Teater yang Berpihak pada Penonton
Teater yang Berpihak
pada Penonton
(catatan teater
pada PAT 5, Padangpanjang)
Oleh Rian Harahap
Ratusan
orang bertepuk tangan riuh melihat penampilan Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR)
dalam penampilannya di teater arena, Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang.
Pasalnya garapan yang diangkat seputar tradisi lokalitas yang sangat jarang
ditemui dalam pertemuan tingkat nasional seperti Pekan Apresiasi Teater 5.
Integritas tradisi lokal yang membaur dan dikonsep dalam pemanggungan yang
modern tak pelak membuat decak kagum akademisi maupun penikmat teater. Naskah
yang berjudul ‘Kitakah Laksemana Itu?’ mengangkat kearifan lokal Riau yang
membeberkan kisah-kisah yang sudah lama tak dijumpai dalam buku-buku pelajaran.
Nama-nama besar seperti Hang Tuah, Hang Jebat dan Tun Teja sekedar mengingatkan
anak-anak kita saja pada sejarah klasik tanpa sedikit pun ingin meneliti apa
kisah yang sebenarnya terjadi di tanah melayu ini. Namun setelah pertunjukan
ini hamper semua yang berada disana ingin menilik lagi kisah tradisi ini.
Berhasilkah pementasan yang ditaja STSR ini?
Dramatisme
adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau
kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox, 2002). Jelaslah Deni
Afriadi ingin menyampaikan pementasan ini dalam bentuk Brechtian. Hal ini
diketahui dengan memasang dengan jelas alur-alur dan gimmick yang tak sekedar realism belaka. Ada hal yang ingin
dikisahkan namun dengan sengaja ia mengutak-atik pertunjukan bagian demi
bagian. Hal ini pulalah yang menjadi pro-kontra dalam pementasan yang
dikonvensionalkan oleh akademisi lain. Dalam pemahaman mereka teater bangsawan
yang ingin disampaikan oleh STSR adalah pemanggungan yang istana sentris serta
dengan kemampuan aktor yang gagah dan penuh wibawa dalam setiap dialognya.
Seperti Hamlet maupun Romeo dan Juliet. Inilah kiranya yang menjadi bahan
kebingungan penonton dimana mampu membuat pertunjukan menjadi sampai meski
harus mengubah alur cerita yang konvensional.
Seperti yang kita ketahui teori teater yang digagas
Brechtian merupakan antitesis dari teori tragedi Aristoteles yang
disebutnya sebagai teater dramatik. Sedangkan teater yang berdasarkan
gagasannya itu dinamai sebagai teater epik, yakni suatu jenis pertunjukan yang
dianggapnya paling cocok untuk menghibur orang-orang yang berada dalam abad
ilmu pengetahuan. Bila teater dramatik memiliki tujuan untuk mencapai katarsis,
maka teater epik bertujuan agar penonton sadar tentang kondisi kehidupan yang
ada di sekelilingnya. Dalam teater epik empati, atau keterlibatan emosional
penonton terhadap pertunjukan, dihindarkan, tapi justru ia disadarkan bahwa
yang ditontonnya itu bukan peristiwa sungguhan, namun hanya pura-pura. Untuk
mencapai ke arah itu, maka diciptakanlah V-Effect atau biasa disebut efek
alienasi. Melalui efek alienasi itulah penonton seolah-olah diganggu
kenikmatannya dalam menyaksikan tuturan-tuturan peristiwa di atas pentas.
Diharapkan dengan terjadi seperti itu, penonton dapat menjaga jarak dengan yang
ditontonnya, dan kemudian bisa menilai secara kritis masalah-masalah yang
tersaji dalam pertunjukan yang sedang dinikmatinya tersebut. Teater epik tampak
memiliki kemiripan dengan teater tradisional Indonesia yang senantiasa
membaurkan antara dunia nyata dan dunia reka. Tapi apakah “interupsi-interupsi”
yang seolah-olah mengganggu kenikmatan dalam menyaksikan pertunjukan teater
akan memiliki efek yang sama dengan teater Barat? Apakah teater
tradisional yang dimainkan oleh STSR itu tepat dianggap sebagai teater epik
Brecht?
Lalu
kita tilik lagi pementasan selanjutnya yang juga membuat ‘bulu kuduk’ penonton
berdiri. Studyclub Teater Bandung yang merupakan grup teater modern tertua di
Indonesia dengan bangga mampu mempersembahkan sebuah pertunjukan spektakuler
dalam acara tersebut. Naskah ‘Pagi Bening’ karya Serafin dan Joaquin Alfarez
Quintero dengan sutradara IGN Arya Sanjaya. Menampik sebuah ketidakpercayaan
dan dialog dari naskah Irwan Jamal dalam ‘Aktor-Aktor yang Tersesat dalam Drama
Tanda Tanya (2008)’ bahwa seorang aktor harus tetap bertahan kecuali dia mati
dan mengundurkan diri. Itu semua dijawab oleh pemeran Gonzalo yang berumur
tujuh puluh lima tahun yang juga merupakan pendiri grup teater tersebut. Ia tak
hanya sendiri lawan mainnya pun berumur enam puluh delapan tahun. Kesetiaan
mereka pada panggunglah dan pengalaman yang mematahkan semua pertanyaan dalam
naskah Irwan Jamal tersebut. ‘Pagi Bening’ diangkat dengan konsep pemanggungan
yang realistis. Mengikuti aturan-aturan yang dipaparkan Aristoteles dengan
jelas.
