Cerpen- Tua

Tua
Oleh Rian Harahap

Pasir-pasir berbisik kecil. Siul burung itu menepi di bibir telaga. Lembayung kekosongan menjamah rindu yang membeku sedu. Lega rasanya setelah menghirup udara pagi ini. Aku harus bergegas pergi shalat di pagi buta ini. Azan yang berkumandang mendengungkan kakek untuk menggangguku dari pesona malam tadi. Ya, kakek selalu membangunkanku dengan teriakan khasnya. Ardi, ardi cepat bangun. Sudah waktunya subuh, langsung saja aku terjaga dan meninggalkan tempat tidurku. Tapi belum sampai lima langkah aku pergi, kakek langsung menjewer karena persemayaman tadi belum lagi dirapikan. Hah, kakek selalu begitu.
Kakek sudah lama menjadi komandanku. Sejak ayah dan ibu meninggal tiga tahun yang lalu. Mereka meniggal karena kecelakaan bus yang sewaktu pulang kampung. Untung saja masih ada yang menjadi pengurus hari-hariku. Aku bukanlah anak yang bisa mengurus diri sendiri. Maklumlah, aku masih duduk di kelas tiga SD. Betapa sedihnya anak ini, harus kehilangan ayah dan ibunya sejak kelas tiga SD, pikir kakek. Kakek memang menjadi ayah serta ibuku setiap harinya. Mulai dari memasak sarapan hingga menjemur pakaian kotor di belakang rumah.
Sempat juga ibu tetangga terkejut melihat kakek, meski di umurnya yang hampir kepala tujuh. Ia masih mampu kesana-sini dan mengurus bocah kecil bernama ardi ini. Kakek memang tergolong rajin jika dilihat dibanding laki-laki lain seumurannya. Bahkan kalau dilihat di sekitar komplek rumah kami. Lelaki yang sepantaran dengannya sudah duduk termenung di kursi roda tepat depan teras rumah. Mereka diberi suapan bubur satu persatu.
Kakek setiap hari mengantarku pergi ke sekolah dengan sepeda ontelnya. Ontel tua itu ia beli di waktu zaman belanda dan itu merupakan warisan dari kakeknya dahulu. Kakek selalu mengantarku ke sekolah tepat jam tujuh pagi. Tidak pernah ada cerita terlambat bagi kakek. Ia selalu on time dengan peraturan yang dibuatnya. Kakek memang lelaki yang disiplin. Sekitar dua kilometer yang ia harus hadapi mengayuh sadel sepeda kecintaannya. Sejauh itulah sekolahku dengan rumah kami tinggal. Senyum dan tawa selalu tersaji hangat di balik tetes keringat yang mengucur deras.
Aku sempat berpikir, “Apa kakek tidak capek?”
 Aku tidak pernah bertanya seperti itu. Aku takut kakek akan menangis pula mendengar ucapan itu dari bibirku. Senyum dan senyum hanya itu yang bisa kusampaikan pada semilir angin yang menemani kami setiap harinya dalam perjalananku sekolah.
Begitulah rutinitas lelaki tua ini setia harinya. Ia harus mengantarkanku untuk bertarung melawan usianya. Kini kakek harus menjelma menjadi lelaki super yang tiada kenal lelah. Ia selalu tersenyum dalam juangnya mengenal dunia bocah ini. Senyum yang selalu di ukir di setiap pertemuan dan kesempatan sehingga banyak orang yang mengenal kakek. Selain ingat dengan sepeda ontelnya.
Beberapa hari belakangan aku melihat kakek kurang sehat. Ia terlihat lebih kurus daripada sebelumnya.
“Kek, kakek sakit?”, kutanyakan itu ketika memasuki kamarnya.
“Tidak, kakek tidak sakit“ Jadi, kakek kenapa ? kok badannya panas ?”
“Kakek tidak apa-apa ardi, Kakek cuma kurang minum air putih. Aku pun lega ketika ia memberi sebuah alasan yang menurutku betul tapi hanya sekedar pemuas pertanyaan seorang bocah SD.
Meski sakit kakek tetap mengantarkanku pergi pagi ini. Urat-urat tua itu mengayun lemas, ingin menangis aku rasanya. Ia tak sanggup lagi mengayuh ontel usang itu.
