Kampung Jerebu
Sementara nenek masih
duduk mengayun-ngayun kakinya di beranda rumah. Ia melongok ke arah jauh, dalam
pandangan matanya ada butiran-butiran memori masa lalu. Mungkin sebuah rubrik
bacaan yang sudah diukir dalam hatinya. Tentang pria paruh baya yang dahulu
menenggelamkan ia dalam mimpi untuk berangkat jauh dari kampung. Logat kampung
yang beririsan dengan kota. Namun asa tinggal di kampung, selesai dengan cepat.
Ia merangkumkan angan, dikatupnya kaki lalu mencoba menyapu basahan pipinya.
Sembari itu pula ia melakukannya setelah teriak kecil Udin-bocah kecil yang
bergelantungan di jemuran kawat mereka.
“Nek...”
***
Pekat, rasanya ada yang
menusuk-nusuk di hidungku. Malam itu dengan sedikit air yang kumasukkan ke
dalam hidungku, mungkin bisa sedikit mengurangi kesakitan yang kurasa. Rajaman
kabut yang menohok paru-paru ini persis mengoyak serat-serat, lalu memuntahkan
darah yang meluber ke jantung, hati dan serambi pernafasanku. Entahlah, detik
demi detik berlalu dengan helaan nafas panjang yang tak ada habisnya.
Orang-orang di sekelilingku berlarian, dengan wajah persis seperti ninja di
film Jepang.
Perihal menutup ini
sudah kami lakukan semenjak dulu. Hampir dua puluh tahun lalu. Ketika itu nenek
masih cantik dan belia. Ia seperti gadis yang turun dari surga. Dengan mata
seperti butiran berlian, rambut yang menggenangi wajah setiap pria yang
terkagum-kagum dibuatnya. Gadis muda ini memang nenekku. Ia anak kesembilan
dari keturunan kepala adat di dusun kami. Dusun yang jauh dari hiruk pikuk
kota. Dalam pemetaan kota dan kabupaten, dusun ini pun tak tampak.
Nenek yang kala itu
setiap siang datang bersama Ayahnya, menunggu orang-orang dari kota untuk
membeli hasil panen mereka. Bukan main kepalang, bisa dilihat begitu banyak
pedati, delman atau pun kereta kuda yang dibelakangnya kosong, pasti akan penuh
jika sudah kembali ke kota. Dusun ini bukan main terkenal seantero kota. Andai
saja berjalan di lorong-lorong kota, bertanyalah pada mereka. Pada supir,
pedagang, pekerja, atau orang-orang yang hidup lama di kota. Tak ada mulut yang
bisa berkelit menyebut darimana asal apa yang mereka makan, darimana baju yang
mereka pakai, serta siapa orang yang paling berjasa dalam kehidupan mereka.
Mulut mereka serempak menjawab, dusun kami. Sementara itu, orang dusun kami tak
pula pernah berjanji tentang jawaban dari pertanyaan itu.
Gadis belia itu tahu
benar cerita kenapa kini kampung ini menjadi hunian bagi orang-orang yang
menutup wajahnya dengan masker. Konon jika ada saja orang kampung ini menunjukkan
wajahnya yang selama ini sudah tertutup, itu berarti melawan adat, bentuk
ketidaksopanan, atau barangkali menjadi hal untuk mengikrarkan diri untuk
keluar secara sadar dari keanggotaan kampung. Inilah adat yang sudah dijunjung
di kampung kami, aku pun harus mengikut turut, biar tak jatuh dalam kesalahan
adat.
Gadis belia yang kini
kantung matanya sudah mengendur jauh itu, mulai menceritakan darimana asal
muasal kampung ini. Dengan sedikit gemetar, ia raih dengan tangan kirinya
tongkat, lantas ia balik gagangnya. Disana ia menggosok-gosok sebuah tulisan,
dengan bahasa arab melayu. Aku sulit untuk membacanya, namun gadis belia itu
langsung meneteskan air matanya. Pelan merembes dengan aliran syahdu, menyisip
dibalik kantung matanya, pelan lalu jatuh ke bumi. Ia terus menatap tulisan
tersebut dan membuang pandangan ke arahku.
“Kau yakin ingin
mendengarnya?”
