Bukan Musikalisasi Puisi, tapi “Melainkan”
Ratusan
orang masuk riuh dan sibuk dalam gedung pertunjukan, mencari-cari bangku yang
tepat untuk diduduki. Sementara lampu panggung masih gelap dengan segala
kemisterian pertunjukannya. Seorang pria keluar dengan celana ketat dan baju
yang mengecil, wajahnya penuh dengan kumis klimis kemudian menghentak
keheningan panggung. Ia menyampaikan orasi budaya yang terus berceloteh tentang
sebuah kehidupan, layaknya puisi dan roda yang terus berputar. Penonton pun
termangu mendengar celotehan yang terdengar seperti aktor teater. Sekilas
dengan kostum dan keanehan wajahnya, sepertinya pertunjukan dibalik tirai yang
belum terbuka itu pastilah sebuah garapan teater. Itulah kiranya yang akan
membuat pola dan konsepsi yang berputar di kepala penonton. Namun semuanya
salah ketika tirai panggung tersibak lalu muncullah kumpulan komposisi yang
padu dari berbagai alat musik.
Pertunjukan musikkah? Tentu saja
kita (penonton) kembali diliarkan oleh dugaan-dugaan sementara. Sampai masuklah
pada sebuah alunan musik modern yang dipenuhi techno dan dentuman tuts keyboard
yang singgah di telinga. Lampu pun memenuhi panggung proscenium anjung seni
idrus tintin dengan latar siluet sebuah bangunan tinggi pencakar langit. Inilah
sebuah pertunjukan yang ditaja oleh komunitas Home Poetry (HP) Medan. Dalam
pertunjukan yang ditaja dalam dua sesi ini pada sabtu (9/2) ini, banyak sekali
kejutan yang dihadirkan. Mulai dari anggapan penonton yang menganggap
pertunjukan ini aneh hingga asumsi yang mendasar dan menikmati pertunjukan ini
dengan konsep yang tertata rapi.
Komunitas HP dalam hal ini membuat
garapan dengan judul ‘Melainkan’ yang merupakan sebuah garapan yang didasarkan
pada benturan ‘kelainan’ yang ia cicipi selama menemui sebuah titik dalam musikalisasi
puisi. Dengan menggandeng sebuah prestasi juara umum nasional musikalisasi
puisi pada 2011. Agaknya para juri yang memenangkannya seperti Sujiwo Tedjo,
Uli Sigar Rusyadi dan Iman Soleh membuat keputusan yang tepat. Dalam kompetisi
yang dimenangkan oleh Hasan Al-Banna yang sebelumnya membawa nama sanggar
Rumput Hijau SMAN 2 Binjai itu masih memiliki kekurangan disana-sini. Dari
kemenangan itulah mereka terus mencari bentuk musikalisasi puisi yang
seutuhnya. Hingga membenturkan diri kembali dalam bentuk garapan musikalisasi
puisi dan bertransformasi menjadi sebuah grup utuh. Dengan sadar Hasan Al-Banna
menggandeng Musikalinea yang merupakan lanjutan dari sanggar Rumput Hijau serta
digabungkan dengan Musisi Dunia Akhirat yang notabene memiliki aliran musik
tradisi batak dan modern.
Alunan sordam berlayar bersama
kesiur angin/ Menelusuri persawahan di antara padi-padi/ Sepanjang hamparan
sigalangan membakar dingin/ Dan burung-burung yang sibuk memetik hasapi.
Begitulah sepenggal sajak ‘Torsa Ni Namora Pande Bosi’ karya M.Raudah Jambak.
Puisi itu menjadi alunan keeempat yang dihadirkan ke telinga penonton. Alunan
yang datang dalam bahasa musik halus, disertai pukulan ‘keteng-keteng’ alat musik
khas karo dan taganing khas toba seketika menghantarkan penonton masuk dalam
wilayah sumatera utara. Dentingan kecapi dan alunan suling dan notasi yang
menggetarkan sudah membuat penonton nyaman dibangkunya. Inilah mungkin sejenak
keberhasilan yang diraih Hasan Al-Banna dalam membuat penonton yang nyaman
hingga pertunjukan berakhir.
