Amir, Syair yang Terus Mengalir (Sebuah Resensi Pertunjukan Monolog Chicco Jericho)
Suara senandung panjang terdengar lirih. Lampu menyala. Seorang lelaki berpakaian putih, dengan peci di kepalanya, duduk di atas kursi. Ya, itu adalah satu dari empat bagian serial pertunjukan monolog di tepi sejarah. Sajian ini berhasil menukil sejarah dalam pertunjukan virtual Indonesia. Terlebih ketika menghadirkan tokoh yang sejatinya memang berada dalam tepi sejarah. Mereka yang jauh dari hingar bingar, catatan buku sejarah, atau bagian dari sekelumit sejarah negeri ini. Salah satunya ialah pertunjukan Amir Akhir Sebuah Syair, sebuah pertunjukan monolog yang hadir dengan nuansa baru. Pertunjukan yang disutradarai oleh Iswadi Pratama dan diperankan oleh Chicco Jerikho. Kedua nama yang sudah malang melintang dalam jagat dunia sutradara dan keaktoran.
Amir bukanlah seorang yang
bermain dalam tepi sejarah, namun ia hadir sebagai tokoh yang selalu hidup
(baca: Protagonis) dalam sejarah. Amir terus hadir dalam syair yang mengalir di
buku sekolah, papan pengumuman, serta termaktub dalam pustaka digital berbagai
situs. Amir adalah protagonis dalam sejarah sastra dan perjuangan Indonesia. Ia
adalah diskusi-diskusi yang terus berlanjut dari kampus ke kampus, kota ke
kota. Ia menjadi magnet untuk selalu diperbincangkan serta dikaji baik dari
segi karya maupun daya jelajahnya dalam kebangsaan. Justru yang berada di tepi
sejarah adalah cerita-cerita yang berada di belakang Amir. Orang-orang yang
menjadi peristiwa sejarah (baca: saksi) lalu tidak pernah terungkap lewat
dokumentasi, jauh dari pemberitaan. Inilah poin tepi sejarah yang dimaksud
sehingga terang dan jelas, mengapa Amir kini menjadi sebuah menara ingatan yang
hidup dari masa lalu, kini hingga masa depan. Pembacaan atas Amir mesti dikaji
lewat tokoh Iyang, abdi dalam kesultanan, buruh ladang serta dari Amir sendiri.
Menonton pertunjukan ini
seolah dibawa dalam gedung pertunjukan yang kedap suara, serta tata cahaya yang
apik. Tata pentas yang dipakai seminimalis mungkin namun memiliki simbol-simbol
yang kuat. Menghadirkan set kubur dari Amir, serta beberapa gundukan tanah,
serta trap yang dipasang berkeliling
di antara pilar-pilar bambu atau kayu. Seperti sebuah narasi panjang yang akan
menceritakan banyak hal dalam pertunjukan, dan benar saja hal itu pun tersaji
hingga pertunjukan berakhir.
Menonton pertunjukan Amir,
kita harus melepaskan tokoh Amir yang pernah kita baca dari berbagai sumber,
serupa dengan “gelas kosong”. Menakar rasa tentang apa yang Amir rasakan dan orang
di sekitarnya. Sejatinya agar apresiasi yang timbul menjadi lebih jernih, suara
yang keluar menjadi tertata dan tidak bersifat tendesius, menggurui serta tanpa
alasan. Pentas ini dibagi menjadi enam bagian penting yang tidak bisa
dihilangkan satu bagian pun. Jika satu bagian hilang, makna pentas akan kacau
dan tidak jelas dramaturginya. Enam bagiannya saling berkelindan dan
memunculkan beberapa pertanyaan besar yang mesti dijawab oleh kita (baca:
penonton). Bukan oleh sutradaranya, atau pun Chicco yang dengan apik memainkan
perannya.
Pada bagian pertama berjudul
Selamat Tinggal Jawa. Hal ini
berkaitan dengan refleksi Amir atas kesedihannya ketika dipanggil Sultan
Langkat untuk pulang dan harus meninggalkan apa yang telah ia bangun di Pulau
Jawa. Ragam kegelisahan yang muncul di kepalanya, tentang Armin dan Sutan
Takdir, Pujangga Baru yang ia bangun berdarah-darah. Melawan hegemoni kekuasaan
lewat kata-kata. Selain itu, asmaranya pun harus kandas dengan seorang gadis
jawa yang bernama Ilik Sundari. Semua itu ia lakukan dengan ikhlas.