Anggukan pasti
kukirimkan padanya. Lalu mengalirlah cerita itu sederas-derasnya. Tak perduli
ada batu karang yang menghadang, sebab cerita itu tak lagi bisa ia bendung,
meski disimpan dalam lemari kaki langit sekali pun, ia pasti terkuak ketika ada
yang ingin benar-benar mengetahuinya. Mengalirlah laksana perahu yang berada di
lautan lepas.
“Kampung ini, ya semua
di kampung ini adalah orang-orang baik. Tak adalah yang tidak paham agama.
Semenjak tahun-tahun yang tak lagi bisa disebutkan asal muasalnya. Begitulah adanya,
kami hidup dengan segala aturan adat kampung. Aku masih ingat waktu itu setiap
hari kami bermain dan bercanda dengan tawa lebar yang mengisi ruang
tebing-tebing. Ya dulu, disini ada tebing, kami suka berteriak di dalamnya,
mencoba berteriak sepuasnya. Bila senja kami sudah harus duduk di langgar,
mengulang kaji dengan tunjuk ajar.”
“Semua begitu sempurna,
masa kecil di kampung. Orang-orang kota, ya kota dulu berada di balik tebing
ini. Kami tak bakal bisa melihatnya, disana berdiri kota yang megah. Dengan
orang-orang yang bajunya tak sedikit pun ada lipatan, licin dan bersih. Sampai
akhirnya ada seorang pemuda datang ke kampung ini”
“Iya memang dari kota,
tampak dari gaya bicaranya yang tertata rapi. Kuda yang bersih dan wewangian
yang mencolok dari balik tubuhnya. Waktu itu semua terpana, tak terkecuali
gadis belia ini. Jelas saja, dengan wajah yang tak biasa seperti orang-orang
kampung kami. Rasanya rembulan jatuh di pelupuk mata ini. Tak lekas
berkesudahan memandangi wajahnya. Bukan kepalang bintang berputar dengan riang,
senang. Tak bisa kulupakan semua itu dengan cepat.”
“Dia siapa Nek?”
Goresan wajahnya
bergerak, mengernyit lalu kembali memandang jauh tentang memori dibalik tebing.
“Pemuda itulah yang
punya uang. Ia datang dari kota. Ia membeli semua hasil produksi kami. Baginya
datang ke kampung kami untuk membantu. Orang-orang senang dengannya, bahkan
seorang pemuka adat dengan sengaja berandai-andai. Ya, andai saja gadis belia
itu dinikahkan dengan pemuda tampan dari kota tersebut. Lalu orang-orang pun
tertawa. Ruangan yang penuh sesak dengan tawar menawar harga pisang, karet dan
beras. Kontan saja tertawa, mereka melepaskan sedikit bahagia dari pengandaian
tadi. Sementara, gadis belia itu tersenyum mengintip dibalik dinding tepas.
Mendengar dan menatap dalam ke arah pemuda itu”
“Semuanya berjalan
cepat, tak ada yang bisa menduga jika gadis belia itu akhirnya dipinang oleh
pemuda kota. Namun tidak serta merta, wajah guratan ketua adat kampung gembira,
ia punya syarat jika anaknya dipinang. Syaratnya hanya satu, ubahlah kampung
ini menjadi kota yang maju”
“Pemuda menyanggupi dan
menangkap janji.”
“Mereka tinggal di
kampung itu. Pemuda kota yang memindahkan orang kota untuk semakin sering
berniaga ke kampung itu. Sawah-sawah panen besar, ladang-ladang semakin membuat
orang kampung hidup berkecukupan. Pemuda itu memang membantu, ia bawakan uang
dari kota, dipinjamkan lantas itulah yang menjadi modal orang kampung. Orang
kampung itu pun menjadi senang bukan kepayang. Mereka berpesta tak hanya malam
bahkan sampai siang. Pemuda itu, Ya suamiku itu memang menjadi orang hebat.
Pelan-pelan ia mengubah kampungku menjadi kota. Lalu ia menjerat semuanya.
