Membaca Bahasa Melayu, Amir Hamzah dan Sumpah Pemuda

 

Seorang lelaki dengan kumis tebal dan tatapan yang tajam. Menghentak sidang dewan rakyat (Volksraad) sekitar tahun 1928. Pasalnya dia adalah seorang pribumi yang dengan lantang dan tegas menyampaikan pendapatnya dengan bahasa dan aksen melayu di tengah dominasi orang Belanda. Ini menjadikannya catatan dalam sejarah besar peradaban Bahasa Melayu sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia. Ia adalah Datok Jahja, pria kelahiran Sumatera Barat, yang dengan gagah mengatakan, “Saya lebih suka menggunakan bahasa Indonesia di dalam sidang majelis dewan rakyat karena saya adalah seorang Indonesier (orang Indonesia). Tuan-tuan tentu memaklumi bahwa sekalian bangsa di dunia ini lebih suka berbahasa dengan bahasanya sendiri.”. Konon, tak lama setelah ucapannya, beberapa pemuda melahirkan sumpah pemuda di tempat berbeda.

Keberadaan Bahasa Melayu sebagai Ibu dari Bahasa Indonesia merupakan sebuah proses panjang yang terjadi telah berabad lamanya. Jauh sebelum ikrar sumpah pemuda pada kongres pemuda II di Jakarta. Melaka pada abad ke-14 sebagai zona ekonomi perdagangan terbesar pada masa itu, serta nusantara (baca: Indonesia) masih dalam bentuk gugusan pulau-pulau yang berdiri atas kesultanan masing-masing. Melayu adalah bahasa yang masif digunakan sebagai bahasa perdagangan antara pedagang dari seluruh Eropa, India, Persia dan Afrika. Kemudahan melayu sebagai bahasa dagang, terbukti dari ucapan penjelajah bernama I Tsing yang bersaksi jika bahasa itu adalah bahasa yang digunakan untuk keperluan perdagangan. Fakta-fakta tersebut ditulis sebagai narasi penguat bahwa bahasa melayu sudah menjadi bahasa seluruh sektor di lautan melayu, semenanjung Malaya dan ujung Sumatera.

Bahasa melayu dipilih menjadi Bahasa Indonesia bukan karena kepentingan segelintir orang atau berdasarkan berapa banyak jumlah penutur aktif sebuah bahasa. Jika itu yang dipilih maka tentulah bukan bahasa melayu yang diambil sebagai dasar konstruksi bahasa Indonesia saat ini, tetapi Bahasa Jawa. Namun, analisis Bahasa Melayu dipilih selain sebagai lingua franca (bahasa perhubungan), juga dikarenakan memiliki sistem yang sederhana. Bahasa melayu tidak menganut adanya tingkatan bahasa, untuk perincian suatu hal. Hal ini berbeda dengan bahasa daerah lainnya, seperti Bahasa Jawa, Bali, Madura dan Sunda. Selain itu, bahasa Melayu telah melampaui batas daerahnya, telah melewati banyak kesultanan, sehingga jika membaca penyebarannya, ia telah masuk pada wilayah-wilayah lain sebagai bahasa kekerabatan. Tentunya ini menjadi sebuah sikap legawa dari berbagai suku, puak dan kultur daerah lain di Indonesia. Bahasa melayu sebagai sebuah alat untuk mengatasi perbedaan bahasa antarpenutur telah berhasil merangkum dan mengisi kemerdekaan.

Ikrar Sumpah Pemuda berupa berbahasa persatuan, bahasa Indonesia. Maka dengan jelas

menyatukan semua perbedaan. Dalam hal ini konsep menyatukan adalah tetap memiliki perbedaan bukan

menyeragamkan. Sebab, kekayaan sebuah bangsa adalah kultur dan tradisi berbeda yang telah hidup di

masyarakat itu berabad-abad lamanya. Bahasa Indonesia kini sangatlah kaya dengan berbagai serapan

yang diambil dari bahasa daerah lain, dan tentunya terbuka dengan serapan bahasa asing. Ikrar sumpah

pemuda dengan mencanangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, adalah simbol perlawanan

oleh pemuda. Saat itu imperialisme kolonial sangat intens melakukan adu domba (devide et impera)

berdasarkan suku kedaerahan. Mereka punya taktik untuk memperlebar jurang perbedaan tiap wilayah.

Ikrar itulah yang menjadi gaung sehingga 17 tahun setelahnya Bahasa Indonesia berhasil digunakan

secara sah dejure dan defacto di negara sendiri, tidak mengalami alineasi seperti di zaman kolonialisme

dan sidang dewan rakyat (Volksraad).

Amir Hamzah dan Kemelayuan

Menilik puisi-puisi dari Amir Hamzah, maka kita dibawa pada sebuah paparan kemelayuan. Amir

Hamzah membuka tabir imperialisme dan membuangnya jauh-jauh. Begitu juga dengan enigma puisipuisi

barat yang disuka oleh penulis lain di zamannya. Amir tetap bersikukuh dengan kemelayuannya. Ia

menjadikan pusaka lama melayu sebagai bahan dan komposisinya meramu kata-kata. Membaca Amir,

maka membaca sosok pemuda melayu yang kakinya terpacak tegak di atas bingkai melayu. Amir yang

juga merupakan keluarga Bangsawan dari Kesultanan Langkat berhasil menyampaikan punca kerinduan

melayu itu sendiri.

