Sajak baru!


Perempuan nasi

Perempuan-perempuan itu menggenggam pacul dalam terik
Dengan harap aking akan mengepul di atas tungku nasi
Setelah subuh tak perlu mengecap teh maupun kopi
Riak-riak suara air dari irigasi disulam ke dalam tenggorokan

Perempuan-perempuan itu bergerilya mengalahkan lelaki
Membuang kasta, wangi maupun rupa-rupa bidadari
Sekantong mata masih lebam sisa kantuk semalam
Namun mentari semakin tinggi, susu takut tak terbeli
Sebab esok masih ada mentari yang melingkar seperti aking yang tak berubah nasi



















Kemana?

Esok guru masih meraba dalam membaca
Seperti angin yang lupa kemana arah timur, barat, selatan dan utara
Terhembus wajah buku-buku yang tak punya toleransi
Seperti pahlawan tanpa senjata, seperti sungai tanpa arus

Memikirkan masa depan bak purnama dalam keredupan
Seikat bulan ditetaskan lembah-lembah merapi
Guru haruslah menggali kata dan makna dalam peluh yang terikat canda tawa bocah
Maka tak pelak semua akan menjadi pilar-pilar dan nyawa

Dedaunan akan jatuh bila masa telah tiba
Waktu melingkar dan mengikat tanpa hendak berulang
Pekiklah masa depan pemimpin bangsa
Tanpa lagi harus didikte dan dieja















Kota

Berburu di peraduanmu, menggendongmu dalam pelukmu
Menatap tanpa memandangmu, mengayuh meski sudah didekapmu
Semua begitu rancu dalam hingar bingar kota
Semua lenyap setelah dihembus asap dan bunyi gedung-gedung yang berpacu ke langit
Kemana senja di matamu? Kemana ungkapan sejuk seiring lagu-lagu?
Apakah tergilas di jalanan kota? Tak mampu kembali ke desa?
Aku tak ingin semua hilang dan lenyap tanpa sisa
Warna boleh merekah pilih tapi cinta tak bisa bertukar kata
Entahlah jika memang kau sekarang orang kota! 




















Rembulan di pematang

Banyak ragu yang mengonggok di kepala
Seputar mimpi-mimpi jejaka dan remaja yang tersangkut pula di tiang jemuran
Serupa celana dalam dan bra pekerja malam yang ternyata anak manusia
Masih manusia yang punya adab namun biadab hingga lupa siapa yang menjadi raja
Entah menemu sua yang hanyut dalam kerongkongan singa lalu tercampak ke parit-parit demokrasi
Seiring itu pula ratusan kepala dihargai puluhan ribu untuk mati di atas peluru
Banyak ragu yang masih sulit dicerna
Seperti pagi yang datang dengan mentari dan malam pada rambulan
Lalu pematang sawahku tak juga beranjak dari himpitan bulan
Langit belum musnah, enyahlah rembulan
Pergilah dari pematang ini bukan saat bernostalgia kata
Rembulan di pematang, meragukan

Komentar

Postingan Populer