Romantika Stand-Up Comedy “Koper”, Butet Kertarajasa

Pertunjukan Stand-Up Comedy yang hadir pada 18-19 Februari lalu di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta menjadi kehebohan tersendiri. Pasalnya garapan yang ditaja oleh komedian senior Butet Kertarajasa itu mampu mengendus sisi lain dari komedi yang sudah biasa disaksikan penonton. Dengan meramu hampir delapan comic di atas panggung;sebutan bagi aktor Stand-up Comedy. Konsep yang dimainkan ialah perpaduan sebuah kulturisasi yang ada pada disiplin ilmu teater. Hal itu bisa dilihat dari aplikasi tema yang terus digesa dan dijaga alur permainannya. Penempatan tema “Koper” pada malam itu membuat riuh seisi Graha Bakti Budaya.
Kesuksesan Butet Kertarajasa setidaknya merupakan buah kerja kerasnya dari proses latihan pematangan para comic sendiri. Pertunjukan “Koper” ini menggabungkan format Stand-up Comedy dengan elemen teater. Kita tahu, penampilan para comic dalam Stand-up Comedy selalu tunggal, semacam bermonolog, yang menjadi ciri khas Stand-up Comedy atau komedi tunggal. Pada pertunjukan “Koper” ini, para comic yang tampil akan mengolah dan merespon sebuah tema, yang berkaitan dengan koper. Tema itulah yang kemudian menjadi semacam ‘alur pertunjukan’, yang mengikat antara satu comic dengan comic lainnya.
Jadi, tiap comic akan mengolah bahan dan joke-joke yang menjadi ciri khas dan karakter mereka, di mana lelucon yang dikembangkan muncul dari respon mereka atas “Koper”, berdasar dengan pengalaman mereka dan refleksi mereka. Inilah yang membuat unsur Stand -up Comedy dalam pertunjukan ini tetap terjaga: para comic “bermain dalam sebuah peran” tetapi tidak meninggalkan karakter mereka sebagai seorang comic yang memiliki kekhasan cara pandang (point of view) dalam melihat realitas yang mereka respon dalam lelucon-leluconnya.
Ini jelas, sebab Stand-Up Comedy adalah sebuah model komedi yang khas dengan intelektualitas. Disiplin komedi ini sangat jauh berbanding terbalik dengan model lawakan yang hampir sering kita jumpai. Slapstick misalnya, model ini hamppir rata di seluruh daerah di Indonesia. Bisa dilihat dari komedian-komedian yang hadir beberapa waktu yang lalu sebelum stand up comedy populer seperti sekarang ini. Sebut saja Tukul dan Aziz Gagap. Keduanya dengan sadar melakukan sebuah model komedi atau candaan yang mengundang gelak tawa dengan model Slapstick. Mereka tak segan membunuh karakter diri sendiri dengan mengeluarkan kejelekan fisik atau sebuah kecacatan yang dibuat-buat sehingga mampu membuat penonton berdecak kagum melihat kekonyolan dan banyolan yang dibuatnya.
Tak ada sentimen yang melandasi komedi, bukan untuk dibandingkan sebenarnya. Namun proses Stand-up Comedy yang sudah mencapai taraf ini patut diapresiasi dengan sebuah penghargaan dari penonton. Bisa dibayangkan jika Stand-up Comedy sudah hadir di daerah-daerah; kampus,cafe dan taman-taman kota. Alhasil akan ada sebuah ruang kesenian hiburan yang menampung sebuah sikap kesibukan dan individual dari setiap manusia di era sekarang.
Jika ditilik dengan seksama proses kreatif yang dilakukan ialah hampir sama yaitu observasi. Namun yang jelas membedakannya, Stand-Up Comedy harus membuat penonton berpikir sedemikian rupa hingga akhirnya mengerti dan tertawa. Lalu ada anggapan jika komedi ini intelektual maka pastinya akan sebuah keintelektualan pula yang dimiliki penonton. Benar, wawasan yang luas serta pengalaman hidup menjadi sebuah syarat dalam memahami komedi jenis ini. Sebuah manfaat memang jika komedi indonesia tak lagi dalam ruang lingkup yang Slapstick. Jauh dari sebuah hinaan terhadap lawan main ataupun kepada diri sendiri. Ini membuat penonton terdidik agar juga tidak mengeluarkan komedi itu dalam kehidupan sehari-hari.

Awal Mula Stand-Up Comedy Indonesia
Awal mulanya ketika seorang laki-laki bertubuh tambun yang biasa dipanggil dengan Ramon Papana mencoba membuat sebuah terobosan yang cukup baru di Indonesia. Di awal 1997, ia mencoba membuat sebuah cafe yang berbeda. Bedanya ialah ia membuat cafe ini dengan hiburan komedi. Di sebuah tempat di kemang maka komedi ini berjalan terus dan melahirkan Komedian yang handal. Alm. Taufik Safalas juga pernah bermain disini. Dari situlah Ramon Papana yang sekarang dipanggil “Mbah Stand-Up Comedy Indonesia” mengembangkan jalur kesenian ini.
Hingga akhirnya empat belas tahun kemudian Stand-Up Comedy mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu komedi ini diterima dengan cepat. Pertama, kondisi politik Indonesia yang mulai aman dengan sebuah kebebasa berpendapat. Kedua, Perkembangan jejaring sosial media yang mengabarkan dan membuat komunitas secepat kilat. Hal itu dinyana sebagai dua sumbu penting yang mengangkat Stand-Up Comedy ke permukaan.
Dalam perkembangannya kini Stand-Up Comedy terus berbenah setelah empat belas tahun di awali dari sebuah kafe maka kini mereka sudah tersebar dimana-mana. Tak perlu strata sosial yang tinggi untuk menjadi seorang comic. Kelihaian meramu kata-kata cerdas yang membuat penonton berpikir ialah sebuah intelektualitas. Asalkan sebuah pertunjukan Stand-Up Comedy disusun dengan rencana yang panjang dan jelas maka pastilah decak kagum penonton hadir. Sebaliknya, kegagalan yang fatal ialah jika seorang comic tak mampu membuat riuh gelak dan tawa penontonnya.
Open Mic; sebuah cara untuk mencari comic-comic baru dilihat sebagai betuk riil menghidupkan kesenian ini. Jika salah langkah ini akan menjadi sebuah malapetaka pula, akan bermunculan comic-comic yang tak memiliki totalitas dalam berkarya dan intelektualitas rendah. Tak salah jika Butet Kertaradjasa menghadirkan comic muda; Sammy (Sam D Putra), Ernest (Ernest Prakasa), Ryan (Ryan Adriandhy), Soleh Solihun, Akbar (Insan Nur Akbar), Boris Bokir, Miund (Asmara Leitizia Wreksono), Sakdiyah. Romantika “Koper” oleh Butet Kertarajasa ini menambah varian yang bisa dipilih oleh penggiat kesenian di daerah-daerah. Lalu timbul sedikit keraguan dengan kesenian ini. Apakah ini hanya euforia sebentar saja bak jamur yang tumbuh di musim hujan dan masih bisakah kita ber Stand-Up Comedy lima tahun lagi ?.

Komentar

Postingan Populer