Dalam
tulisannya yang berjudul Poetics, Aristoteles mendefinisikan tragedi
sebagai berikut:
….is
the imitation of a good action, which is complete and of a certain length, by
means of language made pleasing for each part separately; it realies in its
various elements not on narrative but on acting; through pity and fear it
achieves the purgation (catharsis) of such emotions
(merupakan
imitasi dari laku yang bagus, dan dari seseorang yang memiliki pengaruh yang
besar, dengan memakai bahasa yang menyenangkan untuk setiap bagian secara
terpisah; semua itu bersandar pada bermacam-macam unsurnya, tidak diceritakan
tetapi yang dilakukan; melalui rasa kasihan dan takut, untuk mencapai katarsis
dari emosi-emosi seperti itu.)
Keseriusan yang dimainkan Studyclub Teater
Bandung yang mempertahankan aturan-aturan dan normatik drama membuat penonton
tak ingin beranjak dan selalu dihinggapi rasa tegang. Inilah yang selalu dijaga
mereka dalam setiap pentasnya selama lima puluh tahun dan penonton juga
mengalami proses teater dalam menyaksikannya.
Hal yang terjelas adalah penciptaan rasa kasihan, iba dan takut dalam drama tragedi
tidak melalui cara-cara yang diceritakan, tapi melalui serangkaian aksi
yang menyambung antara satu dengan lainnya yang dilakukan oleh tokoh utama.
Menurut Aristoteles lahirnya lakuan di atas pentas bukanlah akibat dari watak
(karakter), tapi karakter merupakan hasil sampingan dari laku: “Without
action there could be no tragedi, whereas a tragedy without characterization is
possible” (Tanpa lakuan tidak akan ada tragedi, tapi tragedi tanpa
pengkarakterisasian masih memungkinkan) (Aristoteles:1982). Itulah yang
membedakan jelas Aristoteles dengan Brechtian.
Namun kembali lagi, bila saja fungsi menghibur itu diabaikan
menurut Brecht, misalnya menjadikannya sebagai pasaran moral, maka wibawa
teater menjadi terinjak-injak. Bukan berarti bahwa persoalan moral tidak boleh
masuk ke dalam teater, tetapi hal-hal yang berurusan dengan moral tersebut
harus menjadi sesuatu yang menyenangkan, atau sesuatu yang menghibur para
penontonnya. Tujuan utama penonton pergi ke gedung pertunjukan adalah agar dia
bisa terhibur oleh pertunjukan teater yang ditontonnya.
Persoalannya bahwa sesuatu
yang menghibur itu begitu relatif antara satu jaman dengan jaman lainnya. Artinya,
sesuatu yang awalnya menghibur, pada satu jaman tertentu, belum tentu akan
menghibur orang-orang yang berada di jaman yang lain. Anak-anak muda perkotaan
pada umumnya sudah merasa tidak terhibur lagi dengan pertunjukan randai,wayang,
makyong, mamanda, dll. Itu berbanding jika bagi anak-anak di jaman baheula,
justru pertunjukan randai,wayang, makyong, mamanda, dll menjadi suatu hiburan
yang paling digemari dan disenangi setelah dibalut teori Brechtian.
Namun meskipun jenis-jenis kesenian tertentu sudah tidak dapat menghibur lagi
bagi orang-orang yang datang kemudian, bukan berarti semua jenis kesenian masa
lalu tak lagi bisa dinikmati oleh para pewarisnya. Tragedi yang dianggap klasik
seperti karya Sophocles, Shakespeare, da Racine, sampai detik ini masih mampu
mempesona banyak orang. Begitu pula dengan pertunjukan randai,wayang, makyong,
mamanda, dll. Kendati telah banyak ditinggalkan, tak sedikit orang-orang yang
merasa terhibur, dan dengan demikian dapat menikmati pertunjukan
tersebut.
Begitulah kiranya antusiasme penonton dalam
acara tersebut keberhasilan belum mampu dijawab dalam rentang yang singkat.
Seperti tema yang diusung oleh ISI Padang Panjang yaitu ‘Keberpihakan Pada
Penonton’ pada 15-20 oktober 2012. Helat teater nasional ini menghadirkan STSI
Bandung, ISI Jogjakarta, ISI Padangpanjang, ISI Surakarta, IKJ, Sahita (Solo),
Mime Theater (Jogjakarta), Hampa (Malang), STSR (Riau) dan Studyclub Teater
Bandung. Pertunjukan teater yang baik
adalah ketika penonton mampu mengapresiasinya dalam bentuk konsep dan pemahaman
yang sama yang diinginkan sutradara. Proses teater itu terjadi jika cerita itu
sampai kepada penonton. Umpan balik pun akan terwujud dengan sendirinya melihat
begitu banyaknya rasa ingin tahu dan bergumul dalam proses yang telah kelompok
teater itu jalani. Brechtian atau Aristoteles tak pernah membuat konsep agar
teater dapat hidup tanpa penonton. Kewajiban pertunjukan adalah hadirnya
penonton meskipun hanya seorang. Lalu berpihak dimana penonton? Brechtian atau
Aristoteles?.
Rian
Harahap; Penulis adalah guru swasta dan penikmat teater.
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMSU. Tulisannya dimuat di media
nasional dan lokal.
Komentar
Posting Komentar