong pribadi. Tak ubah seperti onani, ya mereka teriak pejabat dalam ruang kesenian sementara mereka hidup dalam kebohongan itu sendiri.

Kembali pada fokus kita tadi. Sampai kapan sanggup berteater? sampai tamat dari kampus? silahkan anda cari ukm lain. sampai setelah menikah? ternyata anda tidak benar-benar menikahi teater. sampai mati? mungkin anda ingin mencapai legendarisnya Rendra atau Nano Riantiarno. Saya pun belum tahu sampai kapan. Paling tidak melihat foto di atas, saya harus berpikir lagi. Jika ada seorang muda yang ingin berfoto dengan saya ketika tua nanti. 
Ya, semoga.

Komentar

Postingan Populer