Cut

Sudah dua puluh tahun aku mengenal gadis berlesung pipit itu. Senyum simpulnya sudah biasa terekam di mata ini. Terkaanku pagi ini pasti dia pergi ke pasar raya banda. Itulah kebiasaannya sejak dulu, sejak kami masih duduk di bangku SD. Sepulang sekolah ia segera membeli es doger di jajanan pinggir jalan pasar terbesar Banda Aceh itu. Ia mau berlama-lama disana meski hanya membeli satu gelas es doger, terkadang ia sampai larut sore baru pulang ke rumah. Jangan heran jika dari kejauhan sudah terdengar suara perempuan dengan nada tinggi di sekitar rumahnya. Itu adalah teriakan ibunya yang selalu berteriak menyuruh pulang anaknya.
Kebiasaan membeli es doger itulah yang membuatku tak lupa dengan gadis tersebut. Entah apa yang terjadi denganku, sejenak terlintas kenangan masa bersama kami dulu. Masa kecil kami yang cukup manis. Padahal,dari dahulu aku tidak pernah sedetail ini mengingat apa saja yang pernah kami lakukan .”Kenapa?”, pikirku sejenak. Mungkin ini akibat cut sudah merantau ke jakarta untuk kuliah. Ia memang ke jakarta ,” tapi kan baru 3 hari ?” kembali racauku di ubun-ubun.
Cut Maulida Arifa itulah nama lengkapnya yang selalu kutuliskan di pinggir jendela kamarku. Cut Maulida Arifa gadis impianku yang memang tercipta untukku. Aku pikir itulah dia, sebab sudah dua puluh tahun kami bersama. Aku sudah tahu semua tentangnya. Kesukaannya dan kebenciannya semua ku tahu. Gadis yang memang asli aceh ini menjalin cinta denganku sejak kelas satu SMA 1 banda aceh. Cut tergolong pintar di kelas makanya ia mampu melanjutkan kuliahnya ke Universitas Indonesia di Jakarta. Selain itu ia juga memiliki orang tua yang berpenghasilan besar sebagai kontraktor bangunan. Melihat latar belakang keluarganya aku menjadi malu, sebab aku hanyalah lelaki tamatan SMA yang tidak memiliki masa depan cerah. Tiada yang bisa diharap dariku kecuali bungkusan kopi-kopi aceh yang selalu menghiasi warung kopi di Banda.
“Aku ke jakarta bang “ sambil meneteskan air mata ia berkata kepadaku. Ini hari terakhirnya di banda aceh. Tak mampu aku menjawab hanya dengan sedikit anggukan kepala dan mencium telapak tangannya. Aku coba merelakan dia untuk mengejar mimpinya ke Jakarta. Aku harus tampak ikhlas tapi tidak serupa dengan hatiku. Berat rasanya aku melepaskan ia pergi jauh . Aku tak biasa dengan jarak dan waktu. Terlalu banyak pertanyaan yang muncul ketika ia akan pergi dan perasaan ini tak mampu mengucap ikhlas sedikitpun.
Lambaian terakhirnya membuat aku terlena dalam pedih yang kaku. Aku seakan luka tertembak peluru tepat di jantungku. Peluru itu menembus jantung kemudian menyebar mengoyak jaringan-jaringan kulitku. Ingin mati saja aku secepatnya selama ia pergi ke jakarta. Buat apa aku hidup tanpa seorang permaisuri yang senantiasa menemani dalam galau dan sukaku. Aku pikir mati lebih baik sampai nanti ia kembali lagi ke Banda Aceh dan kembali menjumpaiku dalam cinta yang sama.
***
Penghujung sore ini aku masih berjualan dengan sepeda ontel peninggalan kakek. Menjajakan bungkus demi bungkus kopi aceh hasil ladang kami. Tak kusangka kuat juga sepeda zaman penjajahan belanda ini. Hampir seluruh tanah banda aceh pernah kujelajahi memakai sepeda ini. Ia tak kenal panas maupun hujan lajunya selalu ada untuk bungkusan kopi-kopiku.
Kesejukan melanda paru-paru serambi mekah. Adzan berkumandang, Deru angin menghembus kesunyian Banda Aceh akupun berhenti sejenak menghela nafas dengan menyebut asmanya di mesjid Baiturrahman. Terlalu senyap hatiku ketika berhadapan dengan-Nya.

***
Lembaran baru kubuka di mentari pagi ini. Secercah harapan menyapa dengan senyum lebar. Ku pikir ini kali aku harus berhasil menyentuh rezeki dari langit. Beberapa hari ini kopi-kopiku paling hanya laku dua bungkus. “uang !” itu saja yang ada dalam benakku , segera kukebut sepeda kakek yang tadi terparkir di halaman rumah. Menjemput setiap panggil pembeli dengan keramahan kopiku.Kocak rasanya pagi ini ditemani gurau sepeda tuaku di lampu-lampu merah.
Kayuhan sepedaku semakin lama semakin menghanyutkan aku ke hulu kota . Tanpa pernah tahu kapan aku berhaluan . Namun di sela lamunan kayuhku, selalu saja wanita yang sudah dua puluh tahun itu menjelma untuk duduk di boncengan. “darimana saja kau Cut ? , lelah aku mencarimu tiga hari ini.” Bisikku ditelinganya. Ia hanya menjawab dengan sebaris lesung pipi yang tak hilang dimakan waktu. “Cut ... jawablah “, aku memelankan kayuhku hingga semakin terbuai dengan tatapan matanya. Matanya yang biru hanya membisu dan tak tak berhak. Lamunanku terhenti seketika ketika klakson dari bus memekakkan telinga. “Ahh, kenapa begitu cepat kau pergi cut “, padahal aku masih ingin bersenda gurau dengan rayuan manismu. Tiga hari saja sudah serasa tiga tahun bagiku. Konon kau harus menepati janjimu yang akan kembali setahun lagi. Aku rindu dengan masa kecil kita. Aku rindu parfum murah yang sering kita beli di pasar. Aku rindu dengan kicau murai di pinggir sawah Abah.Mungkin hanya segitu ingatanku tentangmu hari ini, tidak seperti yang lalu. Galauku semakin memuncak sayang . Itulah yang membuat ingatanku semakin tipis mengenangmu.
Hari ini aku harus pergi ke warung langgananku di perbatasan kota Banda Aceh. Sudah lama aku tak ke sana karena beberapa bulan yang lalu ia berlibur ke lhokseumawe. Mungkin saja hari ini dia disana , apalagi suasana hari yang cerah sangat mendukung perjalananku ke sana.
Semilir angin menebar aroma kelopak mawar. Memang cukup lama sampai kesana, tapi jika semilir angin ini menemaniku. Ku pikir akan sangat cepat tiba disana, entahlah kalau itu cua pikiranku. Terhampar luas keindahan alam nangroe menyelaraskan dengan kemolekan gadis-gadisnya. Gadis-gadis itu pergi beregegas ke sawah untuk menyemai padi yang akan panen. Senda gurau mereka menemaniku sepanjang perjalanan ke warung kopi langgananku. “Apakah ini pertanda aku mendapat rezeki yang besar nanti ? “ yah siapa yang tahu, Kemungkinan selalu ada dan aku percaya bahwa rezeki dan takdir itu ada yang mengaturnya.
Peluhku membanjiri stang sepeda tua kakek. “Teruskan !, Tuhan punya rezeki yang besar disana” teriakku dalam hati. Sepeda tua kakek semakin menjadi kecepatannya. Tak jarang kusalip sepeda motor dengan sepeda ini. Meski aku kadang tertawa jika sepeda kakek bisa menyalip kendaraan modern itu.
Satu jam sudah aku berkendara. Tepat pukul 9.30 aku sampai di kampung warung itu. Aku terkejut, ketika banyak orang di kampung itu yang mengenakan pakaian adat. Ritual memakai pakaian adat Aceh pasti jika ada pernikahan atau kedatangan tamu tehormat. Akupun langsung menuju opsi kedua tadi. “Hehh, y akulah tamu terhormatnya”, Sedikit bermimpi kupikir. Semakin lama semakin keras dentuman musik itu mengalun sedih. Lagu yang diperdengarkan pun lagu pernikahan. Tak pelak lagi ini pasti sedang berlangsung pesta pernikahan.
