Cerpen Kabul | Rian Kurniawan Harahap

 “Tuhan, berikan aku kekuatan melihat isi tandu ini”

Dibukanya, kain putih itu. Tergerailah rambut sebahu, dengan pipi yang berisi. Wak Rojak sangat mengenali rambut dan bentuk pipi itu. Doanya terkabul

Wak Rojak – Kabul
Poto: Marewai.com

Semenjak hari itu Wak Rojak selalu uring-uringan, bergelayutan di tiang-tiang keputusasaan. Bantal itu menjadi teman setia memangku leher dan kepalanya yang digerogoti malam gelap. Untuk hari-hari yang disongsong, ia menyiapkan air putih disamping kasurnya agar bisa diminum seandainya haus oleh keadaan itu. Beberapa tumpukan album foto, serta kertas dengan kop surat perusahaan berserakan di meja, menambah harmoni pilu, lalu bunyi kericit besi-besi rongsokan rumah tetangganya yang kebetulan seorang pemulung menambah irisan yang menggurita. Wak Rojak benar-benar terperosok ke dalam jurang, ia mencoba meraih satu akar yang menjuntai, ia genggam erat dengan guratan urat-uratnya, akan tetapi ia masih berada di lubang itu. Di langit lubang itu tampak menganga, seperti lubang hitam menuju ke neraka. Dari lubang itu bisa nampak wajah orang-orang yang berteriak, meminta pertolongan, meraih apa saja yang bisa diraihnya, menunggu hujan. Semua itu omong kosong bagi mereka, kemustahilan yang diminta tanpa sebuah alasan mengapa langit akan memberi. Wak Rojak masuk ke dalam lubang hitam tersebut.

Wak Rojak merupakan bagian dari skema besar PHK sebuah pabrik rokok di kabupatennya. Pabrik rokok yang semenjak zaman belanda itu berdiri, terpaksa merumahkan Wak Rojak dan ratusan karyawannya. Dulu tangan Wak Rojak mahir benar bermain tembakau, melintingnya serta mengepaknya rapi dalam bungkusan. Kini ia duduk, membuka-buka sarung bantalnya, memastikan kepinding tidak bersarang di ujung-ujung lipatan, baginya kepinding itu seperti penghisap darah yang kejam. Ia kecil dan membesar serta menghisap darah dari bantal yang ia tiduri. Maka pernah suatu kali ia menemukan seekor kepinding yang sudah membesar tubuhnya, bukan main kepalang marah wak rojak. Emosi membuncah di ubun-ubunnya, laksana godam ia hempaskan kepinding itu ke lantai, lalu ditekannya dengan ujung kuku. Maka tercipratlah darah segar Wak Rojak yang isinya sama seperti lambung nyamuk.

Wak Rojak mulai bingung, ia melihat seisi rumah gelap. Padahal ia baru saja mencat rumahnya dengan warna kesukaan bininya. Biru muda kelaut-lautan, warna itulah yang ia ingat sewaktu mereka masih berbulan madu di sebuah pantai di pesisir jawa. Kalau saja wak Rojak melihat rumahnya dengan seisi memori kenangan manis cintanya dulu, mungkin ia tidak seperti bom waktu, yang setiap kali meledak emosinya lantas tiba-tiba menjadi pendiam. Mak Suti-bininya Wak Rojak- hanya bisa mengurut dada melihat kelakuan suaminya. Ya, persis seperti profesinya sehari-hari sebagai tukang pijat. Mak Suti datang ke rumah tetangganya yang memerlukan pijat penghilang pegal. Tak tentu kadang siang, malam pun ia bersiaga.

Melihat Wak Rojak yang tak tentu arah, Mak Suti lebih memilih diam daripada menasehati orang yang sedang frustasi. Ia tahu betul temperamennya Rojak, semenjak dahulu ketika mereka masih disemai benih cinta, Mak Suti paling tahu apa yang harus dilakukan kalau Rojak marah. Diam adalah salah satu senjata paling ampuh yang bisa dilakukannya.

