ANGAN

“Dia sudah di Amerika”, kata lelaki tua itu kepadaku. Ya, yang disebutnya ialah sahabat kecilku. Wanita itu adalah sahabat kecilku yang setia. Senja ini membumbung mimpi kami dulu lagi. Memori tua di relung-relung pinggiran sungai kampung ini. Aku, dia dan dedi selalu bersama dalam keseharian menghabiskan dunia permainan. Sudah dua puluh tahun lebih aku tidak berjumpa dengannya sementara dedi masih sama sepertiku, menjadi remaja yang muda dan mengisi hari-harinya dalam lumpur untuk menanam dan memanen padi di sawah-sawah juragan kampung.
Aku sendiri sudah hampir lima belas tahun mengerjakan pekerjaan ini. Tepat setelah tamat dari sd muhammadiyah di kampung ini. Inilah pekerjaan yang menghidupi orang tua dan lima adik-adikku. Setiap pagi sawah-sawah itu harus kubajak untuk kemudian juga aku yang memanennya. Dedi, ya dia juga bekerja sepertiku dan itu adalah pekerjaan seluruh pemuda di kampung ini.
Dedaunan mengering keronta hari ini. Langit gugup menatap wajahku tak berkesudahan. Keringat inipun menetes gembira setelah mendengar kabar Mira ada di Amerika. Dulu aku pernah berangan dengannya dan dedi untuk pergi ke Amerika. Kami ingin ke amerika setelah belajar geografi dan membuka peta, ditambah lagi ibu guruku yang mengatakan bahwa amerika itu negara yang berteknologi. Kami pun langsung mengangguk bahwa kami akan bersekolah disana kelak. Toh, ternyata aku masih disini begitu juga dedi dan aku terharu mendengar bahwa Mira yang disana. Akhirnya ia juga sampai ke angan kami dulu. Mungkin dia sudah sukses disana dan memiliki banyak perusahaan serta berkeluarga yang bahagia. Memiliki anak-anak yang sehat dan bersekolah di sekolah standar internasional.
Aku pun tersenyum dalam keramaian bunyi kerbau-kerbau ini. Mira sudah sampai ke amerika lalu meneliti di sana, dia kan suka ipa. Aku saja belum bisa mencium bau negara itu. Itulah pikir-pikir kecilku yang kucoba obati selama ini, akhirnya itu terobati mendengar karib kecil telah sampai disana. Belum jelas, ia bekerja apa disana namun mendengar selentingan berita itu saja sudah mengharukan delik-delik jiwaku.
Pagi ini aku harus mencerna lagi nasi-nasi yang tersaji di periuk ibu. Betapa lahapnya aku menyantap hidangan yang tersaji diperiuk ibu. Kali ini ibu memasak sambal petai dan ditemani kangkung. Itu kesukaanku, belum lagi aku melahap semuanya. Aku kembali teringat dengan wanita yang dikabarkan sudah menjamah amerika itu lagi. Hari ini, ia selalu hadir dalam rona-rona memori. Bahkan dalam selera makanku ia hadir sejenak. Tak kupikirkan lagi itu meski ia hadir, tapi lapar ku tak bisa menahan petai dan kangkung yang telah tersenyum dari tadi.
***
Panenmu banyak hari ini ya, sebut penggarap sawah disebelah sawahku. Panen banyak tapi milik orang ikhlasku meski ia tak dengar. Racau pagi membangunkanku menuju pundi-pundi untuk diantar ke pasar minggu. Mobil pick up itu sudah menunggu dari tadi subuh. Kota tujuannnya sebab kampung ini hanya bisa menghasilkan tapi tak bisa membeli. Sawah memang kampung ini punya namun hasilnya tak bisa dijamah. Hampir sama seperti cerita-cerita di buku sejarah yang dahulu pernah aku baca di sekolah dasar. Bahwa penjajah jepang memaksa pribumi untuk bekerja namun tak bisa menikmati apa yang dia kerjakan.
Pick up itu bergerak kencang. Aku masih tetap mengantarkan ini agar nanti uangnya tidak kemana sebut bosku. Ada lalang di perjalanan menuju kota yang semakin memperbesar jarak khayalku, aku masih ingat lagi ketika lalu memoar tentang bocah-bocah kecil yang mendayung sepedanya. Bergurau di pinggir sungai kecil ini kemudian memancing ikan-ikan gabus sambil bersiul kecil meminta pengharapan kepada tuhan agar dimakan umpannya.
Laju mobil ini tak kurang dari 100 km/jam selaras dengan memoriku yang nakal laju juga mengingat desas-desus lalu. Ada anak yang memandikan anaknya pagi ini. Ada guru SD yang masih muda mesra bergoncengan di sepeda. Ada jagoan-jagoan kecil yang berlari di pinggir dan tersenyum padaku. Ada kakek yang duduk dalam kursi tuanya. Ada penjual limun yang keliling kampung mencari pembeli. Ada cerita yang lalu bersamanya menjamu kata-kata.
“ Bangun, kau bang. Sudah sampai ini.”” Ikan-ikan, buah-buah, koran-koran, haraga muah. Jangan jalan-jalan aja beli lah, buang air bayar seribu bayar seribu ya bang, nasi murah, lontong murah, cabe-cabe, bawang, kangkung “ Riuh pasar mencumbu kekakuanku. Dua jam sudah aku duduk dalam lamunan khayalku yang tak bertanggung jawab sampai aku terlelap dibuatnya. “Tunggu sebentar ya bang, aku masuk ke dalam dulu ambil duitnya.” Aku menggeleng pelan masih dalam bangun yang belum pulih. Melirik sejenak beratus orang sudah bergemuruh.
Hoamhhh. Menguap yang kuharap ada rezeki yang berlebih hari ini. Hatiku semakin berbunga hari ini entah kenapa aku merasa semua orang di pasar ini tersenyum pada lelaki kolot ini. Hah, entahlah sudah lama aku tidak sebahagia ini. Semoga saja toke berasnya memberi uang lebih buatku ongkos pulang dan bisa menambah untuk membeli kangkung ibu. Mungkin ibu akan lebih senang dengan itu.
Rasa-rasanya hampir sudah satu jam aku menderai orang-orang di pasar ini, kenapa ia belum keluar juga dari ruko toke itu. Aku sudah tidak sabar, mana mungkin sampai selama ini. Biasanya hanya hitungan sepuluh menitan saja dia disana. Dalam ragu yang membalut aku berikan saja masuk ke dalam ruko itu. Aku melompat keluar dari pick up itu, lalu berjalan menuju arah gedung yang dipenuhi karung-karung beras itu.
Benar saja pikirku dari tadi ternyata ada masalah di dalam. Ada teriakan yang hampir seprti serigala mengaum. Belum jelas betul apa yang ia katakan, tapi terdengar sedikit “ Jangan kau kira ini perusahaan bapakmu, kalau sudah seperti ini. Apa kau mau menggantinya.” Aku tahu ini pasti masalah internal pimpinan dan karyawannya. Seperti menebak-nebak nama buah saja aku dalam kebingungan. Tapi belum berani benar aku menebak terlalu jauh, pikiran ini masih dalam kebimbangan untuk masuk dalam perang yang sedang berlangsung kemudian meminta duit beras atau aku harus menunggu saja di luar dan kembali melihat sekeliling. Seperti sembilu yang lewat suaranya aku harus membuat keputusan, tapi aku harus pulang ibu lagi sendirian di rumah hari ini. Tidak ada orang di rumah sebab adik-adikku semua pergi ke rumah paman di dusun sebelah. Aku harus pulang hari ini kemudian membawa kangkung segar buat penghias meja makan siang ini. Akhirnya aku harus memberanikan diri masuk ke dalam perbincangan mereka, salamku memulai memasuki ruangan itu. Ya, mereka menjawab salam itu. Seluruh ruangan menjadi senyap, mungkin karena aku. Siapa lelaki kolot dan kumal ini masuk sesukanya saja dan ... , mungkin itu di pikiran mereka. Terserahlah, bagiku yang penting uang panen harus ada di tanganku sekarang. Maaf pak, saya mau mengambil uang panen yang tadi. “ Kau siapa berani-beraninya, masuk ke dalam tanpa permisi. Bukan karyawan tapi sudah lancang”. Maaf pak , saya hanya meminta hak saya. Aku hanya termangu dalam kebodohan tetapi harus bersikap baik. “ Sudahlah, masalah beras yang kena hujan dan rusak biarkan saja tidak usah diganti. Lagian perusahaan kan masih ada stok buat bulan depan.”, teriak seseorang wanita keras dari lantai dua bangunan itu. “Tapi bu ?”. “Sudahlah, tidak apa-apa” Terdengar suara dentukan sepatu hak tinggi yang menuruni tangga. Mataku melirik penasaran siapa sosok yang begitu pemaafnya terhadap karyawannya ini.
Racauku dalam posisi stadium tiga, kulihat wanita itu dalam senyum simpulnya. Mungkin ia sudah berusia tiga puluh tahunan. Kulinya putih mulus tidak seperti wanita seusianya di kampungku. Belum selesai dalam kekagumanku, ia hadir dihadapanku dan terkejut dalam teriak yang lebih keras “Tio”. Dia mengenalku, aku masih ragu siapa wanita kaya raya ini yang mengenal lelaki kumal dan lusuh ini. “Ini aku Mira”, kerongkonganku seketika hidup dan bertualang di gurun sahara. Kelenjar-kelenjar darah di tubuh ini berhenti memompa. Jantung pun tak hendak memberi oksigen. Aku mati dalam kata. “Mira, Amerika, Kau, Aku dan Dedi”, dia tersenyum dalam keanggunan yang dulu belum ada. Ya, aku langsung bertukar kabar dengannya sementara pertikaian tadi harus diakhiri saja olehnya. “Aku sekarang di Amerika sama seperti janji kita”. Ya aku senang, kau sampai disana Mira. “Dan kau sekarang ?”. “Aku ?, ya aku sekarang bekerja jadi tukang panen sawah orang dan kini mau ambil duit panen kesini” . “ Oo, kalau begitu mari ke Amerika dan mengejar angan kita dahulu. Aku tak ingin kau jadi seorang yang angan-angan, ayo lekas lah aku harus kembali ke bandara pukul enam sore ini. Ayo Tio” . Aku termangu dalam kebisuan yang membius. Ini ajaib bagiku, masih ingat lagi aku melihat lalang dan memanen tadi pagi. “Mira, ya kita akan kesana. Tapi sebentar aku harus membeli kangkung dulu buat ibu”
Pagi itu menyemerbak bau Chicago dalam sekejap. Angin berbisik pelan menjamu kekakuan daun di pepohonan. Malaikat melambai indah dan menyelusup dalam kaki langit. Gurau-gurau bocah kecil bergema di sepanjang lalang-lalang. Mentari bergerilya meramu sukacitanya.

Rian Harahap
*penulis adalah mahasiswa sastra Indonesia UMSU bergiat di Teater Sisi dan KONTAN
Lahir di Pekanbaru 5 Juli 1989

Komentar

Postingan Populer