Meulaboh

Dari kemarin ia tak juga beranjak di kursi itu. Matanya berkelibat sayu. Bergerak kecil-kecil ke kanan dan kiri. Sambil begitu tangannya gemetaran. Ada sejuta ketakutan yang masih melanda dalam benaknya. Masa-masa suram di memoar lalu. Tubuhnya kejang seperti bayi yang kedinginan di atas ranjang. Dilipatnya tangan menyilang. Menyingkap paha dan seluruh gumaman yang berpusat di kaki-kaki. Setelah itu seperti kilat saja semuanya. Bergetar hebat dengan pola susunan yang beraturan. Mulai dari ujung rambut hingga ke kuku-kuku.
Pesona malam masih sama seperti yang lalu. Langit dengan alunan bulan yang dipahat senja. Jikala sunyi meradang, tak ada lagi yang bisa membuat halang. Inilah langit Meulaboh dan tepat dibawahnya terbujur sebait tubuh kaku. Meronta siang dan malam, tak peduli hujan hingga terik berencana menyapanya. Ia selalu sama dengan posisi dan tatapan yang pasrah seperti sebelumnya. Perempuan paruh baya itu memanggil-manggil nama yang indah. Suaranya mengisi indah ruang hampa pantai yang didebur ombak. Sekali-sekali ia menatap langit lalu meloncat dan seakan meraih sesuatu dari atas kepalanya. Dengan sigap tangan halusnya menggendong wajah-wajah kecil. Potret kesedihan yang dirontanya.
Anida, Sarifah Anida tepatnya. Perempuan itulah yang kulihat disana. Tak ada pikiran lain di raut parasnya. Ia hanya ingin meneriakkan panggilan itu. Panggilan dengan kesungguhan yang dironta bumi kepada langit. Pinta keadilan bagi kesungguhan hidup. Ia sudah mengulang hal ini berkali-kali. Ia bukan seorang gila, apalagi jika dikategorikan stress. Ia hanya menderita sindrom kesedihan. Karena kami tak tega memanggilnya seorang stress ataupun panggilan yang abnormal. Kami cinta Anida, betapa tidak sebab ia adalah yang tersisa dari keluarga kami. Semua tawa sudah hilang ditelan ombak pagi. Janji-janji sehidup semati kabur secepat aliran air. Mengalir ke laut-laut setelah penat mengelilingi Meulaboh.
Jika diingat lagi memang bukan main hebatnya cobaan itu. Bencana Tsunami yang ditetaskan pagi itu tak lain tak bukan menyita seluruh keluarga Anida. Berpeluh jika aku memutar memori kenangan itu. Semua yang dimiliki Anida hilang ditelan laut. Suami dan keempat anaknya pergi tanpa kabar sedikitpun. Kala itu ia sedang masak untuk suaminya yang sedang merunut asa di tepi laut. Mencari ikan-ikan dalam jaring yang ditebar ke muka laut. Anida bukan main senang hari itu. Sebabnya bukan apa-apa karena hari itu adalah hari pernikahan mereka. Hampir sepuluh tahun mereka menikah dalam indahnya kasih sayang. Kebahagiaan itu pun semakin terasa jika melihat anak-anaknya berlari di sepanjang pantai. Ketiga bocahnya masih kecil-kecil, mungkin berumur tiga sampai enam tahun. Mereka bermain bola dengan sunggingan tawa yang membahana. Seolah hari itu ingin memberitahu langit jika hari ini adalah ulang tahun pernikahan ibunya. Rencananya hari ini akan makan enak, udang dan kepiting sudah menutup nafas di ujung dapur. Semua dibalut kesenangan yang abadi. Tak ada kerisauan dan kesenyapan. Desir ombak mencipta sedikit demi sedikit persiapan gembira.
Pagi itu penuh dengan senyuman. Terik hanya berpakaian kecil dan menyembunyi di balik awan. Orang-orang berseliweran di minggu pagi. Ada yang mengais rezeki, berlari, bercanda dan macam-macam bentuknya. Namun naas ketika gerak-gerik itu seketika jadi nyanyian sunyi. Gelombang-gelombang menghantam pantai. Seketika saja semua terhambur dari bentuk biasa. Rumah-rumah hancur dibawa raksasa lembut empat meter. Orang-orang hanyut dibawa dan semua diisi teriakan-teriakan.
“Ayah”
“Ibu”
“Anakku-anakku mana?”
“Tolong, tolong !”
“Suamiku”
“Istriku”
Resah itu dibawa gelombang Tsunami. Tak ada riak lagi setelah beberapa menit kemudian. Anida tersangkut di atas sebuah batang kelapa. Ia melirik keseluruh pantai Meulaboh. Di atas kelapa itu ia mencari-cari sudut dimana istana mereka dibangun. Tak ada yang tersisa, satu tiang kayu pun menolak untuk dilihat. Lalu ia bergerak turun setelah air surut. Satu per satu tubuh yang rubuh dan bergelimang lumpur ditatapnya. Ia mencari tubuh-tubuh kecil yang tadi bermain di pantai. Wajahnya mulai meragu ketika tubuh yang ia angkat wajahnya tak lagi menyua kata sayang. Orang terkasih dan tersayang entah harus kemana dicari. Dilihatnya setumpuk lagi yang terbujur kaku. Mungkin sekitaran sepuluh sampai tiga puluhan. Tetap hanya membuat kerutan dalam-dalam. Hingga akhirnya ia kami temukan dalam sebuah posko SAR. Anida semenjak ditemukan hanya mengigau dan kejang sesekali berteriak keras. Hingga kini setelah dua tahun berselang cepat. Anida masih dihisap sebuah mimpi. Mimpi yang hidup dalam otaknya dan pikirannya. Ia menelusuri jejak-jejak masa lalu. Meski ia sudah tahu bahwa keluarganya harus tewas sebab tak satu tubuh pun ia kenali dalam balut lumpur. Kondisinya makin hari makin memburuk dan terus seperti ini. Betapa gelisahnya hati seorang Anida. Tak ada yang lebih baik daripada memperhatikannya dan terus memperhatikannya duduk disana. Di atas sebuah kursi tua yang tersisa dari istana. Takut jika ia harus mengambil jalan pintas demi berjumpa anak-anaknya di surga.
***
Anida masih sama seperti kemarin. Andai saja ia tahu bahwa yang kubawa adalah seorang lelaki yang terdampar di Malaysia. Lelaki yang ingin mengecup keningnya dalam balutan ulang tahun pernikahan.
Hujan bergulir di sela-sela pembangunan rumah-rumah penduduk. Tak ada yang berbeda, masih langit yang sama di Meulaboh.

Rian Harahap; Penulis adalah Sastrawan Sumut. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Komentar

Postingan Populer