Belum lagi genap tujuh hari, celana dalam Wak Rojak sudah bertebaran di ruang tamu, toilet bahkan dapur. Jemarinya pelan membukasaku-saku dompetnya, disana hanya ada selembar uang lima puluh ribu yang mengintip sedih. Wak Rojak, mulai berpikir dan melayangkan pikirannya pada meja makan. Entah apa yang sedang bergentayangan pada selongsong urat di kepala Wak Rojak. Ia menampilkan wajah kecut, mengulang-ulang membuka, saku-saku yang ada di dompetnya. Tetap saja ia tak bersua dengan lembaran lain yang mampu membuat syaraf bibirnya bisa tersenyum. Wak Rojak gelisah, matanya mengelilingi rumah kontrakannya. Entah apa lagi yang ia cari namun dari gerak-geriknya, lebih mengarah masih mencari sesuatu yang bisa menjadi uang.

Ia masih ingat, ada beberapa tembakau yang diambilnya dari pabrik. Sebelum pabrik itu benar-benar tutup mereka -karyawan- dengan sengaja membawa tas punggung yang isinya tembakau. Wak Rojak pun bergegas mencari tembakau yang ia simpan pada sbuah toples, di rak piring. Ia melinting rokok itu pelan, dibakarnya lintingan, menghembus-hembuskannya ke sebuah botol. Lalu dihisapnya asap dalam botol itu, kemudian ia kembali mengulang-ngulang gerakan itu sampai lintingan tembakaunya habis. Ia benar-benar merindukan rokok.

Menunggu Mak Suti pulang bukanlah perkara mudah. Bagi Wak Rojak perlu kesabaran ekstra untuk menunggu bini kesayangannya itu datang. Wak Rozak sudah seharian menunggu bininya itu. Namun, di penghujung senja ini Mak Suti belum juga datang. Tadi pagi ia pamit ke rumah salah satu pasien urutnya. Letaknya cukup jauh, disana Mak Suti perlu menaiki mikrolet sekali, kemudian menyambung lagi dengan bus. Begitu kata Mak Suti yang memang tak pandai mengendarai sepeda, konon lagi sepeda motor. Sehari-hari, kalau ada panggilan urut dia akan pergi satu jam sebelumnya. Mak Suti takut betul dengan kota yang semakin hari semakin macet, semrawut serta tata kota yang sembarangan.

Hari itu Mak Suti berangkat terburu-buru. Ia lupa kalau suaminya sudah menganggur, padahal ia yang paling gerah melihat suaminya hanya makan dan tidur setiap hari. Ia sama sekali tidak ingat dengan suaminya hari itu. Ia hanya meninggalkan pesan di dekat pintu. Disana tergantung sebuah kertas yang dikaitkan ke sebuah paku bekas pigura.

“Ada yang telpon tadi. Jadi, aku pergi mengurut di batas kota. Nanti aku pulang siang”

Hingga malam hari Mak Suti belum juga pulang. Wak Rojak sangat gundah gulana. Ia resah, sementara tembakau yang tersisa tidak ada lagi. Ia bingung, mau kemana dan mengerjakan apa. Sementara itu perutnya lapar, dan memang di dapur tidak ada apa-apa sama sekali. Malu rasanya meminta makan pada tetangga, meski hanya sesuap nasi. Wak Rojak paling anti meminta-minta. Saat ia menjadi karyawan pabrik rokok aktif. Ia adalah karyawan yang memiliki idealisme paling luar biasa. Kalau karyawan lain senang dengan menjilat atasan. Wak Rojak, malah dengan tegas tidak bisa bermulut manis. Ia yang mengerahkan massa kalau-kalau ada kebijakan, uang pangan dan lemur karyawan dipotong. Ia tak segan-segan, naik ke mobil bak, lalu mengumandangkan tuntutan-tuntutan karyawan. Ia pemimpin bagi rekan-rekannya.

