Sebutir Peluru di Tokyo


“Sstttt...”
Kepai angin di kepalaku. Ia mengepai bak ingin bercumbu dalam putaran keheningan. Lengket. Rasanya neraka dicampur dengan garam. Hanya ada langit gelap diselimuti kabut tebal. Aku tak bisa melihat siapa yang sedang bersembunyi di antara ratusan kepala yang teronggok di lubang hitam itu. Bau menyengat mengepul bangkai mayat yang belum terusik udara. Mungkin kewangian belum dikenal di daerah ini. Sebuah pengharapan besar jika merasa akan ada sebuah aroma kesturi disini. Becek, busuk dan lengket semuanya. Hamparan tubuh-tubuh tak bernyawa selaras menggurui dedaunan. Mereka ikut dalam ucap tak bersuara seperti kenal dan hangat dengan suasananya. Begitu dekat dan erat bak kembar siam yang selalu ingin berdua. Hampir saja semua menjadi sunyi.
Rusuk-rusuk itu menyeruak keluar dari daging yang terbungkus kulit. Ada kornea yang membungkus dalam humus. Seribu untai rambut menjinjing di dekat onggokan. Menjijikkan dan memuakkan. Tetes darah masih bersimbah menutup wajah laki-laki dan perempuan itu. Tiada terlihat bocah-bocah kecil disampingnya. Namun jauh dari itu tampak tubuh kecil tak berdosa tergantung di atas pohon lekat dengan seutas tali di lehernya. Sekitar belasan bocah masuk ke dalam mimpi mereka di surga. Lidah menjulur dari wajah suci tak berdosa. Hujan menetesi wajah mereka yang pucat mentari. Jangan heran melihat mereka karena di wajah itu tiada yang ingin dilihat seperti itu. Mereka hanya ingin di bebaskan ke langit paling tinggi dan tak terlihat oleh semua dunia. Ingin melepas kegundahan yang mereka asa dalam kehidupan yang lalu.
Itulah yang kulihat dari sebuah gambar tersisa dari kejadian pembantaian di Tokyo enam puluh tahun silam. Waktu yang lama untuk dapat membayangkan sebuah peristiwa dan kembali mengingat detailnya hanya dari sebuah gambar. Rekaman gambar mati usang dan mungkin ia tal ingin lagi dikenang serta digenggam. Tak ada lagi satupun yang ingin mengingat kejadian ini. Ya, itu juga terjadi dari seluruh negeri ini. Mereka sepakat untuk menganggap tiada kejadian seperti ini di masa lalu. Tapi tidak bagiku, ini adalah sebuah peristiwa penting yang mengubah jalur rotasi hidupku. Kehidupan yang ingin kuharap sama seperti bocah lainnnya dan orang tua mereka. Keluarga yang selalu pergi ke taman untuk berbagi tawa dan suka di tengah sibuknya putaran dunia. Meretas rasa suka dan derai cerita hingga selesai senja lalu membungkus semuanya agar direka kembali dibalut mimpi hingga diteriaki mentari. Ya, itu memang mimpi setiap anak seumuranku kala itu dan ini bukan sebuah keanehan.
 Aku sangat mengenal  beberapa raut dan garis wajah diantara beratus onggokan tubuh-tubuh disitu. Selalu menetes saja jika mata ini mengenang masa itu, masa dimana semuanya harus kehilangan hidup. Kehidupan harus berganti dalam lingkaran kegelapan. Orang tuaku harus  pergi bersama sahabat-sahabatnya dan mengonggok disana. Kesempatan untuk tersenyum hanya ada di batas langit-langit yang mengukir pigura.
Kedua orang tuaku tewas setelah diikutkan dalam penculikan beberapa tahun silam itu. Mereka terpaksa dibawa dari kediamannya lalu dibawa dengan truk ke sebuah tempat untuk di tembaki. Matanya hanya bisa melihat Tokyo dalam kegelapan. Segepok khayalan tersaji kilat dalam perjalanan malam itu. Semua yang tak pernah terpikirkan keluar dengan lancar menghias dahaga pemikirannya. Mereka tak pernah tahu akan dibawa kemana hingga kepala telah lepas ditangan samurai-samurai yang menganggap mereka pemberontak di negerinya.
Siapa yang tak mengenal kota penuh kekejaman ini? Segala macam peristiwa telah datang mengubur kenangan-kenangan orang-orang yang senantiasa kagum pada masa lalu. Seketika juga orang tuaku hadir dalam mimpi-mimpi, aku pun  berlari di antara lebatnya pinus. Oh, ini sudah menjauh dari kebisingan samurai yang tak punya akal. Tepat di jantung hatiku mereka tusukkan sembilu yang merekah dan menebar darah seiring kepergian dan menghilangnya wajah dua orang tersayang.
Jika saja masih ada waktu untuk mengulang embun yang indah bersama mereka. Membawa anjing peliharaan kami berlari hingga kaki bukit. Aku pasti menanti masa itu. Namun, aku begitu melankolis saat ini. Mungkin karena hujan sedang menetesi Tokyo, dan  itulah alasan paling tepat mengapa aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Tiada seorang pun yang mau pasti berselimut dengan tangis di akhir minggu, pasti semua ingin tertawa membahana. Semua telah tiada setelah pembantaian tragis itu dan semua pun harus hilang dimakan waktu. Satu yang tidak, saudara laki-lakiku satu-satunya. Aku yakin dia masih hidup dan bernafas di belahan bumi lain. Aku masih mengingat ketika pembantaian itu kami tidak berada di rumah melainkan di kediaman kakek. Semua juga masih terekam pasti ketika aku harus menangisi mereka; keluargaku tercinta di dalam lubang menganga itu.
