Lamunan Metro Mini

Bus metro mini itu melaju memecah kebisuan pagi ini. Berbondong saja bocah-bocah kecil itu memasuki kendaraan yang sudah tua itu. Aku pun masuk menyelip dibalik seragam merah putih mereka. Sudah benar-benar tua kendaraan ini. Reotnya pun tak terhitung disana-sini. Namun tetap saja menjadi favorit bagi siswa SD ini. Aku pun tak luput mengakui hal itu.
Ada dua hal yang membuat ini menjadi kendaraan setia yang mengantarkanku bekerja. Pertama, bus ini selalu hadir lebih awal setiap harinya. Kadang ia hadir setelah subuh, sungguh mengagetkan kendaraan-kendaraan lain. Kedua, ada irama yang khas dan selalu tersji indah buat penumpangnya. Irama itu ialah lagu-lagu dangdut yang mungkin laris pada tahun 80-an. Pasti saja hampir setiap hari bus ini sesak meski masih sudah aus sekali.
Mentari menyambut kepiluanku hari ini. Janjiku tadi malam untuk menyapa wanitaku tidak bisa tersampaikan. Hujan lebat menyubuh terlalu cepat. Aku belum bisa menyajikan janji terbaikku kemarin masih ingat dalam ingatanku. Gedung-gedung sepanjang jalan terlukis wajah-wajahnya yang bergurau. Menyemut di pelupuk hatiku tapi itu hanya kenangan lalu. Pasti hari ini dia kembali seperti biasa merajuk dalam kemirisan hati yang tak bersua.
Dina memang selalu begitu. Sidah sering aku katakan jangan merajuk sebab kita tidak pasangan pacaran seperti yang lain. Mereka mungkin pacaran hanya hitungan bulan tapi kita sudah hampir sembilan tahun. Itu saja yang terus kugerutukan sepenjang melirik jalanan dari kaca metro mini. Aku kenal Dina sejak SMP kala itu dia masih duduk di kelas dua dan aku kakak kelasnya. Perjumpaan kami yang begitu tidak diatur menjadi memori yang masih ingat dalam kemampuan memoarku. Kala itu aku harus buru-buru ingin buang air kecil sehingga harus lari ke toilet. Sampai di sana aku langsung masuk saja dan ternyata aku mendapati seorang siswa perempuan yang buang air di toilet siswa laki-laki. Kelihatannya sangat aneh mengapa ada siswa perempuan yang buang air disitu. Ia terkejut setengah mati melihat aku langsung masuk saja tadi. Namun aku langsung keluar dan menahan rasa buru-buru ku tadi. Tak lama berselang ia keluar dan aku pun tersenyum padanya dengan malu-malu. Seperti ada malaikat cinta yang hadir di depan toilet itu. Sontak saja wangi taman menjamah sisi-sisi bangunan yang menjadi pertemuan kami. Hanya sekilas saja kulihat dia, hingga akhirnya aku berteman dan akhirnya pacaran.
Itulah yang menjadi memoar masa laluku dan tak pernah hilang. Itu juga lah yang menjadi gombalan ampuh selama sembilan tahun ini jika dia kembali merajuk dan merajuk untuk kesekian kalinya. Dina kini berkuliah di salah satu universitas swasta dan tahun ini akan wisuda. Ya, tepatnya mungkin satu bulan lagi ketika itu pun menjadi janji ikrar kami di depan penghulu untuk sehidup semati. Janji yang dulu tak pernah kupikirkan akan kesana bermuaranya jika mengingat toilet sekolah kami. Aku sudah bekerja sebagai pegawai negeri sipil di dinas pendidikan dan ia akan berhasil merebut gelar kuliahnya.
Sudah lima belas menit aku di metro mini. Rentetan sembilan tahun menyerbu ubun-ubunku. Taman-taman yang kami lalui setiap malam minggu menjelma menjadi bius tersendiri. Wangi-wangi tubuhnya serta guraunya melampaui parfum yang kupakai pagi ini. Sejak kapan aku jadi seperti ini, meracau dalam kekalutan yang tidak biasa. Namun aku masih mencoba meranumkan rinduku yang belum menemu kasihnya tadi malam. Karena hujan sayang ,”maaf nanti jika bertemu dia”. Jujur aku begitu rindu dengannya pagi ini, meski aku pasti akan memilikinya bulan depan untuk seumur hidup tapi aku belum bisa melepas kekangenanku.
Metro mini kami perlahan pelan dan pelan hingga bannya tidak berputar lagi. Aku berpikir ternyata macet di depan sana. Tepat di simpang lampu merah depan hotel Indonesia. Tidak biasa macet jam segini, rasa penasarannku membuncah setelah hampir lima menit tidak ada gerakan yang berarti dari kendaraan ini. Belum lagi waktuku yang terbuang dan bisa jadi akan telat pagi ini di kantor. Bocah-bocah itu pun ribut tapi kernet metro mini tidak memperbolehkan mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Ada kecelakaan di depan “, dengarku dari teriakan seorang supir di depan bus kami. Ah, daripada aku diam disini lebih baik aku melihat keluar apa yang terjadi. Segera kulompat keluar dari pintu depan bus. Aku berjalan kaki ke depan sambil menahan rasa penasaranku yang hampir membuncah. Kecelakaan apa sih yang membuat macet sampai segini panjangnya. Kerumunan orang menyapaku di bibir simpang lampu merah itu. Belum jelas aku apa yang mereka kerumuni dan apa itu. Lalu aku terus menyelinap dan mengecilkan badan untuk melihat siapa yang kecelakaan.
Tidak jelas sosok yang dibalut koran itu. “Buka saja korannya bang mana tahu ada yang kenal”, sebut salah seorang. Koran itu pun dibuka dan perempuan. Ya, perempuan terlihat dari rambutnya yang panjang. Namun wajahnya belum jelas terlihat sebab wajah dan tubuhnya berlumur darah. Kecelakaan itu dahsyat sekali sampai ia tidak bisa lagi terselamatkan. Kerumunan itu pun mengangkatnya ke pinggir jalan. Satu dari mereka membasuh wajah perempuan itu dengan air. “Dina”, teriakku. Tangisku membuncah dalam kehampaan. Mereka heran melihatku dengan racauan tak tentu. Dina, sayang maafkan aku. Aku tidak datang tadi malam. Dina bangun , bangun sayang. Bangun ya, jangan main-main. Mama mau jumpa sama kamu nanti malam. Dina bulan kita menikah kan ?. Sayang bangun masih ingat kamu waktu kita jumpa di toilet sembilan tahun lalu.
Gerhana terjadi pagi ini. Mentari yang tadi tidak mampu menjemput sebait harapan. Gerimis menyajikan pusara yang kotor dan palsu. Musim berubah secepat detik berlalu dalam genggaman. Belum jelas kabar burung yang menyua kebahagiaan tadi malam. Metro mini menjadi lamunan sembilan tahunku.

@Rian Harahap ialah penulis yang tergabung dalam Teater Sisi UMSU dan KONTAN

Komentar

Postingan Populer