Mana mungkin seorang Wak Rojak, meminta-minta. Itulah yang ada di pikirannya. Ia benar-benar menyumbat saluran pencernaannya dengan oksigen. Ia tahan lapar itu, sembari menunggu Mak Suti.Saat adzan magrib datang, entah hidayah apa yang datang. Ia berjalan keluar, ia coba berwudhu. Ia kemudian mengadu kepada Tuhan. Dalam doanya kala itu, ia tak minta pekerjaan, sebab ia tahu betul kalau lelaki dengan usia sepertinya tidaklah lagi diterima di sebuah perusahaan, apalagi dengan modal ijazah SD. Ia terus menengadahkan tangannya ke atas. Di atas sajadah yang terhampar, ia sampaikan sekelumit doa. Ia meratap, meminta dan mengucapkan doa singkat. Memang pemandangan seperti ini jarang dilihat. Apalagi ketika ia masih aktif bekerja di pabrik rokok. Mushala yang ada di area pabrik bisa dihitung berapa kali ia pijak.

Doanya benar-benar gambaran kekalutan hatinya. Ia meminta pada langit untuk mengabulkan doanya itu. Hanya satu doa itu. Tidak perlu mengabulkan doa lain, apa lagi jika Tuhan bersedih melihatnya menjadi pengangguran. Ia tidak minta kembali bekerja.

Doanya, “Tuhan berikanlah biniku rezeki yang berlimpah, dari segala sudut arah mata angin”

Ia mengulang-ulang doa itu terus menerus. Senja telah berubah menjadi gelap gulita. Malam datang dengan sendirinya. Ia menyampaikan salam pada kekuatan bulan dan bintang. Tepat di atas sajadahnya, ia duduk termangu. Di depannya ada sebuah jendela, dengan tirai putih, aksesoris renda bunga-bunga merah. Ia melihat ke arah jendela itu. Apalagi malam itu bulan yang sedang dipandanginya begitu indah. Terpotong-potong dengan kaca nako yang membelah bentuknya. Suasana itu semakin merindu. Sebegitu rindunya Wak Rojak dengan bininya yang belum juga pulang. Nomor telepon genggamnya pun tidak aktif. Baginya menunggu itu merupakan bagian dari pengantar doa. Ia yakin kalau Mak Suti pulang, pasti membawa uang. Apalagi ia sudah pergi sedari pagi, bisa saja dia memijat lebih dari lima orang. Jika satu orang satu jam, maka lima orang bisa jadi lima jam. Belum lagi kalau satu orang itu dikenai tarif Rp100.000,- dan jika lima maka bisa menjadi lima kali dari itu.

Bayang-bayang wajah Mak Suti sudah sampai ke ubun-ubun Wak Rojak. Ia sudah menyiapkan sambutan dengan dua piring serta gelas yang kosong. Sengaja ia mencuci piring itu, diantara tumpukan kain kotornya. Memang sangatlah kontras, ada piring bersih, sementara seisi rumah kotor. Masih di atas sajadahnya, Wak Rojak menaruh piring bersih itu. Bulan terasa semakin kejam melihatnnya dari balik jendela. Ia melihat-lihat jam di telepon genggamnya, dan sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Wak Rojak semakin tak lagi menunggu sabar. Ia kini khawatir dengan apa yang sedang terjadi dengan Mak Suti. Pikirannya melanglang buana, memikirkan kemana bininya.

Wajahnya semakin berkerut, sajadah yang tadi lurus kini mulai membelok arahnya. Ia gelisah, berdiri lalu kembali duduk di sajadah itu. Matanya berkelebat, seolah-olah punya perjanjian dengan telinganya untuk bersama-sama melihat dan mendengar jika ada yang datang atau pun mengetuk pintu. Ia kembali berdoa pada Tuhan. Ia yakin Tuhan pasti mengabulkan apa yang ia minta, apalagi ia pernah mendengar jika berdoa hampir tengah malam pasti lebih didengar.