Belum lagi
sajak yang pendek dari Sutardji Calzoum Bachri digubah dalam alunan
musikalisasi puisi. Sepisau luka sepisau duri/ sepikul dosa sepukau sepi/
sepisau duka serisau diri/ sepisau sepi sepisau nyanyi/ sepisaupa sepisaupi/
sepisapanya sepikau sepi/ sepisaupa sepisaupoi/ sepikul diri keranjang duri/
sepisaupa sepisaupi/ sepisaupa sepisaupi/sepisaupa sepisaupi/ sampai pisau-Nya
ke dalam nyanyi (1973). Sajak singkat itu menjadi sangat padat tatkala
komunitas HP mengaransemennya dalam notasi balok, pukulan taganing dan jimbe
sampai pada tiupan seruling lalu petikan gitar hingga menyatu dan mengalunkan
penonton jauh dari kesan heroic. Padahal puisi ini banyak dibacakan dengan
suara yang garang dan tatapan yang tajam. Pada titik ini itulah ‘kelainan; yang
dinyatakan oleh Hasan Al-Banna. Ia tidak ingin membuat sebuah paradigma tentang
puisi selalu dengan kesan gagah dan malah menjadi konvensi di tengah masyarakat.
Sekitar tujuh
puisi dihadirkan pada pertunjukan dua sesi itu. Mereka menjadi sebuah
pertunjukan yang sangat lain dalam ranah sisi musikalisasi puisi sendiri.
Keanehan itu tersebar dalam Ceracau Sebongkah Kota, Rindu 1 (Hasan Al-Banna),
Cintaku Jauh di Pulau (Chairil Anwar), Torsa Ni Namora Pande Bosi (M.Raudah
Jambak), Sepiasupi (Sutardji Calzoum Bachri), Hotel Siantar (Damiri Mahmud) dan
Akulah Medan (Teja Purnama). Garapan yang dengan persinggungan modernism dan
tradisi. Itu sangat terlihat dalam kontrasnya alat musik yang digabung dalam
alat musik yang mereka mainkan. Sebuah taganing akan berhadapan dengan alunan
gitar elektrik dengan distorsi yang keras. Maka jadilah sebuah persinggungan
dan menjelaskan kegundahan dalam garapan yang bertajuk ‘Melainkan’.
Namun dari
semua keberhasilan Hasan Al-Banna dalam membuat pertunjukan itu sangatlah
berbanding terbalik ketika penonton sudah sadar pertunjukan habis. Mereka
seperti dilenakan oleh pertunjukan grup musik yang menyanyikan sebuah lagu. Apa
lagi pangsa dalam pertunjukan ini adalah siswa sekolah menengah yang masih
minim dalam pengajaran sastra. Apa hal yang membuat ini terjadi? Tentu saja
kita harus kembali menilik konsep dasar musikalisasi puisi itu sendiri.
Dalam hal ini
kita tak boleh ragu menimang konsep tersebut. Meski dalam buku-buku teks sastra
tak pernah ada yang jelas membuat konsep ini. Musikalisasi puisi sendiri bisa
digambarkan seperti beberapa istilah yaitu yang menyebutkan Poetry Singing,
Tembang Puitik, Musik Puisi, musisi Amir Pasaribu menyebutkannya Musiklisasi
Syair, atau barangkali ada istilah yang lain. Kegiatan bermusikalisasi puisi
sudah berlangsung cukup lama, bahkan Sunan Kalijaga juga sudah
memusikalisasikan puisi, banyak ajaran sunan Kalijaga yg berupa syair,
ditembangkan (Latief Noer, “Musik Puisi Dari Istilah ke Aksi” / Musik Puisi
jalan Pintas Menuju Sukses, Penerbit Pustaka Sastra LkiS Yogyakarta 2005).
