Cerpen Guantanamo | Rian Kurniawan Harahap

Lengket. Rasanya neraka dicampur dengan garam. Keringatku menetes jejak-jejak dengan gandum. Harusku menggali langit dan mengencingi bumi dengan peluhku. Aku berhak atas setiap ladangku. Aku menyemai gandumku di terik setiap mereka bergeliat dan bergelut. Violet tak lagi asing bagiku konon lagi neraka. Seketikaku harus segera memanen gandum-gandum ini. Lahan-lahan keberkahan bagi anak dan istriku.

Beberapa tahun yang lalu kami pindah dari kesibukan ibukota. New york tak tepat dengan hidup-hidup berjejak kekolotan. Terpaksa hati harus berpindah dengan cepat ke daerah yang jauh dari serbuan angin-angin dunia. Sembilu acap kali menusuk, tatkala ada tanya mengapa kami pindah. Aku melihat kerutan di wajah anak-anakkku ketika itu. Dengan bait hati yang lembut ia bertanya.

“Pa, kenapa kita pergi dari komplek?”

“Kita pergi dari sini hanya untuk sementara waktu, kelak kita akan disini. Kita Cuma pergi sebentar ke rumah kita yang di Arizona”

Tak sampai hati ini sebenarnya untuk membuat pernyataan klise seperti itu. Bagiku itu sebuah pembelaan yang tak penting dan harus tak terucap sebelumnya. Keadaan semakin mempersempit sebuah ruang untuk beralibi. Kenyataan pahit itu pun harus kubungkus dengan siraman kata-kata janji. Lalu aku harus meneriakkan kelak kita akan kembali kesini. Hujaman kata-kata itu kadang kembali hadir di hatiku. Ketika malam mulai memasuki peraduannya. Awan bersemayam dengan manja di kaki-kaki dewi. Mereka tak ingin pagi lekas datang. Mereka ingin menyiksaku dengan pikiran-pikiran ini. Hendaknya aku mati secepat cahaya. Meninggalkan jejak yang kelam dan esok kan kebali dengan ingatan kosong.

Aku terhimpit dalam janji-janji. Anakku harus kusekolahkan dari ladang gandum. Menerka esok pasti cerah atau hujan menambah derita. Adakalanya aku harus seperti sebuah patung yang menghentikan burung-burung itu. Hama terbang melintas batas kecepatan. Ia tak pernah tahu betapa hancurnya kesaksian hidupku. Tanpa pernah tahu janji-janjiku kepada bocah kecil. Seandainya ia tahu, pasti simpati dan empatinya lebih daripada binatang.

Aku pun tak sempat untuk bermuram durja. Diantara dinding-dinding semen yang mulai digerus oleh angin. Di ruang empat kali enam meter ini, harus ada oksigen. Tak perlu lagi sebuah kepesimisan hidup, kegagalan apalagi patah arang. Aku mulai memacu sebingkai kepercayaan diri. Jika ini adalah hidup, pastilah juga akan mati. Hidup sekali maka harus berarti. Aku menanamkan itu dalam sanubariku yang lemah tak bernyawa.

Dalam beberapa hari semangat kerjaku mulai membaik. Tak ada kutukan-kutukan, gumam ataupun dongkol. Aku menebas sebuah keseriusan hidup. Senyum dan lambaian bocah-bocah kecil pergi di pagi hari mengentaskan sakit. Hidup lebih baik dengan desis gembira. Hingga desis gembira kami datang dengan terengah-engah. Keluarga kami didatangi oleh seorang asing. Berjanggut, badannya kurus dan memiliki bola mata yang hitam. Kaos yang dipakainya tampak lusuh., seperti orang yang belum mandi. Matanya sayu dan lunglai. Perawakannya khas sekali dengan orang-orang di Asia. Ia datang tanpa sebuah kabar dari alam. Dilangkahkan kakinya masuk ke ladang gandumku.

“Maaf pak, adakah yang bisa saya kerjakan disini?”

“Saya sendiri dan ini ladang saya, kenapa anda kemari?”

“Kasihanilah saya, sudah hampir dua hari perut ini tak bekerja pak. Apabila ada pekerjaan yang kosong disini saya siap. Saya musafir”

Aku pun bingung apa yang harus kubantu untuk pemuda ini. Mukanya yang pucat membuat luluh gelimang hati.

“Sebenarnya aku tidak memerlukan bantuan karena kau bisa lihat sendiri, ladangku berukuran kecil. Sangat amat kecil. Jika memang itu niatmu aku akan coba  bantu”

Kubawa ia ke pondok yang kubangun beberapa waktu lalu. Sambil menatap kekurusannya, aku pun geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin seorang pemuda asia sampai ke ladang gandumku yang jauh dari kehidupan manusia. Ini seperti kemustahilan yang dilahirkan malaikat. Pasti ia sedang kerja di negeriku dan disiksa lalu ia lari hingga tak tahu harus makan apa dan kemana, makanya ia sampai disini. Itu tebakanku, tapi belum pasti kebenarannya. Mungkin tak jauh dari tebakanku soal kehidupannya. Aku tak ingin bertanya secepat kilat, kubiarkan dulu dahaganya hadir mencicipi masakan istriku. Anak-anakku pun hanya terpaku melihatnya. Mereka sangat iba yang menjurus kepada kasihan. Tak ada ucap yang terlontar dari mereka. Duduk disampingku lalu melihat lahapan mulut si pemuda itu menjawab tanya hidangan yang disaji.

