Bahasa Indonesia Momok Menakutkan
Dalam bentuk
yang paling hakiki pendidikan adalah salah satu kegiatan dan proses
pembelajaran yang saling mendukung satu sama lain. Baik dalam ilmu eksakta
maupun sosial yang noabenenya membuat pendidikan itu sendiri lebih baik di masa
yang akan datang. Maka untuk menjadikan pendidik itu sebagai sebuah tonggak dan
fundamental yang kokoh terbitlah sebuah keputusan yang dikelurakan pemerintah
tentang pengakuan bahwa seseorang dikatakan berpendidikan dan lulus lewat
pendidikan tersebut. Saat itu perlu diadakannya sebuah ujian yang mampu membuat
tolak ukur berhasil atau tidaknya seseorang dalam menyelesaikan pendidikannya.
Hal ini masuk dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah. Maka terbentuklah
cetusan untuk membuat Ujian Nasional. Ujian yang diadakan sekali setahun ini
berguna menjadi instrument penyeleksi bagi setiap siswa untuk bisa lulus. Jika
seorang siswa berhasil memperoleh nilai tinggi dan jauh dari ambang batas
minimal maka ia berhak untuk melenggang mendapatkan ijazahnya melanjutkan ke
sekolah lain. Lain halnya jika ia tidak mampu menyelesaikan Ujian Nasional ini
dengan nilai paling tidak cukup, maka ia tak berhak lulus dan harus mengikuti
serangkaian tes diluar jalur yang mereka sudah lulus, bisa melalui paket-paket
penyetaraan yang telah disiapkan. Tentu saja ini sangat merugikan mereka yang
tidak lulus, maka oleh karena itulah Ujian Nasional (UN) menjadi momok yang
menakutkan.
Dalam konsepsinya Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah
sistem evaluasi
standar pendidikan
dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah
yang dilakukan oleh Pusat
Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20
tahun
2003 menyatakan bahwa
dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Hal ini mengacu
pada penjelasan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut
harus dilakukan secara berkesinambungan, sehingga peran serta guru-gurunya
dalam menyukseskan peserta didik dalam menempuh ujian nasional sangatlah
penting. Mengingat begitu besarnya harapan dan keinginan seorang peserta didik
dalam melanjutkan sekolah pada masa ini.
Era global yang
berkembang pulalah yang membuat peserta didik lebih banyak bermain dan
melupakan mata pelajaran yang semestinya menjadi kendali atas setiap proses
pembelajaran yang dilakukannya. Setelah lepas dari proses belajar mengajar di
sekolah kemudian dilanjutkan dalan les atau mandiri di rumah masing-masing. Itu
pun menjadi harapan yang seketika hilang ketika UN 2012 jelas menyebutkan bahwa
masih banyak yang tidak lulus dalam ujian tersebut. Apakah yang membuat mereka
terganjal? Berdasarkan data kelulusan yang didapatkan pada tahun 2012,
pelaksanaan UN menghasilkan tingkat kelulusan sebesar 99,50 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 99,22
persen.Secara nasional memang itu angka yang besar namun jika dirunut lagi
sebenarnya ada hal yang perlu ditanggapi secara sensitive mengenai hal ini.
jika dalam persen bisa dikira tingkat kelulusan besar dan ketidaklulusannya
kecil maka setelah dimasukkan dalam angka yang realistis lagi maka yang lulus
UN sebanyak 1.517.125 orang, sedangkan yang tidak lulus 7.579 orang. Bukankah
sekitar tujuh ribu siswa yang tidak lulus itu adalah angka yang besar untuk
negeri ini.
Memang sejatinya untuk provinsi Riau sendiri memliki
prestasi yang cukup membanggakan pada tahun 2012.di tahun inilah wajah
pendidikan Riau bisa berbangga karena memiliki tingkat kelulusan yang hampir
seratus persen. Lagi-lagi kita mendengar kata-kata hampir, padahal kita harus
belajar dari kata hampir tersebut. Data menunjukkan bahwa sekitar 99,87 persen
lulus dengan hasil yang memuaskan.