“Aku pulang ke Langkat atas nubuat takdir yang telah
ditetapkan dan tak siapapun yang dapat mengelak”
Kalimat tersebut adalah
sebuah pilihan diksi yang menarik yang telah dijalin dengan makna tersirat yang
kuat. Penulis naskah berhasil membuat teks hidup di atas panggung. Begitu juga dengan
analogi-analogi arjuna dan anak panahnya. Teks yang hidup dalam bagian ini
sangat dominan bertaut pada kesedihan Amir yang telah lepas dari kehidupannya
di Jawa. Menariknya di bagian ini musik yang dihadirkan sangat minimalis,
penguatan Melayu Deli dengan bunyi nafiri membuat aktor berhasil masuk dalam
konflik kebatinan. Amir yang dalam bagian ini beberapa kali pindah pada kursi
dan gundukan tanah, seolah sedang mencoba membangun emosinya. Menjadi penting
untuk diperhatikan adalah posisi kubur yang jelas terpampang pada bagian awal.
Dimana Amir masih “hidup” dan membeberkan kegelisahannya. Seolah ada tumpukan
seting yang belum terjamah dan penonton harus memaksakan dirinya menerima
seting tersebut ada di tengah panggung pada bagian pertama. Pertanyaan yang
muncul, apa yang Amir rasakan ketika kehilangan “bangunan kehidupan” di Pulau
Jawa?
Pada bagian kedua, Buruh Kwala Begumit. Pergantian adegan
dengan melepaskan simbol peci dan baju luaran serta mengambil sarung dan caping
tani. Itu adalah simbol-simbol buruh yang ditawarkan sutradara dalam
mempresentasikan pergulatan hidup buruh di Kwala Begumit. Pencantuman titi
mangsa 3 Maret 1946 di Langkat menunjukkan situasi puncak dalam pergolakan
sosial. Buruh ladang yang merasa bahwa feodalisme menghasilkan kesengsaraan di
tanah Langkat. Kehidupan melarat yang ada adalah sisa-sisa dari hidup mewah
para sultan. Pada bagian ini ada gerakan-gerakan tegas dari buruh. Sumpah
serapah dan puncak amarah serta perencanaan gerakan penyerbuan. Dialog-dialog
yang digunakan sedikit. Namun, belum munculnya dialek dan aksen melayu dalam
bagian ini menjadi bagian yang menjadi tanda tanya. Apalagi, latar dan setingnya
jelas di tanah Melayu Deli. Lalu pertanyaan besar bagian ini, mengapa akumulasi
kemarahan buruh sangat besar dan tidak terbendung?
Pada bagian ketiga, Amir dan Kwala Begumit menjadi bagian
fundamental menuju katarsis sebenarnya. Amir mencoba berlari dari sebuah
penyerbuan. Ia beberapa kali jatuh di panggung sebagai simbol dari usaha untuk
melarikan diri. Ia memanggil-manggil nama Tahura (anaknya) dan Tengku Kamiliah
(istrinya) untuk bersembunyi dan lari. Ia ditangkap dan dihardik dengan panggilan,
“Anjing Feodal”. Bagi mereka yang berada dalam lingkaran Melayu Deli mungkin
ucapan ini terasa maknanya kasar. Namun, sepertinya sutradara sedang meramu situasi
kekacauan pada akar rumput yang sudah tidak terelakkan lagi, kekalutan yang
berdarah-darah. Dulu mereka mencintai kesultanan, lalu situasi berbalik
menyiksa keluarga sultan. Memburu membabi buta, tanpa sisa perasaaan
sebelumnya.
Amir digambarkan dengan baju
yang lusuh, mengambil karung goni sebagai pakaiannya. Lagi-lagi pilar bambu
atau kayu tersebut sebagai batas perpindahan dan pergantian dari satu karakter
menuju karakter lain. Pilar tersebut didapuk sebagai ruang interpretasi
pergantian dimensi waktu. Hanya saja perpindahan karakter pada pilar dilakukan
berulang dan bisa ditebak.
Pada bagian ini Amir tampil
apik dengan tubuh lemah dan ringkih. Seolah telah melakukan kerja paksa jangka
panjang di Kwala Begumit. Bagian ini seolah menjelaskan kesedihan dan kepiluan
yang Amir rasakan di ladang bekerja menggali lubang, sepi dan sendiri. Namun
pada bagian ini ada gerakan yang cukup mengganggu, ketika seorang yang datang
dari sayap panggung mengambil kursi, pertanyaaannya sedemikian daruratkah kursi
itu harus keluar dan mengganggu simbol pertunjukan? Mata penonton sulit
berterima dengan masuknya orang tersebut. Pertanyaan pada bagian ini, Marahkah
Amir pada rakyatnya?
Pada bagian empat, Air Mata di Pusaramu. Judul ini dipilih karena
begitu banyak air mata yang harus jatuh. Pencerita atau tokoh yang dihadirkan
adalah saksi hidup yang ada ketika Amir masih hidup dan setelah wafat. Ia
menjadi kunci dari lahirnya informasi dimana Tengku Kamiliah dan Tahura. Kabar
bahwa Iyang yang membunuh Amir di Kwala Begumit divonis mati namun Tengku Kamiliah
menolak menandatangani surat itu.
