Mari melestarikan Seni dan Budaya di Sumatera Utara.

Agenda terbesar bangsa ini ialah bagaimana membentuk bangsa yang berbudaya. Bangsa ini sudah lama meninggalkan pola dan konsep yang ditetaskan oleh leluhurnya. Banyak di anatara kita termasuk penulis menganggap budaya bukanlah hal yang penting dalam menjadikan sebuah bangsa maju. Lihat saja Jepang yang mampu menelurkan sebuah pengharapan dengan berbagai kultur dan budaya yang mampu diterima dunia hingga ke ujung zaman. Hubungan yang timbal balik diberikan dunia kepada Jepang membuat kita harus berkaca diri. Selain mereka bisa menjadi bangsa yang paling canggih dalam teknologi mereka juga mampu mengadopsi sebagai bangsa berbudaya. Sebut saja Butoh dan Kabuki atau yang lainnya..
Lantas kenapa kita berguru kepada Jepang?. Kita tahu Jepang sendiri adalah penjajah negeri ini?. Bukan itu titik temu sebenarnya yang ingin dicari. Bangsa ini harus belajar kepada negeri luar bagaimana menghargai dan menciptakan sebuah kondisi budaya itu dihargai selayaknya. Ada sebuah pemikiran yang jauh lebih terkonsep dari memajangkan budaya itu di buku-buku sejarah sekolah atau dari cerita budayawan-budayawan lain yang mungkin ketika mereka wafat turut hilang pula lah budaya tersebut.
Pewarisan budaya menjadi hal terpenting yang harus ditengarai saat ini. Namun, tidak juga mencederai hakikat dari budaya itu sendiri. Saya jadi teringat dengan sebuah foto yang menggambarkan seni dan budaya oleh seorang artis papan atas kita beberapa tahun lalu. Foto tersebut jelas mempertontonkan manusia tanpa sehelai benang pun. Mereka berkedok bahwa itu adalah kesenian dan budaya. Sejak kapan bangsa Indonesia memiliki budaya mempertunjukkan sisi-sisi tubuhnya tanpa busana. Mungkin mereka merujuk kepada budaya hewan yang memang tidak berbusana.
Ada hal yang perlu ditengarai harus dirubah. Pemikiran dan acuan yang dijadikan hubungan jangka panjang antara pendidikan dan kebudayaan sangatlah erat. Bukan tidak ada tujuannya sebuah lembaga seni dan budaya didirikan. Belum lagi jika melihat di seluruh kawasan Indonesia, bahwa setiap provinsi memiliki gedung yang disebut Taman Budaya. Percuma gedung-gedung itu jika tidak diisi oleh sebuah pemahaman pelestarian tentang budaya mereka sendiri. Lebih baik gedung itu dijadikan tempat yang lebih bermanfaat. Hal inilah yang seharusnya ditilik menjadi sebuah pemacu kita dalam perencanaan pelestarian budaya.
Ada berbagai macam sekolah seni dan budaya yang memang jelas-jelas menjadikan hal itu sebagai tolok ukur uji pelestariannya. Sebut saja Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Jogjakarta, Institut Seni Indonesia Denpasar, Institut Seni Indonesia Padang panjang, AKMR Riau dan STSI Bandung. Lembaga pendidikan itu tidak henti-hentinya menciptakan intelektual-intelektual muda yang pro perubahan. Kajian mereka dalam berbudaya merupakan sebuah harapan besar untuk bangsa ini menjadi sebuahbangsa yang menghargai seni dan budaya.
Meski di sumatera hanya ada dua namun pulau sumatera juga tidak habis memberi sebuah amunisi besar terhadap pemahaman seni dan budaya itu sendiri. Jika kita mengkhususkan pada provinsi Sumatera Utara ada berbagai macam kesenian dan budaya yang selalu membuat harapan di setiap senja di Taman Budaya Sumatera Utara itu sendiri.
Kita lihat saja nama-nama seperti Yondik Tanto dan Eddy Siswanto yang besar jasanya dalam melestarikan seni dan budaya dalam bidang teater. Hasan Al Banna, Idris Pasaribu dan Yulhasni yang merupakan sastrawan tulis yang namanya mentereng di nasional. Belum lagi beberapa penyair seperti M. Raudah Jambak dan Afrion serta komposer musik Hendrik Perangin-angin. Mereka adalah penggiat seni dan budaya yang selalu konsisten dengan pergulatannya di bidang seni dan budaya.
Lalu timbul pertanyaan, apakah setelah mereka tidak produktif lagi nanti akan ada yang melestarikan seni dan budaya?. Tentu saja pertanyaan ini “susah-susah gampang” untuk dijawab. Karena kebanyakan susahnya maka ini akan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi sastrawan dan seniman yang tersebut di atas. Beliau harus menelurkan penyair, aktor atau pun sastrawan yang mampu mengadopsi pemahaman bahwa ini harus dilestarikan. Namun sebenarnya itu sudah terjawab dengan melihat geliat mereka yang mau belajar dengan tokoh-tokoh di atas. Ya mereka yang disebut adalah pelajar dan mahasiswa yang secara sadar atau tersadar ikut terjun dalam merajut seni dan budaya Indonesia khususnya Sumatera Utara.
Penulis pernah bertanya kepada seseorang dari pelajar tersebut. “Setelah lulus sekolah akan menyambung kemana?”. Pertanyaan tadi mendapat jawaban yang tidak biasa dari pelajar yang seumuran dengannya. Ia menjawab akan menyambung di Institut Seni, dan benar saat ini ia sudah tercatat sebagai mahasiswa aktif di Institut Seni di Jogjakarta. Pola pikir seperti inilah yang seharusnya menjadi asumsi ke depan bahwa seni dan budaya itu fleksibel. Perhitungan bahwa dari seni dan budaya tidak akan mampu hidup, merupakan pertanyaan yang tidak patut lagi dipertanyakan.
Bibit-bibit muda akan lahir dengan sebuah asa. Pengaharapan besar akan dimiliki sastarawan dan seniman di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Taman budaya akan sesak dengan kegiatan-kegiatan yang menumpuk setiap minggunya. Tidak ada lagi waktu dan ruang kosong yang melompong sebab ada pengajaran oleh sastrawan dan seniman di setiap sudutnya. Mungkin itulah harapan kita dengan segenap usaha yang telah dilakukan seniman dan sastrawan itu di masa kini. Sebuah apresiasi besar kita haturkan kepada mereka. Sekarang tinggal bagaimana membentuk pelajar dan mahasiswa yang mampu mendalami budaya bangsa mereka.
Kesejahteraan para seniman dan sastrawan kini harus diperhatikan pemerintah. Lihat saja Jepang mereka bisa menjadi bangsa yang luar biasa seni dan budayanya. Ya mungkin karena birokrasi terkait mampu memberi ruang yang lebih kepada mereka. Alhasil mungkin sudah saatnya melihat budaya dan bangsa yang lebih dari melihatnya di buku-buku sejarah.
Belajar untuk saat ini sudah saatnya dimediasikan oleh diri kita sendiri terutama bagi pemuda yang ingin bangsanya berubah dari hari ini untuk beranjak esok hari. Sumpah pemuda sebagai mediasi kita dalam pelestarian seni dan budaya. Sumatera utara sebagai tonggak kapitalisasi seni dan budaya wilayah Sumatera mampu menjadi acuan bagi daerah lainnya. Sebuah pemandangan indah yang akan terlintas di esok hari jika bocah-bocah merah putih bermain dengan sajak dan teater di sudut-sudut Taman Budaya. Semoga !.

Komentar

Postingan Populer