“Apa karena seorang bocah seperti aku?”, ia selalu bersemangat bak anak muda yang turun ke medan perang.
Terik pagi ini terasa lain bagiku. Sejuknya memejam perlahan siku-siku kelok mataku. Aku terbuai di boncengan pagi ini. Kondisi kakeklah yang membuatku terjaga agar tidak terlena mentari pagi. Kakek sampai juga mengantarku ke sekolah. Pucat kulihat ia mengkayuh berkilometer sepeda itu. Tak mampu lagi aku melihat muka pria tua yang sangat sayang pada cucunya ini.
Sebotol air putih yang kubawa dari rumah tadi kubisikkan di kerongkongan kakek. Ia begitu haus, berebeda dengan sebelumnya. Ya, mungkin karena kakek sakit makanya dia lebih cepat capek dari kemarin. Kakek pun izin pergi ke pulang untuk nanti ia menjemput lagi, sempat juga kukatakan kakek jangan pulang. Kakek tunggu saja di kantin sekolah, tapi ia tetap tidak mau.
Ya, kakek harus pergi lagi setelah mengantarku. Kucium kening tuanya yang harum minyak nyongnyong itu. Lalu aku segera berlari masuk ke kelas sambil melambai pada kakek dari kejauhan. Lama kelamaan kakek menghilang dari pandanganku.
***
Pukul dua belas tepat murid-murid berkeluaran dari kelas. Lonceng pun berdentang keras menyambut sorak bocah-bocah kecil yang ingin pulang ke rumahnya. Aku pun senang tiada duanya, berlari mengambil tas dan langsung turun ke bibir pagar depan sekolah.
Kakek pasti sudah di pagar depan pikirku. Kulihat dari lantai dua kelasku, kakek tidak tampak di depan pagar.
“Ya mungkin kakek terlambat, maklum hujan pula siang ini”, pikirku. Aku tetap bergegas turun dan tidak menyurutkan setiap anganku menunggu lelaki kesayanganku. Lelaki kebanggaanku yang selalu hadir di setiap saat untuk mendekapku cucunya.
Perlahan kami tercengang, sebuah ambulan berbunyi kencang melintasi sekolah. Bocah-bocah lain pun berteriak takut, karena jarang ambulan seperti ini lewat sekolah kami. Aku pun juga ketakutan mendengar sirene mobil tersebut. Kakek belum juga datang dan sudah lebih dari satu jam, aku terus menunggu satu per satu dari temanku di jemput di bawah tetesan hujan gerimis ini.
“Kakek, mana?”, pikirku melayang. Khayalku melintasi dedaunan yang jatuh tepat di depanku. Sudah lama aku menuggu tapi belum juga ia hadir dengan secercah senyuman yang biasa mengghiburku.
“Kamu ga dijemput nak?”, kata seorang guru kepadaku dari belakang.
Aku hanya menggeleng dan ingin mengisak nangis sebab tinggal aku sendirian yang belum dijemput di sekolah itu.
“Dijemput kakek ya?”, aku pun mengangguk mendengar kata-kata itu.
Ia pun pergi meninggalkan bocah kecil ini sendirian. Tiga jam sudah berlalu kakek belum juga datang. Tiba-tiba sesosok lelaki tua muncul dari gerimis kecil-kecil yang menggelitik sore ini. Aku belum mengenalinya, ternyata ia adalah pak Amir. Penjaga sekolah yang tinggal di sekolah ini. Ia mengusap kepalaku dan mendekap tubuhku tepat seperti kakek. Meski dia bukan kakek tetapi dekapannya membuat ku hangat pada waktu ini.
“Bapak dari mana?”, tanyaku pelan, kemudian perlahan dia berbisik.
 “Tadi bapak ke ujung jalan sana, terus ada kecelakaan.“
 ”Yang kecelakaan siapa pak?”
“Bapak juga tidak tahu, cuma  saja yang ditabrak meninggal nak dan dia mengendarai sepeda ontel tua “
Langit memerah setelah beberapa hari tak hujan di kotaku. Gerimis pun membunuh gemerlap rindu akan senyum tua yang tak akan usang dimakan waktu.








Komentar

Postingan Populer