Kayuhan sepedaku semakin mendekati warung itu. Anehnya musik itu pun semakin keras terdengar. Lama kelamaan musiknya menyahdu setiap orang yang mendengarnya. Tanpa terasa jejak ban sepedaku telah menginjak halaman warung itu. Warung yang biasa ramai itu kini pun tetap ramai, namun dengan keramaian yang lebih beserta diiringi tetabuhan. “Siapa yang menikah bang?”, tanyaku pada seorang tamu.”Ramli yang menikah “, jawab tamu tersebut. Ternyata si pemilik warung menikah, juragan yang sudah tua itu akhirnya menikah juga. Sudah lama dia ingin menikah tapi belum ada calon yang tepat untuknya.
Hari ini ia menikah, tepat sekali aku datang. Aku pikir aku harus masuk mengucapkan selamat padanya. Lain kali sajalah aku menjual kopi-kopiku. Ini adalah hari bersejarah baginya. Ku beranikan diri masuk ke dalam. Perjalananku ke dalam seperti diingiri musik yang memang di kisahkan untukku sendu sekali lagunya. Aku langsung menuju pengantin untuk menyalami.
“ Cut ! “ seketika pikirku. Apa aku menghayal lagi seperti biasanya. Cut sudah pergi ke jakarta tidak mungkin dia disini. Berulang kali aku melihat wajah gadis yang bersanding dengan juragan itu. “Cut, kaukah itu ?” pikirku. Kulihat matanya sama seperti dengan wanita yang kucintai, sama-sama tajam. Ku lirik simpul senyumnya dan lesung pipi itu sama juga dengan lesung pipi gadisku. Terbakar sudah cintaku yang kau janjikan untuk setia. Tepi bibirmu tak lagi semanis dulu sayang. Kau telah berubah hanya dalam tiga hari. Aku masih ingat lagi ketika kau berbisik pergi ke jakarta. Jakarta yang kau sebut adalah kota menjemput mimpimu itu hanyalah cerita semu. Kau tak ke jakarta kau ke kota lain sayang. “Dosakah aku sebagai seorang penjual serbuk kopi keliling? ”, sebutku ketus di hati. Cut Maulida Arifa haruskah namamu kuhapus dari dinding-dinding kamarku. Aku terlalu mencintaimu Cut Maulida Arifa. Seharusnya aku sudah menebak apa yang terjadi padaku hari ini .Andai tuhan memberi aba-aba padaku untuk tak datang kesini, mungkin aku akan mencintai dan menunggumu sampai aku mati. Janji setiamu kubawa sampai mati. Terlalu melankolis aku hari ini hingga lagu pengiring pernikahanmu seakan mengerti apa yang hendak kuucapkan. Piluku biarlah jadi senangmu dengan juragan tersebut. Aku harus pergi dengan sepeda tuaku, sudah cukup luka ini sampai disini. Biarlah aku berlari mengejar bungkus-bungkus kopiku. Menjemput mimpiku pula seperti kau menjemput mimpimu. Tak perlu kalian kusalami karena kalian telah senang dengan hari ini, dan tak perlu kalian mengasihani aku. Mentari ini biarlah kubonceng di sepeda tua ontel kakekku. Kalau mentari ini setia menemaniku , mendengar jeritan hatiku dalam kacau yang meracau. Lebih baik aku menjadikannya teman pengganti senyum lesung pipimu. Aku pikir ini kali aku harus membunuh rasa cintaku padamu Cut Maulida Arifa.
Sketsa Kontan 2011 ( Banda Aceh)

*Keterangan : Penulis dengan nama Rian Harahap seorang Mahasiswa Bergiat di Kontan dan Teater Sisi UM

Komentar

Postingan Populer