Ini pelepas dahaga terakhirnya. Sejurus kemudian aku kembali mencerca dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Kamu dari mana? Asalnya?”

“Aku dari Vietnam”

“Ya, aku tahu Vietnam. Khmer Merah, dan sungai-sungainya”

“Kamu tahu?”

“Karena Ayahku dahulu ditugaskan disana ketika perang pecah di asia”

Setelah itu dia terus berbicara. Aku hanya mendengar celotehannya yang miris. Sesekali ia mengeluarkan tangis ketika ia harus pergi jauh dari orang tuanya dan hanya mendapati tubuhnya disengat keganasan Amerika. Tak banyak orang  yang berani sepertinya. Mau mengambil resiko dari hidup yang miskin di negaranya untuk mengharap berlian di negara adidaya ini. Ia mengatakan banyak juga yang berangkat dari negaranya. Tak terkecuali sanak dan sepupu yang mereka menumpang kapal yang sama. Perjalanan yang jauh di atas kapal tak membuatnya pupus harapan. Hingga harapannya pupus ketika harus menjadi seorang pemuas nafsu di jalanan Colorado. Ia dibawa oleh mereka yang hedonis dan diinapkan hingga pagi. Melayani semua nafsu birahi perempuan-perempuan tua yang tak lagi kenal dosa. Pagi baginya ialah surga karena malam adalah jalan menuju kesana. Ia lewati malam dengan ribuan peluh yang menetes di ranjang. Bersama tua-tua dalam singkap selimut.

Aku terlarut dalam ceritanya. Setidaknya sekarang ia bisa tinggal disini dan menjaga ladang gandumku, apalagi jika ia mau menjadi teman bermain anak-anakku. Mungkin tuhan sudah memberi jalan kepadanya hingga ia telah dihidupkan kembali di tengah ladang gandum. Lalu aku harus kembali bekerja dan menghidupi, seperti rotasi kembali berputar. Pikirku sudah cukup ceritanya hari ini dan kembalilah esok bercerita dengan kisah yang dapat membuatku lebih tahu arti hidup. Ia tertidur pulas di dipan yang ada di depan rumah.

***

Bulan bertukar hingga ke tahun. Aku makin dekat dengan pemuda itu. Begitu juga dengan anak dan istriku. Ia telah kuanggap seperti anakku sendiri; kakak bagi anak-anakku. Tak ada kata yang lain selain bahagia. Pancaran senyum anak-anak dan dapur yang terus menegepulkan asap. Kami hidup dengan damai. Panen terus datang berganti panen. Gurat-gurat sedih layu dimakan angin. Secercah suara kerinduan damai hadir di tengah-tengah kami. Tak pelak ini mungkin momen terbaik dalam sebuah keluarga. Ketika harta sudah mencukupi dan keluarga makin beranjak menuju matahari. Tumbuh dan berkembang seiring desis waktu.

Hingga sampai pada suatu sore kutatap sebuah sebuah amplop tercecer di lantai.

Kepada yang kusayangi Tuan James beserta anak dan istrinya.

Aku pinta maaf kalian seluruh alam. Aku tak mampu menjadi yang terbaik dalam pemanen gandum. Jika peluhku jatuh tak sederas peluhmu, maka mohon dimaafkan. Hari ini aku harus pergi. Pergi dari sebuah istana yang aku cintai dan sayangi. Inginku tak ingin, tapi ini adalah sebuah keharusan. Sebab bagiku, jika semakin lama aku bersama kalian. Maka itu akan semakin menyiksaku. Setiap hari rasa sayang itu datang. Aku yang seorang Vietnam bisa hidup dan cocok dengan keluarga ini. Tapi itu bukan hanya sebuah kebetulan tapi memang keluarga ini ialah keluarga yang terbaik di dunia. Aku sangat merindukan kalian. Aku pergi karena harus menjemput sebuah impianku. Aku harus pergi dari negara ini. Aku merasa bersalah jika di awal perkenalan berbohong. Ya, aku berbohong. Aku bukanlah seorang yang datang dari keluarga dan ingin mencari nafkah. Tapi aku adalah seorang pelarian. Pelarian dari penjara terhebat di negeri ini, Guantanamo. Aku salah satu dari narapidana yang divonis hukuman mati akhir tahun itu, tapi beruntung karena telah bisa lari saat ada sebuah bentrokan antara sipir dan narapidana. Jika hari itu aku sangat kurus, itu benar karena aku belum makan dari pelarian panjang itu. Sebenarnya aku begitu berdosa meninggalkan kalian dalam kebohongan. Mungkin dengan secarik surat ini kalian akan sangat benci denganku. Meskipun begitu aku tetap merindukan keluarga ini. Aku sayang kalian.

Mueng-Thon


*Sumber Cerano.id

Komentar

Postingan Populer