Memberangus Darurat Kekerasan Pada Anak


Indonesia sudah masuk dalam tingkatan darurat. Mengapa? Hal ini bukan sekedar pemanis dalam sebuah tulisan. Tentu saja alasan kausalitas yang logis terpapar jelas dihadapan kita setiap hari. Semenjak kekerasan semakin marak menghiasi berita di media cetak maupun elektronik. Kali ini bukan kaum dewasa yang menjadi korban, namun sosok lembut yang sama sekali tak berdosa. Dalam hal ini kajian mengenai dunia anak-anak menjadi sangat penting. Ketika anak-anak sudah mencapai tingkat sebagai korban oleh orang dewasa itu sendiri. Pola segmentasi umur anak-anak yang ditargetkan sebagai objek kekerasan sejatinya sudah berlangsung lama di Indonesia. Menguaknya kasus-kasus belakangan ini menjadi sebuah pukulan keras bagi berbagai pihak. Alangkah membuat ‘merah’ muka negeri ini.
Menurut psikologi anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. Begitulah anak begitu kecilnya untuk dapat menerima perlakuan-perlakuan dewasa yang tidak masuk akal.
Maka insiden kekerasan ini semestinya tidak layak diperjualbelikan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Penulis mengatakan seperti ini akibat melihat kekerasan ini sudah sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari. Gejala-gejala yang muncul sebagai akibat ulah manusia modern itu sendiri. Modus yang dilakukan pun beraneka ragam, mulai dari pertemanan, makanan hingga pada ancaman. Inilah yang kita sebut sebagai kejahatan dini. Saat anak-anak dipaksa untuk menjadi sebuah dadu permainan orang dewasa.
Kekerasan yang menjadi kasus besar saat ini lebih kepada kejahatan seksual. Lantas, itu juga tak lepas dari kejahatan yang lain. Seakan-akan selaras dan saling melengkapi muncul pula kasus pembunuhan siswa kelas lima sekolah dasar setelah dianiaya kakak kelasnya, hanya karena menumpahkan makanan. Meski sudah diganti, tapi tak ayal lagi nyawa telah melayang hanya dalam hitungan hari, setelah melewati koma.
Sejatinya anak mesti ditawarkan pada dunia bermain dan belajar yang nyaman. Mereka tak lepas dari kreatifitas yang sebenarnya dari sanalah berangkat sebuah ciptaan di masa yang akan datang. Tindak-tanduknya masih dalam seputaran kecerdasan pengembangan otak. Anak gemar dalam mengkaji dan mengajak pada hal yang mereka ingin coba, lalu empirislah yang mengatakan baik atau tidak. Pendampingan menjadi sebuah harga mati untuk kemaslahatan anak saat ini. Disinilah bukti keseriusan bahwa anak akan terus dipantau dan disupervisi dalam kesehariannya. Memilih dan menetapkan sekolah juga adalah hal yang senantiasa menjadi pencerahan bagi orang tua.
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak menjadi sangat menarik. Hal ini diakibatkan banyaknya dampak yang datang kepada anak tersebut. Berdasarkan data Mabes Polri, hingga Mei 2014 ini tercatat 98 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Kasus itu terjadi di sejumlah wilayah hukum Kepolisian Daerah di Indonesia. Dalam dunia psikologi, ada kemungkinan mereka yang menjadi korban dalam kekerasan seksual akan terstigma dan tersugesti dalam proses rentang waktu yang lama untuk melakukan hal tersebut di masa yang akan datang. Meski ini bukan isapan jempol belaka, tapi beberapa kasus sudah membuktikan bahwa mereka yang melakukan kekerasan seksusal pada anak. Dalam riwayat hidupnya juga pernah tersandung kasus ini.
Memutus mata rantai. Mungkin itu pula yang tepat untuk menggambarkan betapa kejinya perilaku yang dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat saat ini. Sebenarnya, ini merupakan hal yang sangat tabu dalam dunia ketimuran. Kita tidak pernah didongengkan pada kisah-kisah seperti ini di zaman moyang dahulu. Manusia pula yang telah menggeser nilai-nilai moral itu sendiri dengan sikap dan perilakunya yang berkembang jauh dari peradaban manusia itu sendiri.
Memberantas Predator Phaedofilia
Perihal memberantas adalah perihal budaya yang selalu dilakukan dengan pengawasan ketat untuk sama-sama yakin dan preventif untuk menolak sampai habis. Maka dengan budaya yang semestinya dilakukan di masyarakat, terlebih dalam lingkungan batin atau utama dari anak tersebut. Pendidikan seks usia dini memang perlu dilakukan akan tetapi keluargalah yang benar-benar mengajarkan mereka untuk lebih paham dengan apa yang ada di tubuh mereka. Anak akan menjadi mengerti dirinya jika orang yang mengayominya adalah seseorang yang memiliki unsur kasih sayang padanya. Orang tua sebenarnya wajib menjadikan dirinya sebagai seorang yang terus memandu anaknya dalam kegelapan.
Kota sudah menjadi sebuah pilihan bagi orang tua. Rata-rata mereka yang berkarir tentu menyekolahkan anaknya di tempat yang sudah mereka pilih dan tetapkan. Orang tua yang seyogyanya menjadi biduk yang mengayuh sampan ke arah mana, menjadi orang yang hanya bisa melihat anaknya mungkin dalam hitungan jam. Maka tidak bisa tidak, untuk memberantas predator phaedofilia, anak harus dijaga dengan sepenuh hati. Mereka yang menjadi korban phaedofilia rata-rata pelakunya adalah orang sekitar. Ini bisa saja tetangga, saudara jauh atau bahkan dalam kasus JIS belakangan ini pelakunya adalah petugas kebersihan yang bekerja disana. Dalam hal ini bisa jadi daerah ‘endemis’ dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan tidak mungkin sangat dekat dengan kita. Pendidikan seks usia dini pada anak dengan pengenalan fungsi bagian-bagian tubuhnya menjadi sebuah hal yang tak dapat lagi untuk berbantah-bantahan.
Anak merupakan harta terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Sebagai penerus generasi selanjutnya. Keturunan inilah yang semestinya dijaga baik-baik sedemikian rupa, diajarkan nilai-nilai moral yang sesuai dengan diajarkan oleh agama. Sedari dini anak mesti dibawa dalam dunia yang aman dan nyaman. Trauma yang ada dalam benak seorang anak yang sekiranya sudah menjadi korban, sungguh akan sulit untuk menyembuhkannya. Permata hati dari orang tua tersebut haruslah benar-benar dijaga untuk diajarkan padanya sebuah kendaraan aman menyongsong masa depan.
Negara ini akan mampu beranjak dari darurat kekerasan anak. Mereka yang sudah menjadi korban tentu menjadi pelajaran yang sangat memukul untuk bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kesalahannya sendiri. Bangsa yang selalu mengoreksi diri sebelum dikoreksi bangsa lain. Mata dunia sudah tertuju pada Indonesia, sekarang tinggal kita memutus mata rantai dan memberangus kekerasan pada Anak. Kita bisa bersama anak-anak kita.

Rian Kurniawan Harahap adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan UNRI. Tulisannya dimuat dibeberapa media nasional dan lokal.

Komentar

Postingan Populer