Lebih baik bercerita “kualitas” daripada “Berkelamin Ganda”

Malam jatuh di senja putih, berangkat ke pangkal pagi dan keinginan berdekap penuh kasih, sia-sia sekali. Potongan puisi diatas tampaknya mampu mewakili sebagian besar dari tumpukan kegundahgulanaan seorang penulis pemula pada saat ini. Puisi yang berjudul Sajak Malam Putih oleh Ajip Rosidi ditengarai sebagai bentuk pergolakan sebuah kaum yang hampir terkena sindrom kebingungan. Apa pasalnya?. Bisa kita tillik dalam beberapa waktu yang lalu tepatnya di rubrik budaya harian ini. Penulis melihat ada simpul-simpul keterpaksaan dalam membuat opini untuk menggiring seorang penulis.
Setiap persediaan yang ditekankan dalam artikel sebelumnya menekankan kepada opini. Seakan-akan penulis muda saat ini tidak memiliki sebuah “Kelamin” atau malah “Berkelamin ganda” dan tidak mungkin juga akan lebih banyak kelamin jika ia benar-benar melakukan apa yang dipantangkan oleh mereka yang menyebut kelamin. Pada dasarnya penulis muda masih baru dalam tulis menulis, sehingga proses yang ia lewati adalah bentuk pencarian diri dari karyanya. Ketika ia menulis puisi proses kreatif yang dapatkan adalah menulis puisi, begitu juga dengan cerpen, esai dan naskah drama. Seharusnya dapat dimaklumi para penulis sebelumnya yang hadir sebelum mereka yang “belum berkelamin” untuk dididik serta berproses dalam memajukan dan menentukan karyanya. Misalnya karyanya tembus di beberapa surat kabar lokal dan nasional. Ia masih penulis muda lalu letak kesalahannya dimana?. Seiring itu pula ada penulis yang secara cepat tertempa situasi dan kondisi. Hasil karyanya yang “mandek”  dan ketika itu masih belum dimuat. Hanya beberapa jenis saja yang dimuat maka ia akan memilih posisi tawar menjadi ahli dalam bidang itu.
Dahulunya Rendra adalah seorang cerpenis juga tapi ia lebih dikenal dan konsisten dengan teaternya. Lalu ditilik pula Sitor Situmorang ia tak pernah jauh dari sajak-sajak yang merindukan kampung halamannya meski sesekali pula ia menulis esai. Lantas bagaimana dengan Radhar Panca Dahana, Afrizal Malna atau Putu Wijaya?.
Penulis muda penting dalam regenerasi ke arah berikutnya. Proses kreatif yang mereka dapatkan saat ini jauh daripada masa sebelumnya. Melihat mereka hidup dan lahir di zaman yang penuh dengan mesin-mesin. Kecenderungan untuk tidak berkarya sebenarnya lebih besar namun ada sedikit emansipasi yang dilakukan oleh mereka. Menulis adalah membuktikan pada dunia bahwa tulisan akan berguna sepanjang masa. Mungkin itu jugalah salah satu ketertarikan penulis muda yang ingin banyak menuliskan sesuatu yang tidak konsisten menurut beberapa orang.
Penulis muda juga ingin memiliki “kelamin” seperti penulis-penulis lainnya. Seperti yang dikutip Goenawan Mohamad (Jakarta:Sinar Harapan,1980) bahwa Tak ada kaidah mutlak kesusasteraan dan yang ada hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang barangkali terbatas. Maka jelaslah setiap penulis berhak atas karyanya dan siap untuk dikritik serta dipertanggungjawabkan. Terlepas dari itu mungkin yang lebih tepat bukan bagaimana menentukan “kelamin” dari seorang penulis. Jika ia tidak mau terjebak pada polemik yang menurut hemat saya adalah klise. Alangkah lebih baik jika penulis muda diarahkan dalam pembentukan hasil proses kreatifnya sehingga terciptalah suasana kondusif yang menuju prestasi. Bukan tidak mungkin jika lima ataupun sepuluh tahun lagi sastrawan yang penuh dengan totalitas. Mereka mampu menempatkan karya-karyanya dengan tepat dan ahli pada bidang tersebut. Otomatis akan mampu menaikkan nama sumatera utara dalam kancah sastra nasional.
Kualitas karya sastra penulis muda memang masih tertinggal dibanding penulis muda dari daerah lain. Jika dalam areal pulau Sumatra kita masih tertinggal dari Sumatera Barat yang mampu “berlari” di kancah nasional. Namun tulisan ini bukanlah untuk sebuah ratapan pula bagi penulis muda tapi mendapat empati dan simpati dari penulis-penulis yang sudah lebih dahulu ada. Sebab ketertinggalan bukanlah hal yang biasa-biasa tapi itu adalah luar biasa. Bagaimana meningkatkan tulisan penulis muda ini dan menggiringnya menuju sastra yang lebih berkelas. Tak hanya bercerita tentang kegundahan ia semata dan runut dari masalah cinta dan kembali ke cinta. Lalu jika ditanya mengapa masalah cinta kembali mereka menjawab klise dan alibi. Penulis muda harus berubah, apalagi ketika masalah “kelamin” menjadi topik hangat saat ini. Apakah anda ingin menjadi cerpenis, penyair, esais atau dramawan?. Ketika masalh ini timbul berarti mereka yang terlebih dahulu hadir di dunia sastra masih perhatian dengan gerak-gerik penulis muda saat ini. Ini harus dibalas pula dengan energi positif agar perdebatan yang lalu tak menjadi “debat kusir” yang hilang oleh waktu. Harus ada yang tertinggal dan memberi batu loncatan dan dapat meloncat jauh ke nasional. Mengutip sebuah pernyataan dari A.Teeuw (Jakarta:Majalah Bahasa dan Sastra,1977) bahwa Pengaburan terjadi terutama bersumber pada karya sastra itu sendiri sebagi teks tertulis yang dalam bentuk sebuah buku, ia bisa dibaca dinikmati dan dinilai oleh pembaca seorang diri secar individual. Kedudukan yang terbuka pada teks tertulis seperti ini telah memberi peluang besar kepada sastrawan untuk melakukan penyimpangan dan pengejutan dalam penulisan sastra. Mungkin kutipan di atas “kejutan” yang diharapkan ialah kualitas atau besok kita masih berbicara tentang “kelamin ganda”?.

Rian Harahap; Penulis muda. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer