INANG DOLI

Kini Mentari mulai malu untuk tersenyum, sudah saatnya ia kembali ke peraduannya.Riuh pasar itu pun semakin meredup tak seperti tadi pagi.Lantai yang becek kian mengering dengan corak bau amis menyengat.Pasar ini sudah lama berdiri dengan barang dagangannnya yang berupa ikan.Mungkin itu yang membuat bangunan kios-kios bambu itu seakan berlomba rubuh untuk memakan penjualnya dan tinggal menunggu hari serta waktu yang tepat.
Satu per satu telihat gerakan yang luwes dari para pedagang di penghujung senja itu,begitu juga Inang Doli terlihat membereskan ikan-ikan yang tidak laku hari ini untuk kemudian disimpan dalam kotak es penyimpan ikannya.Di Kotak biru ia selalu menyimpan ikan-ikan yang tidak terjual agar mencegah busuk dan mampu dijual kembali esok harinya.Inilah rutinitas mereka warga kampung jawa setiap hari.Kampung para nelayan di pinggiran kota Lampung. Setiap pagi mereka harus menjual ikan utuk memenuhi kehidupan rumah tangganya.
Inang Doli tinggal di gubuk tua seberang pasar. Gubuk tua ini adalah bekas kandang kambing yang tak lagi berproduksi beberapa tahun belakangan sehingga dirasa cukup layak menampung Inang Doli.Meski kalau hujan lantai tanah itu akan becek dan jika cuaca panas ia akan memeras keringat penghuninya. Masih tetap seperti kandang kambing namun agak sedikit bebeda dengan penghuninya. Inang tetap menyanggupi untuk tinggal disana. Kekuatannya untuk bertahan hiduplah yang membuat warga kampung terkadang harus menepuk dada melihat kegigihan dan kesabarannya.
Tidak banyak yang tahu siapa Inang Doli sebenarnya.Wanita tua yang rambutnya hampir memutih semua ini, baru datang di kampung nelayan satu tahun yang lalu.Sosoknya yang selalu tersenyum meski di balik kulit pipinya yang mengkerut membuat warga senang dengan keberadaannya.Tak jarang para warga memberikan kue di sela-sela kerja Inang Doli.Mereka hanya tahu bahwa Inang Doli adalah wanita tua yang berdarah batak, sehingga ia hanya satu-satunya pedagang yang bersuku lain di kampung jawa ini.
Setahun yang lalu Inang Doli ditemukan di pinggir pelabuhan oleh nelayan setempat.Dalam sekejap Warga kampung jawa tersentak, kenapa tengah malam ada seorang wanita tua yang duduk di pinggir pelabuhan dan ketika ditanya ia tidak menjawab.Inang Doli hanya berbalut pakaian ditubuhnya yang warna serta corak tak lagi jelas.Warga pun membawa Inang Doli ke rumah kepala lingkungan untuk ditanyai tapi tetap saja ia tidak mengerti bahasa indonesia.Setiap apa yang ditanya ia hanya menjawab dalam gumam yang tidak kami mengerti.Ternyata belakangan ini baru kami ketahui bahwa itu adalah bahasa daerah Inang Doli yang mayoritas berada di utara sumatra.Kebingungan kami pun terjawab dalam galau yang membentur usia wanita tua tersebut.
***
“Iwak-iwak!” seru sahut-sahutan para pedagang kampung jawa. Mereka berlarian menjemput kapal di dermaga. Satu demi satu kapal mengikat jangkarnya di dermaga. Maklumlah,sudah tiga hari stok ikan di kampung jawa lagi kosong. Sambil mengumbar cerita dari melaut, para nelayan bongkar muat ikan yang rata-rata berjenis tuna. Raut gembira terpancar dari wanita-wanita tua itu. Senyum Sumringah merona melepas kerinduan akan kedatangan suami-suami yang lelah menyemai ikan di lautan. Menunggu dalam hitungan hari demi hari untuk menjemput senyum lelaki masa depan mereka.
Namun Tidak bagi Inang Doli, Ia bermenung dalam lamunan yang dalam. Ia enggan hendak turut berlari mengejar ikan yang sudah lama tak menghiasi meja dagangannya. Matanya kosong memandang jauh entah ke ujung dunia mana. Lamunan yang seakan bercerita tentang kemelut lembaran masa lalu Inang Doli dan dari mana ia berasal akan tetapi tetap saja ia tak mampu berkata-kata dalam bahasa indonesia. Setiap tetes air mata dalam lamunan itu seakan serentak dengan rintik hujan kala itu. Rintih dan tangisnya membuat alunan yang indah yang hanya dia mampu mengartikannya. ”Inang kenapa?” ,bisik seorang pedagang disebelah kiosnya. Diam dan membisu tetap menjadi jawaban ampuh wanita tua tesebut. Entah kenapa untuk kesekian kalinya ia harus seperti itu. Dalam diam membisu tersirat semua ragu akan keheningan yang melanda Inang Doli. Hujan pun terus bergerilya jatuh ke bumi dan menyimpan cerita Inang Doli mengalir ke selokan-selokan.