Lalu
apakah disini peran guru yang salah? Tentu saja tidak, kembali pada hakikat
bahwa kelulusan adalah batas kemampuan seorang anak dalam mengolah kemampuan
berpikirnya dalam setiap mata pelajaran. Menurut pendapat Muijs and Reynolds
(2005), “concur that teachers in
effective schools create pleasant and positive learning environment”. Jika
diartikan guru di sekolah harus bisa
menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan positif. Maka sudah pasti
guru memberi hal yang demikian untuk setiap peserta didiknya. Tinggal lagi
sekarang tergantung pada individu masing-masing yang benar-benar komitmen pada
pembelajaran yang utuh.
Jika ditilik kebelakang lagi, jauh sebelum UN akan
dilaksanakan secara serentak disleuruh kota di Indonesia, maka yang didapati
adalah kegelisahan peserta didik yang tak memiliki konsep untuk lulus pada UN.
Banyak dari mereka yang hanya memeperkuat pada satu mata pelajaran yang
disukainya saja atau bahkan beberapa hingga melupakan salah satu dari mata
pelajaran lainnya. Melihat kajian pada tahun lalu juga, bahwa untuk tingkat
kelulusan yang sangat besar berada pada mata pelajaran yang masih sama. Mata
pelajaran yang setiap tahunnya memiliki peran penting untuk menjebloskan
peserta didik yang sangat sepele dengan mata pelajaran utama tersebut.
Ketika mempelajari konsep kelulusan, setidaknya peserta
didik harus mengambil jalan yang sangat besar dalam artian ia berani membuat
keputusan yang berimbang. Mempelajari setiap mata pelajaran dengan
konsekuensinya masing-masing. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang
ditengarai membuat peserta didik jatuh dalam ujian ini. Mereka banyak yang
sangat sepele dengan soal-soal yang hadir dan dikatakan tanpa rumus, menurut
mereka. apalagi soal-soal yang disuguhkan adalah membaca dan menganalisis
wacana. Hal itulah salah satu pendongkrak yang membuat mereka sangat sepel
dengan mata pelajaran ini. Generasi yang alpa membaca, terserah membaca koran
atau buku, majalah, dll. Maka inilah menjadi faktor paling besar kegagalan
mereka menuntaskan soal-soal bahasa Indonesia.
Pada
titik ini kelemahan itu didasarkan pada ‘kemalasan’ siswa itu sendiri untuk
tidak mengotak-ngatik daya nalarnya tentang bahasa Indonesia. Padahal bahasa
ini adalah bahasa keseharian yang telah disumpah pemuda oleh pejuang pada
tahun-tahun yang lalu. Maka seharusnya kejadian-kejadian seperti ini tidak
boleh terjadi. Mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang
menjadi momok menakutkan bagi siswa. Kekurangsiapan siswa baik dari segi mental
maupun dari segi penguasaan materi menjadi faktor pendukung rendahnya nilai UN
mata pelajaran bahasa Indonesia. Menurut Nuh (dalam Kompas 2011) nilai
rata-rata mata pelajaran bahasa Indonesia 7,49. Nilai maksimum yang diraih
siswa 9,90, sedangkan nilai terendah 0,80. Dibandingkan mata pelajaran lain,
nilai rata-rata bahasa Indonesia termasuk yang paling rendah. Selanjutnya
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional
Mansyur Ramly menambahkan, rendahnya nilai pada mata pelajaran bahasa Indonesia
karena lemahnya kemampuan dalam membaca. Padahal, soal-soal bahasa Indonesia
umumnya diawali dengan soal bacaan. Padahal, soal-soal bahasa Indonesia umumnya
diawali dengan soal berupa teks bacaan. Sulit bagi siswa yang tidak terbiasa
membaca cepat dan susah berkonsentrasi, mampu mencerna dengan baik. Apalagi
jika pemahamannya tidak sempurna akan sulit menentukan pilihan jawaban karena
opsi yang tersedia tersebut hampir semua benar dan mirip. Faktor lain yang
menjadi penyebab adalah mungkin karena ketika mengerjakan soal-soal ujian
tersebut siswa melakukannya dengan terburu-buru waktu dan belum terbiasa
membaca cepat. Apalagi bahasa Indonesia selalu menjadi "menu pembuka"
setiap Ujian Nasional. Meskipun demikian, masih perlu adanya pemetaan alasan
rendahnya nilai bahasa Indonesia agar bisa dilakukan perbaikan materi soal,
peningkatan kemampuan guru, atau perbaikan kurikulum.Sangat berbeda dengan Matematika
yang notabenya mata pelajaran eksakta (pasti) hingga setiap apa yang sudah
dihitung tidak akan pernah berubah dari aslinya, maka mata pelajaran bahasa
Indonesia memerlukan pemahaman soal yang mendalam meski bukan pula ia dapat
berubah-ubah setiap waktunya.