Lelaki tua itu dimunculkan
dengan membawa payung hitam simbol kedukaan, kembang ziarah kubur. Lalu ia
duduk tepat disamping pusara Amir. Ia menceritakan semua yang terjadi setelah
pergolakan terjadi. Nasib masing-masing tokoh yang masih hidup. Ia dominan
menceritakan Tengku Kamiliah yang kini hidup lebih ikhlas dan bekerja sebagai pembersih rumah pejabat yang
ada pada masa itu. Lelaki tua ini adalah pengabdi pada kesultanan. Ia adalah
mata dan sudut pandang dari istana. Dialog-dialog yang dihadirkan pun tak kalah
syahdu.
Pada bagian ini, ada
beberapa hal esensial dan memang sangat menyentuh hati, sebab ini berkaitan
dengan kenangan lelaki tua pada Amir. Terlebih lagi ada suara senandung yang
muncul seolah dari dalam kubur dengan lirih. Lagi, teks menjadi kekuatan yang
tak terbendung.
“Seekor burung, sepasang sayap, langit yang luas,
tempat dia bebas”
Lelaki tua pun kembali pergi ke belakang, ke sebuah pilar
dan melepas bajunya sebagai simbol perubahan karakter.
Bagian kelima, Iyang dan Segala Tentang Amir. Lagi-lagi
pilar menjadi tempat pergantian aktor, lalu dengan suara tangis, aktor kini
menjadi Iyang. Seorang lelaki yang merupakan guru silat Amir. Ia pula yang
mengajak Amir untuk pergi mengaji ke surau. Ia adalah sosok dekat dengan Amir.
Namun, di sisi lain sosok inilah yang menjadi algojo yang mengeksekusi Amir
hingga tewas. Lewat sabetan parangnya Amir tumbang dan masuk ke dalam lubang.
Sutradara sengaja mengajak
penonton masuk dalam masa kecil Amir yang lincah. Ia yang rajin mengaji ke
surau, serta berlatih silat. Tawaran adegan silat yang dimainkan Iyang memang
mencoba masuk pada masa kesultanan yang putranya wajib menguasai silat melayu.
Apakah pesan silat melayu itu tersampaikan lewat gerakan yang gagah? Dimana
Iyang sebelumnya frustasi. Dua hal ini perlu jalinan yang rapi sehingga
perpindahan adegan tidak terlalu drastis perubahannya.
Enigma muncul dalam kematian
Amir oleh Iyang seorang guru silatnya, tentu informasi yang berada di tepi
sejarah, perlu dijelaskan terang benderang. Mengapa Iyang rela membantai orang
yang ia sayangi? Murid silatnya? Pangeran Langkat yang dicintai?
Iyang ngape kau sedih?
Iyang awak nak ke surau
Iyang awak nak latihan silat
Suara teror itu berdialek
dan aksen melayu. Disinilah baru terasa kekuatan aksen Melayu Deli sepanjang pertunjukan.
Aksen yang membuat bulu kuduk bergidik. Seolah suara itu datang dari kubur yang
masih basah. Amir dihadirkan dalam bentuk suara-suara.
Pada bagian penutup, Amir Akhir Sebuah Syair. Amir dihadirkan
pada dimensi detik menuju kematiannya. Amir menggali lubang, namun penonton
harus mencoba menginterpretasikan lubang mana yang sedang Amir buat. Ia
menggali menggunakan cangkul, berdekatan dengan kubur yang sedari awal sudah
ada. Penonton perlu waktu untuk menyamankan dirinya pada situasi set ini.
Berdamai dengan simbol set yang sempit. Sepertinya suasana itu memang dibuat
semirip mungkin dengan apa yang terjadi pada tujuh puluh lima tahun silam di Kwala
Begumit. Sutradara mencoba menghadirkan properti dan set yang ada di hari-hari
terakhir Amir. Sosok Amir yang dihadirkan di penghujung hidup adalah syair yang
liris. Manusia yang mengingat tuhannya. Sutradara berhasil membawa nilai tambah
religius dalam bagian ini. Rapalan doa dan adegan shalat bukti terakhir bahwa Amir
wafat dalam kondisi ikhlas dan tenang.
Secara keseluruhan, lakon
ini berhasil menghipnotis penonton untuk tidak beranjak dari layar virtual.
Membuka ruang-ruang interpretasi, imajinasi dan daya kritis. Monolog yang
berhasil adalah ketika penonton membawa pulang banyak pertanyaan untuk
direnungkan dan mencari jawaban.
Akhirnya menonton
pertunjukan Amir Akhir Sebuah Syair adalah sebuah perjalanan berlayar panjang
yang tak menemui tepi. Ia adalah sungai peradaban kata-kata. Ia mengalir deras tak
henti. Menuju yang Maha Abadi.
Pulang kembali aku padamu. Seperti dahulu.
Komentar
Posting Komentar