***
Petir menggelegar menghentak kehampaan pagi buta itu. Desis gemuruh meremukkan keramaian kota perlahan membisikkan gurau-gurau kerinduan akan kemarau. Lampung musim hujan.Sudah lama kota ini tidak merasakan sinar mentari. Hari itu terasa berbeda di pasar ikan.Pasar yang biasa buka pukul empat subuh harus buka pukul enam pagi. Semua pedagang menggelar dagangannya tepat pukul enam pagi meski berjualan di atas genangan air hujan yang cukup membuat repot, begitu juga dengan Inang Doli ia menggelar dagangannya yang rata-rata adalah ikan kemarin yang tak laku. Kesibukan pun dimulai di pagi itu, inang yang tak fasih berbahasa indonesia tetap melayani pembeli dengan bahasa batak. Pembeli hanya mengangguk untuk mencoba mengerti apa yang inang katakan, meski demikian hari itu sangatlah menyenangkan bagi inang. Bagaimana tidak ? , baru membuka kios pukul enam ikannya telah habis setengah di borong oleh pembeli dari kampung sebelah. Ada kabar bahwa akan datang pembeli dari luar kampung .Benar sekali adanya, hari itu ada pemborong ikan yang akan menjual ikannya di kota sehingga rata-rata kios di pasar terbeli dagangannya, ”berapa mak,sekilo ?” tanya pria pemborong itu.
Emak hanya bergumam dan pemborong itu bertanya lagi , “berapa mak,skilo?”
Emak membalasnya dengan mengepalkan jarinya membentuk angka tujuh , si pemborong menganggukkan kepala seakan mengerti dan meminta dibungkus sepuluh kilo. Terautlah segera simpul senyum di pipi emak. Betapa ia senang mendapatkan uang hasil jualan ikannya.
Namun segera emak terdiam bak disambar petir.Kesejukan yang melanda pagi itu tak lagi ia rasakan. Kini ia tak lagi melihat kegembiraan setelah hasil jualannya laku di beli pemborong itu. Sukanya segera tenggelam di lautan dalam. Secepat kilat ia mengambil harian nasional yang dibawa pemborong itu, meski mata itu tak lagi setajam dulu tapi inang masih mencoba merangkai kata-kata yang dibacanya.Serempak pecah tangis emak sekuat-kuatnya, memecah kesunyian pasar ikan yang habis diguyur hujan kala itu. Kemudian ia meronta dan memekik bak orang kesetanan banyak pedagang yang tidak percaya bahwa wanita tua itu mempunyai kekuatan fisik yang luar biasa.Satu per satu pedagang mendekati dan mencoba menenangkan inang.kekuatan itu semakin lama semakin tidak terkendali apalagi ia masih melihat surat kabar lokal tadi.sepintas ia tetap mencuri pandangan kemana surat kabar itu hilangnya ?
“Simpan surat kabar tersebut !” teriak seorang pedagang.
Inang terus menangis tapi kini ia tidak lagi meronta seperti tadi,perlahan mulai tenang meski sesedikit menggerutu dalam tangisnya.
Semua menjadi penasaran apa yang terjadi dengan inang?
Apakah pemborong itu tidak membayar ikan inang?
Apakah pemborong itu menyinggung perasaan inang ?
Karena dari dahulu inang tidak pernah menangis seronta ini.Selama ini Inang tergambar sebagai wanita tua yang pendiam.Wanita yang mengelus setiap hati orang memandangnya. Kalau saja warga tahu, apa yang membuat inang seperti ini. Ingin segera kami buang sampah itu sampai inang kembali seperti wanita tua yang kami kenal.
Detik berjalan cepat. Pemborong itu pun semakin merasa bersalah,sampai tercetus di pikirannya apa salahku terhadap wanita tua ini tuhan ?
Terdengar teriakan dari belakang kios inang, teriakannya keras juga.
Dia adalah samsul penjual ikan juga di belakang kios emak.
“Sangat cepat tadi, ketika aku melihat inang senang tiada duanya karena bapak itu membeli ikannya tapi inang juga secepat itu juga kesenangan itu hilang setelah melihat koran itu !“
Kenapa dengan Surat kabar tersebut ? kata-kata itulah yang selama beberapa menit berkicau di kepala warga hingga membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang sudah jauh di alam khayalnya.
Angin mengombak ganas bercumbu dengan relung-relung kekakuan. Bisik-bisk melayang di kaki langit. Menyerbu kebuntuan suasana peka ini. Belum lama berselang segera warga mencari apa yang ada diberitakan di dalam surat kabar tersebut. Seketika saja mata mereka tertuju pada sebuah headline berita pagi ini “TIGA HARI LAGI KORUPTOR DIHUKUM MATI”.
Laut menyepoi keheningan, memberi kabar maut pada bibir bakau. Rintih ombak berseteru palsu dengan raung-raung semu. Sudah lama langit tidak terlalu mendung seperti ini.
Medan. 2011.
*Penulis adalah mahasiswa sastra indonesia UMSU dan bergiat di KONTAN.

Komentar

Postingan Populer