Ia berdoa, “Tuhan, pertemukanlah aku dengan biniku Mak Suti malam ini”

Dalam kepalanya, Mak Suti pasti sedang dalam perjalanan kesini. Ia pun berharap Mak Suti pulang sebelum hari berganti, atau pun pagi datang. Di kepalanya, kalau saja Mak Suti datang malam ini. Ia berjanji akan membersihkan rumah dan mencari kerja apa pun itu. Meski pun serabutan yang penting bisa bekerja dan tidak menyusahkan bininya. Ia terus mengucapkan doanya, sampai urat matanya keluar, namun ia ingin menangis. Entah apa yang menahan air matanya, untuk tidak keluar.

Air matanya sudah di ujung, namun tak juga mampu menetes ke pipinya. Ia terus berdoa, dengan bahasanya sendiri lalu mengucapkan sekelumit tambahan doa. Dengan doa maka ia akan menjadi lebih tenang. Doanya pun dibisikkannnya lewat jendela, menatap bulan kembali. Hingga jam dindingnya pun berdentang. Hari sudah berganti, jam pun menunjukkan angka 12 lewat. Ia tak sanggup menahan kekacauan hatinya. Ia menatap jauh ke langit. Matanya penuh dengan bintang.

Dari kejauhan terdengar suara mobil-mobil masuk ke ujung jalan di rumahnya. Ada beberapa langkah kaki dengan baju putih-putih. Ia tak mengenali suara langkah itu. Biasanya jika yang pulang itu adalah Mak Suti maka ia akan menyeret langkahnya, tapi ini tidak. Maka dengan penasaran yang memenuhi lubang di hatinya. Ia menangkap segala penasaran itu dengan langkah maju. Sajadah itu digulungnya, lalu dibukanya pintu. Tampak orang-orang membawa tandu, di atasnya ada kain putih yang menggembung seperti menyelimuti seseorang. Kepala Wak Rojak penuh dengan doa-doa, mulutnya komat kamit mengulang doa-doa. Ia terus menatap wajah-wajah yang mendekat itu. Ada bau yang menyengat, seperti darah segar yang mengucur. Tepat di hadapannya, tandu itu diturunkan. Seseorang memberi amplop besar, lalu pergi meninggalkannya. Dibukanya amplop itu, isinya uang pecahan Rp100.000,- berlembar-lembar, tak jelas jumlahnya namun memang banyak. Wak Rojak pun tak sempat mengucapkan kata-kata. Di kepalanya, doanya terkabul. Ia ingin bercerita pada bininya Mak Suti, kalau saja sudah pulang. Ada yang aneh, orang-orang itu meninggalkan tandu dengan selimut putih, Wak Rojak bingung. Ia takut mengintip. Meski doanya terkabul, tapi untuk melihat apa yang ada di atas tandu ini. Ia benar-benar takut. Ia pun kembali berdoa.

“Tuhan, berikan aku kekuatan melihat isi tandu ini”

Dibukanya, kain putih itu. Tergerailah rambut sebahu, dengan pipi yang berisi. Wak Rojak sangat mengenali rambut dan bentuk pipi itu. Doanya terkabul.


Rian Kurniawan Harahap, M.Pd, lahir di Pekanbaru, 5 Juli 1989, adalah sastrawan muda asal Riau. Tergabung dalam Asosiasi Seniman Riau (ASERI). Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa puisi cerpen, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah surat kabar, dan terangkum dalam berbagai antologi. Berbagai penghargaan dan prestasi telah diraihnya di antaranya, 100 penulis terbaik cerpen ‘nulis dari rumah’ Kemenparekraf, anugerah terbaik 3 penulis naskah drama dalam Festival Sastra Sungai Jantan Kabupaten Siak pada tahun 2019, peraih terbaik 1 naskah puisi Festival Bulan Bahasa kategori guru nasional yang ditaja Universitas Islam Riau pada tahun 2019, peraih terbaik 2 lomba naskah drama dalam Festival Sastra Indonesia yang ditaja Fakultas Ilmu Budaya UGM. Naskahnya yang populer dan kerap dipentaskan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia adalah “monolog perempuan obrak-abrik.” Dia juga pernah terlibat aktif pentas  di Anjungan Seni Idrus Tintin.


*Sumber Marewai.com

Komentar

Postingan Populer