Sawah-sawah, ladang dan kebun yang senantiasa kami jaga sepanjang adat, dipaksa
hilang. Pemuda itu menodongkan wajah kotanya. Dengan bengis, ia membeberkan
kegilaan tentang dunia hilang. Menghilangkan sawah, ladang. Gadis belia itu? Ia
hanya bisa duduk dengan tenang, seraya seperti janjinya sehidup semati. Orang
kampung dijerat dengan kolom-kolom kebahagiaan. Semu tapi palsu, menambah
gundah hati yang dikebiri. Orang-orang kampung saat itu ditodong senjata,
menyerahkan ladangnya. Tak sanggup membayar hutang, dipaksa berpindah ladang,
hingga tak lagi menemu tanah untuk dipancang. Orang kampung berangkat mencari
kampung baru. Mereka tak sanggup berdampingan dengan pemaksaan di kampung ini.”
“Dahulu ladang ini
besarnya bukan kepalang, tapi pagi buta itu orang-orang suruhan pemuda kota mereka
membawa minyak-minyak. Menumpahkan dirigen besar ke ladang, membakar
pelan-pelan. Nyala api itulah api kehidupan di kampung kami pada hari-hari
berikutnya. Tak ada yang lain, setiap hari satu ladang sudah rata dengan tanah.
Mereka duduk, menghisap rokoknya, setelah habis mereka berpindah ke ladang
lain. Tampak dari matanya ada kegembiraan telah meluluhlantakkan jiwa-jiwa.
Kampung dipaksa menjadi mimpi kota.”
“Kampung dengan cepat
dilalap api. Tak ada lagi ladang, petak sawah atau karet-karet yang ditunggu
panen. Semua digarap dengan keserakahan. Pemuda itu datang dengan membawa
logika kota. Ia mendepak adat kampung kami. Tebing yang menghadang dipecah,
ditukar menjadi lautan perniagaan orang-orang seberang. Orang yang wajahnya tak
serupa dengan kami. Saat itu aku merasakan gadis itu adalah tulang rusuk yang
setengah hidup. Menunggu dikubur bersama orang-orang kampungnya. Lalu, generasi
selanjutnya akan menangis di pusara pemakaman dan memperingati setiap tahun apa
yang dirasakan.”
“Inilah kampung itu,
selama puluhan tahun mereka selalu membakar kampung ini. Mereka mengajari
kegelisahan untuk membakar apa yang belum terbakar. Wajah-wajah kampung
dibakar, bara api dimana-mana. Selama puluhan tahun kampung ini dibakar pelan-pelan.
Orang-orang kampung diusir dengan perlahan. Kampung ini gelap, tak ada lagi
matahari. Kau tak akan menemukan pagi, siang atau malam. Kau harus berlayar ke
seberang untuk menikmati mentari pagi. Disini, membakar adalah sebuah kewajiban
tradisi yang harus dijaga. Kampung ini sudah berubah arah. Mereka percaya bahwa
asap dari lahan terbakar itu adalah keberuntungan. Semakin banyak kabut asap,
maka semakin banyak keberuntungan. Burung-burung mencari rumah baru. Orang adat
sudah tua, menunggu mati berganti dengan generasi yang hilang arah. Diajarkan
menghirup kabut asap agar mereka sadar bahwa asap adalah belahan jiwanya.”
“Kini kampung itu
berubah menjadi kota. Persis seperti mimpi yang diimpikan oleh ketua adat
kampung kala itu. Gadis itu berhasil ia nikahi, kampung itu ia ubah wajahnya
jadi kota. Matahari segera diganti dengan nyala api. Dimana-mana api
berterbaran, orang-orang gembira, bersenang-senang. Anak-anak di kota ini pun
diberi nama dengan kabut atau asap. Itu adalah nama keberuntungan, sebab jika
ia mati kelak pasti ia masih dalam keberuntungan. Kota dipenuhi ruko-ruko,
dibalik ruko masih ada api yang membara. Orang-orang dengan tangan berminyak,
bersiap memantikkan api. Pelan-pelan dan menjaga agar tidak ada yang
memadamkan. Saat asap itu datanglah kami mulai terbiasa menggunakan penutup
wajah ini. Menyaring asap keberuntungan. Setiap hari, waktu dan tak akan
berhenti. Kami senang dan riang. Orang-orang datang, ikut membakar dan membawa
saudaranya untuk membakar.”
“Jadi itu yang
menyebabkan ...?”
“Pasang lagi maskermu!
Setelah ini baru kita ke pusara Kakekmu.”, ucap nenek sambil menggerus derasnya
rintih air mata di pipinya.
Komentar
Posting Komentar