Kalau subuh kedengaran tabuh

Semua sepi sunyi sekali

Bulan seorang tertawa terang

Bintang mutiara bermain cahaya

Dalam puisi Subuh, Amir dengan sengaja menunjukkan kemelayuannya. Seseorang yang

dikatakan melayu adalah mereka yang menganut Islam sebagai agamanya. Maka Amir dengan terus dan

konsisten, menuangkan karya-karyanya dalam bingkai ketaatan pada sang pencipta, larik-larik sujud, dan

keinsyafan. Melayu yang digunakan Amir menjadi kekuatan dalam dunia sastra pada masa pujangga baru.

Bahasa Melayu yang disiarkan lewat larik puisinya menjadi abadi hingga kini. Diksi melayu yang ia

kumpulkan dan tuliskan adalah suatu kebaruan pada masa itu. Ia mengangkat istilah-istilah yang hidup

pada masyarakatnya, pada perdagangan, kekerabatan, percintaan, dan tentunya yang biasa digunakan di

kesultanan.

Begitu juga dalam penggalan puisi Padamu Jua:

habis kikis

segala cintaku hilang terbang

pulang kembali aku padamu

seperti dahulu

Ia menyampaikan pergolakan batinnya. Dalam keheningan dan kesendiriannya menuju haribaan Yang Maha Esa. Amir mengerti betul bagaimana seorang pemuda yang harus berjuang demi bangsanya. Sebagai sastrawan dan penulis pujangga baru ia tunak menyampaikan kegelisahan-kegelisahan masyarakatnya. Ia memamparkan keringnya hati manusia, gejolak kemerdekaan, hingga cintanya pada seorang wanita. Bahasa Melayu yang ia tampilkan tersusun rapi. Mencerminkan keindahan dan jauh dari kesan urakan.

Amir dapat dijadikan teladan dalam menulis sastra melayu kekinian. Kesantunan, pengorbanan dan melepaskan diri dari ke –Aku- an sangatlah esensial. Kekuatan amir terletak pada penggambarannya yang sufistik dan parsi. Bisa jadi, hal ini sebagai elaborasi penyair-penyair timur yang dia ikat dalam kemelayuan. Sejatinya membaca karya Amir maka membuka mata kita untuk kembali membangkitkan nilai-nilai melayu dalam khasanah kesusasteraan Indonesia. Pemuda dan Amir Hamzah tak bisa dipisahkan, seperti rahim Bahasa Melayu di dalam Bahasa Indonesia.

Bahasa Melayu Kini dan Nanti

Pekanbaru adalah kota yang dihuni lebih dari satu juta orang. Memiliki latar belakang suku, puak, bahasa dan tradisi yang berbeda pula. Pekanbaru bisa dikatakan sebagai kota metropolis dengan segala perkembangan industrinya. Hal yang menarik adalah bagaimana distribusi kebahasaan dalam dialek kota ini? Begitu juga dengan peran pemuda dalam refleksi ikrar sumpah pemuda di tahun 1928? Apakah masih memiliki konsep dan visi sama dengan zaman yang semakin kontemporer?

Berbicara bahasa melayu dan pemuda, maka sebagai warga kota Pekanbaru kita harus berkaca dengan apa yang ada di kota ini. Pekanbaru sebagai aglomerasi kebudayaan melayu mestinya mengedepankan apa yang disampaikan Amir dalam puisi-puisinya. Bahasa Melayu Riau yang digadang-gadang menjadi bahasa persatu bahasa Indonesia. Apakah terlena di rumahnya sendiri?

Peradaban kota mestinya sejalan dengan peradaban kebudayaan. Kecenderungan pemuda kini yang lebih antusias dengan sosial media mestinya dibarengi dengan dialek berbahasa yang baik pula. Bukankah semenjak dahulu bahasa melayu adalah bahasa perdagangan dan keseharian, sehingga bahasa melayu dijadikan Bahasa Indonesia. Namun, kontestasi memunculkan istilah-istilah baru di kalangan

pemuda, membuat stigma negatif muncul. Bahasa-bahasa slang yang jauh dari nilai dan norma pembentukan bahasa, mulai menggerus Bahasa Indonesia. Munculnya kata sabi, kuy, ngab adalah contoh konkret bahasa Indonesia mulai tergerus. Tidak adanya akar melayu atau atau pun bahasa daerah lain pada kata tersebut jelas membuktikan kita terlena. Bukankah semua kata tersebut telah ada padanannya. Mestinya sebagai pemuda, jika tidak bisa menambah tak perlu mengurangi. Hal lainnya, begitu juga dengan karya sastra yang abai pada sistem dan nilai. Sastra puitis yang merengek-rengek tanpa jelas ujungnya.

Munculnya karya sastra yang rendah kualitasnya dikhawatirkan akan menjadikan sastra Indonesia tujuh tahun ke depan, menjelang tahun 2028 (baca: 100 tahun sumpah pemuda) menuju titik terendahnya. Mestinya pemuda Indonesia telah melewati Katarsis kebahasaan. Saat mereka berani mengikrarkan sebuah Bahasa Persatuan di tengah todongan moncong senjata. Sosok pemuda adalah tulang penyokong suatu negara. Jika tulang itu keropos maka tulang-tulang itu takkan mampu menopang tubuh, lalu rubuhlah.

Renungkanlah wahai pemuda penggalan puisi Amir berjudul Sunyi:

kuketuk pintu masaku muda

hendak masuk rasa kembali

taman terkunci dibelan pula

tinggallah aku sunyi sendiri


*Dimuat Riau Pos dan Alinea Balai Bahasa (4 Oktober 2021)


Komentar

Postingan Populer