Maka
musikalisasi puisi belum sangat tenar di negeri ini. konsep yang dihadirkan
masih rancu. Apakah musikalisasi puisi merupakan musik yang dipuisikan atau
puisi yang diramu menjadi sebuah alunan musik? Sekiranya itu pula yang coba
dihadirkan dalam apresiasi setelah pertunjukan berakhir. Seorang alumnus
Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) bernama Slamet dengan jelas mengutarakan
kegundahannya tentang garapan yang dibawa Hasan Al-Banna, dkk. Ia seperti dibawa
dalam ranah lama dan dipakemi oleh beberapa komunitas di Jawa, bahwa
musikalisasi puisi haruslah didasarkan pada puisi, lalu bagaimana dengan lagu
yang pernah diciptakan oleh Ebiet G Ade, Iwan Fals serta (Alm) Franky Sahilatua
yang memang lirik-liriknya sangat puitik. Maka itu pulalah yang menjadi
perdebatan penting setelah acara ini berlangsung. “Konsep dasar musikalisasi
puisi sebenarnya terus berkembang, mulai dari nada, irama dan puisi. Setiap
orang berhak memiliki presentasi sendiri atas musikalisasi puisi, boleh saja
puisi itu dilakukan dengan segala macam alat musik, baik tradisi maupun
elektrik namun asal saja sebuah puisi itu tidak diulang sajaknya dan ruh
puisinya tetap hidup dalam alunan musik tersebut”, terang Hasan Al-Banna.
Musikalisasi puisi
tak boleh mengulang sajaknya dan ruh puisi itu harus terus hidup. Itulah
sebenarnya hal yang paling dapat diajarkan dalam kebingungan penonton yang
merasa sedang menonton pertunjukan grup yang menyanyikan lagu atau musikalisasi
puisi. Pada hal ini terang saja musikalisasi puisi adalah suatu kegiatan
penciptaan musik berdasar sebuah puisi, sehingga pesan yang ada dipuisi
tersebut makin jelas maknanya. Dalam perkembangannya, memberikan syair pada
sebuah melodi yang sudah ada juga dikategorikan sebagai musikalisasi puisi.
Keberhasilan sebuah penghadiran ruh puisi dalam bentuk musik sangat penting,
sehingga unsur pembentuknya berada pada dua titik, musik dan puisi. Kontan saja
nama yang menjadi pembentuk sebutan bisa saja berubah, terserah orang ingin
membuat nama dan sebutan yang konvensi untuk sebuah puisi yang dimainkan dalam
alunan musik.
Pada
dasarnya pastilah jelas seorang penyair dan musik memiliki kesamaan dalam
sebuah penciptaan seni. Tidak heran kalau Carlyle kemudian mendefinisikan puisi
sebagai pemikiran yang bersifat musikal. Profesor sastra dari UGM, Rahmad Djoko
Pradopo kemudian menambahkan pula, penyair dalam menciptakan puisi memikirkan
bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya. Keberadaan yang berimbang
semestinya disadari sebagai pelajaran penting dalam ‘Melainkan’ musikalisasi
puisi, terserah puisi itu dinyanyikan, dibacakan dan diiringi musik atau musik
menjadi dominan didalamnya, namun jika semua itu berangkat dari sebuah puisi
maka jelas sudah puisi itu berubah menjadi musikalisasi puisi.
Pada akhirnya pertunjukan komunitas HP sudah
membuat suasana di Pekanbaru lebih baik. dalam pertunjukan berdurasi enam puluh
menit itu mereka menjadikan musikalisasi lebih bebas dan liar. Musik tradisi
batak, reggae, jazz menjadi penghantar selera baru menuju musikalisa yang
sangat ‘Melainkan’ di masa yang akan datang. Pertunjukan yang bekerjasama
dengan teater Selembayung ini mendapat apresiasi juga dari Wakil Gubernur
Provinsi Riau yang datang menyaksikan hingga pertunjukan berakhir. Meski ekspektasi
kota Medan hanya tergambar dalam musik dan sajaknya dan tak memanfaatkan seting
visual panggung yang mengarahkan penonton lebih dekat ke wajah bangunan kota
itu, akhirnya Hasan Al-Banna menutup pertunjukannya dengan membacakan sajak
‘Akulah Medan’ dengan menaiki tangga tinggi, persis sebuah tugu Guru Patimpus
di Medan. Mungkin itulah yang membuat komunitas ini membuat sebuah garapan
puisi ‘Melainkan”, lain bukan?
Rian
Harahap
Penulis adalah Guru Swasta dan
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sajak, Cerpen dan Esainya
dimuat di dimuat di Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Koran
Riau, Metro Riau, Pekanbaru Pos, Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Medan Bisnis
dan Majalah Daulat. Berdomisili di Pekanbaru, Riau.
Komentar
Posting Komentar