Sebanyak
20.234 siswa dari total 3.660.803 siswa atau 0,55 persen jumlah peserta ujian
nasional jenjang SMP/MTs tahun 2010/2011 tidak lulus. Terdapat pula 12 sekolah
yang 100 persen siswanya tidak lulus dengan jumlah 91 siswa. Sebaliknya, ada
40.218 sekolah dengan 3.140.664 siswa yang 100 persen siswanya lulus. Hal ini
menunjukkan adanya peningkatan angka kelulusan tahun ini yakni sebesar 0,3
persen (Kompas 2011). Jumlah siswa tidak lulus terbanyak ada di Jawa Tengah,
yakni sebanyak 4.823 siswa dari 505.393 peserta. Panitia pusat Ujian Nasional
(UN) 2011 sudah menyelesaikan pendataan hasil ujian tingkat SMP dan sederjat.
Hasilnya, 20.234 siswa dari 3.660.803 peserta UN dinyatakan tidak lulus. Mata
pelajaran bahasa Indonesia masih menjadi momok peserta ujian (Kompas 2011).
Sedangkan nilai rata-rata hasil UN untuk empat mata pelajaran yaitu bahasa
Indonesia 7,23, bahasa Inggris 6,37, Matematika 6,31 dan IPA dengan nilai
rata-rata 6,46. Siswa yang mendapatkan nilai 10 pada mata pelajaran bahasa
Indonesia ada 14 siswa, mata pelajaran bahasa Inggris ada 271 siswa, mata
pelajaran Matematika ada 1.150 siswa, dan IPA 1.406 siswa (Kompas 2011).
Kembali lagi pada tahun 2012 yang lalu,
kita bisa berkaca pada Jawa Timur sebagai Provinsi penoreh preasti dengan
kelulusan tertinggi di Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran
paling sulit bagi siswa SMA se-Jawa Timur dalam UN kemarin. Dinas Pendidikan
Jawa Timur mencatat, distribusi nilai UN SMA 2012 terendah ada pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Nilai rata-rata Bahasa Indonesia se-Jatim 7,83,
sedikit di bawah Bahasa Inggris dan Matematika 8,04.
Maka jelas sudah bahwa kemandirian seorang siswa untuk
menjadikan bahasa Indonesia sebagai pelengkap ujian nasional harus diubah.
Dasar yang sebenarnya sangat sederhana tentang menyamakan persepsi untuk
membuat sama semua mata pelajaran. Dalam hal ini penulis melihat berbagai
bentuk alasan mengapa bahasa Inggris malah menjadi hal yang paling mereka
takuti. Peserta didik kini lebih senang terhadap bahasa Inggris, memang itu
merupakan sebuah kebanggan sebagai Negara yang terbuka dan maju. Saat peserta
didik di Indonesia mampu menjadi penutur bahasa asing dalam era global, akan tetapi akan sangat
miris jika seorang Indonesia tidak lulus dalam ujian bahasa Ibunya. Masihkah ia
kita katakan seorang warga Negara Indonesia? Sementara Ibunya saja ia lupa?
Semoga bahasa Indonesia, semakin jaya.
Rian Harahap; Penulis adalah Sarjana Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Cerpenis dan Guru swasta di Pekanbaru.
No
rekening: BRI Tuanku Tambusai
A.
N :Rian Kurniawan No: 3357-01-003042-50-0
Rujukan:
Mursyid, Muhammad. 2011. 20.234
Siswa Tidak Lulus UN dan SMP/MTS. Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2011/06/03/04511636/20.234.siswa.tidak.lulus.un.smpmts.
(Diunduh 30 Desember 2011).
Englehart,
Joshua M. 2009. Teacher–Student
Interaction. Springer Science+Business Media, LLC.
Komentar
Posting Komentar