Medan Butuh Rumah Kesenian !

Tentu saja wacana ini sudah lama gembar-gembor di kalangan seniman bahkan politisi di Sumatera Utara. Melihat perkembangan dan alur perjalanan Provinsi ini yang begitu dahsyat khususnya di kota Medan. Predikat sebagai kota besar ketiga di Indonesia membuat mau tidak mau segala sesuatunya juga harus didukung dengan estimasi karya yang besar pula. Jika itu tidak diakomodir maka predikat itu akan timpang bak lidah yang tak tahu rasa. Kesenian sebagai zona yang mampu meredam kesibukan kota-kota metropolitan sangat didukung oleh masyarakatnya serta pemerintah daerah. Sebut saja; Jakarta, Surabaya dan Makassar.
Timbul pertanyaan yang sangat mendasar, apakah yang dikategorikan sebagai pendukung kesenian?. Dalam hal ini bisa dilihat dari sudut bagaimana mereka memanajemen sebuah proses kesenian hingga dihasilkan dan dinikmati oleh masayarakat penduduknya sendiri. Melihat hal itu dan menggarisbawahi kata proses tadi, maka perlu ditelisik sebuah metode yang mampu merumuskan sebuah proses yang matang dalam berkesenian.
Saya ajak kita berkaca dengan pulau jawa. Bukan karena disana adalah letak pusat pemerintahan namun menelisik hasil yang dikerjakan dalam proses mematangkan seni tadi. Berbagai institut kesenian hadir disana sebagai wadah penampung mereka yang siap hidup dan menghidup-hidupkan kesenian. Mereka pun tak jarang berpentas dalam panggung yang kecil hingga sekaliber luar negeri. Semua berangkat dari keinginan dan kekaryaan. Beberapa perguruan tinggi seni itu antara lain STKW Surabaya, ISI Yogyakarta, ISI Solo, ISI Surakarta, STSI Bandung dan IKJ Jakarta.
Merunut pada hal itu bukan tidak mungkin semua talenta tersebut juga dihadirkan di Medan. Apalagi kota ini sangat beruntung dengan geliat keseniannya yang selalu aktif di setiap minggu-minggunya. Penonton yang membludak jika ada pargelaran seni merupakan peluang besar untuk meraih kesenian dalam punggawa di ranah hiburan saat ini. Di pulau Sumatera sendiri ada beberapa perguruan tinggi seni yang mampu menjadi tonggak kesenian di daerahnya terlebih untuk mewakili pulau yang sering dipanggil andalas ini.
ISI Padang Panjang merupakan kampus seni yang notabene hadir dengan segepok kegundahan oleh para seniman dan budayawan tradisional di Sumatera Barat. Diawali pada tahun 1965 dengan segenap usaha serta perbaikan disana-sini. ISI menjelma menjadi perguruan tinggi seni yang favorit di Sumatera. Analisis yang tepat ialah bagaimana mereka membangun sebuah kampus dengan segenap kekuatan yang bahu membahu diantara para pekerja seninya. Lalu saya coba melirik ke provinsi sebelah yang sangat kental dengan budaya melayunya. Provinsi Riau sangat aktif dalam berkesenian baik di instansi pemerintah maupun swasta dan pendidikan Melayu di usia dini telah diajarkan meski itu hanya sebagian kecil saja seperti tari persembahan ataupun zapin. Namun bukan hal itu yang menjadi perhatian penting bagi saya, Riau kini menjelma menjadi pusat kebudayaan Melayu dunia. Hal ini terlihat dengan didirikannya sebuah Akademi Kesenian Melayu Riau atau sering disapa AKMR. Diawali pada tahun 2000 kademi kesenian itu mulai menambah dinamika proses pematangan kesenian di pulau Sumatera.
Perguruan tinggi seni ataupun akademi seni memang sebuah lembaga perkuliahan yang mengajarkan diantaranya seni musik, seni rupa, seni teater, seni tari dan film. Semua itu diajarkan dengan intensitas yang banyak. Meski dengan antusias yang masih sedikit. Itu bisa dilihat dari penerimaan setiap jurusan yang masih terbilang kecil untuk sebuah perguruan tinggi. Tapi kita kembali lagi dengan kesenian itu sendiri bahwa penggiat seni tak memerlukan kuantitas namun kualitas.

Perguruan Tinggi Seni di Medan ?

Ini merupakan wacana yang nyata ataupun sebuah ingatan di masa lalu. Entahlah, akan tetapi jika mengingat penjelasan di atas hal ini semakin menguatkan proses pematangan kesenian di kota metropolitan ini. Sebuah karya besar akan ditonton oleh penonton yang besar pula jumlahnya. Medan bukan tidak memiliki seniman-seniman handal yang mungki bisa dijadikan pengajar jika ini benar-benar terjadi. Sebut saja nama Darwis Rifai Harahap, Yondik Tanto (Teater), Damiri Mahmud, Idris Pasaribu, Mihar Harahap dan Hasan Al Banna lalu Hendrik Perangin-angin (Musik). Semuanya adalah pekerja seni yang mau tidak mau harus memberi regenerasi. Kesenian modern tidak lepas dari teori dan pengalaman orang-orang sebelumnya. Nama-nama diatas sudah malang melintang dalam peta kesenian di Indonesia. Tak jarang pula mereka diundang sebagai pembicara di beberapa workshop kesenian di luar negeri. Sungguh merupakan sebuah kesia-siaan jika ini semua hanya terpaku dalam memori tanpa ada pertinggal yang mengenangkan. Taman Budaya sendiri merindukan sosok-sosok pekarya-pekarya muda yang akan mengisi ruang-ruang panggung di masa depan.
Kesenian hadir sebagai intuisi dari manusia itu sendiri. Sebab manusia dilahirkan dengan bakat seni yang kuat dan jika tak diasah terus menerus akan tumpul dengan sendirinya. Sedikit cerminan bagi provinsi yang sedang mengikuti dunia agar bisa berkembang. Kesibukan terus melanda dan tak ada tempat untuk melepasnya dengan sebuah apresiasi. Perguruan tinggi seni bukan dianggap sebagai hal yang tabu dan konstalasi yang pesimis. Menatap kesenian di masa depan optimistis sehingga wajar jika mereka yang lepas dari bangku sekolah tak ngotot untuk melanjutkan kuliah yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Perkembangan sangat diperlukan dalam dewasa ini, maka tidak bisa tidak jika ingin Medan terus menggeliat dengan kesenian perlu di hadirkan sebuah Rumah kesenian. Ini akan memerlukan waktu yang lama dan pikiran yang panjang, sehingga jika hanya dihadirkan pada perbincangan warung kopi mungkin kita akan terus tertinggal.

Komentar

Postingan Populer