Lubang yang semestinya tiada dalam kehidupan kami. Tapi kehidupan terus berjalan dan dalam tangisku di Tokyo kali ini aku mengingat satu-satunya saudara laki-lakiku itu. Sudah hampir enam puluh tahun kami tidak pernah lagi bersua. Sejak kakek shock dan meninggal akibat kejadian itu ia harus dibawa ke California oleh keluarga disana. Ia diadopsi sebagai korban kejahatan yang tidak sepantasnya mendapatkan akibat dari masalah-masalah orang dewasa. Sementara aku, aku harus beranjak besar tetap di kota ini. Dari mulai belum mampu mencipta mesin-mesin; hingga semua di kuping ini hari-harinya harus dipenuhi suara itu. Tokyo menjadi jalan hidupku dimana semua telah kujelajahi hingga usai merayap angka enam puluh delapan. Usia itu merupakan kategori yang sudah tak pantas lagi bekerja terlalu keras dan aku memakluminya. Sama seperti saudara laki-lakiku itu yang entah dimana keberadaannya. Usianya hanya terpaut dua tahun dariku.
Aku sudah mulai tua, punggungku tak mampu lagi menahan berat beban daging-daging yang mulai membusuk di tubuhku. Terkadang jika luka meradang kulit-kulit ini tak mau lagi dengan cepat mengering. Sempat terpikir di usia setua ini mungkin aliran darahku sudah mulai mengalami kemacetan.padahal ini merupakan usia yang kuharap dapat menjadi orang yang lebih baik kedepannya. Orang yang bisa membahagiakan cucuku dai masa sebelumnya ketika aku tak pernah merasakan kasih sayang dari orang yang terkasih.
Kembali saja terlintas di kepala ini sosok saudara laki-lakiku. Seperti apa rupanya sekarang pasti masih sama seperti dahulu memiliki cekung mata yang kecil khas Asia. Meski kehidupan manis dan dukanya telah ditulis di negeri barat sana. Rasa penasaranku harus membuat ku beberapa kali rebahan hingga pikiranku melayang melintasi samudera dan sampai ke negaranya.
Enam puluh tahun sudah tidak bertemu semoga. Aku menganggapnya sudah mati. Meski keyakinanku lebih kuat mengatakan ia masih hidup dan menungguku. Tapi kupikir tidak seperti itu adanya, ia juga pasti menganggapku telah mati. Ya, Samito Kashimi dan Ryu Kashimi telah wafat. Aku sepakat berkata bahwa kami telah wafat. Tiada yang bisa diharap dari sebuah dongeng negeri ketujuh yang memberikan sebuah mukjizatnya. Sehingga semua terkumpul lagi dan dalam keadaan yang sama dan utuh. Mereka tidak terbujur kaku. Sempurna dalam kebutuhan keluarga. Aku, Ryu serta Ayah dan Ibu.
Kepalaku sakit jika mengingatnya lagi.
“Cu, coba ambilkan obat kakek di atas lemari”
“Iya, kek”
Sejenak aku merebah lagi untuk kesekian kalinya, uban-uban yang sudah mulai rontok ini. Semua sama kulihat di hadapanku. Ketika Tokyo hujan jendela itu pasti mengembun. Tetesnya terus menggelitik di dahan-dahan cemaraku. Sejuk dan tenang. Suasana yang diidamkan setiap masyarakat disini. Tiada pekerjaan, tiada kesibukan semuanya diam di rumah menikmati pemanas ruangan. Seringkali pohon-pohon terhembus kesegaran dari kembang di sekitar. Kupu-kupu bercanda di pinggir jendela merajut cinta dan kasihnya. Berpuluh burung ke sarang menerawang asa yang ditetas induknya.
Kenanganku akan Ayah dan Ibu serta Ryu yang telah menjadi kematian bagiku. Kematian yang tak pernah lagi masuk dalam lingkaran kehidupanku. Kehidupan seorang tua yang ingin dimanja oleh saudaranya yang berada di luar benua. Keinginan seekor burung yang mendamba kasih dari seberang.
“ Mana obatnya?”
“ Ini obatnya, kek”
Ada seratus ton beban dihimpitkan di selasar kepala. Kepala-kepala yang diisi tulang tengkorak lunak harus dijejali beban begitu berat. Kematian lagi dan lagi. Isak tangis untuk kesekian kalinya. Masih kukandung sejuta memori. Racaulah yang membuatku melayang di langit ketujuh. Semua jelas sudah. Aku sendiri. Apakah sendiri lebih baik dari pada menyusulnya mati? Semua menetes ke kaki-kaki langit. Bumi semakin berpeluh penat memikir saat paling ditakutinya; kiamat. Ketika semua hancur di hembus dalam hitungan detik. Aku pun rubuh. Hanya menatap jauh ke sebuah titik yang mungkin sudah dikabarkan bernama surga. Kehilangan yang pas seperti dahaga di gurun Sahara.
Sesegera pula aku ingin sakit jantung dan mendekati kematian. Terpapsar di depanku wajah seorang tua yang hampir sama umurnya denganku. Ia penuh harap dengan tetes mata di pelipis mata cekungnya. Gambar sejuta onggokan tubuh lalu menerobos akal logika. Ada yang teringat dan ada yang lupa. Mata yang sama dan kulit yang sedikit menguning. Laki-laki itu kematian bagiku. Hidup dengan misteri kematian dan ingin mematikan hidup. Tokyo kembali seperti biasa. Hidup yang sejalan dengan rotasinya. Pagi, siang dan malam. Hari ini, esok dan seterusnya.
Perlahan kubuka laci kecil yang ada didepan tubuhku. Kulihat sebutir peluru dan sebuah senapan.


Cerpen ini dimuat di harian Sinar Harapan (Jakarta) dan Riau Pos 2013

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer