UN, Lebih dari Sekedar Ujian


UN, Lebih dari Sekedar Ujian
Oleh Rian Harahap, S.Pd
Kecenderungan sistem pendidikan Indonesia yang mematok sesuatu harus dilegitimasi dengan ujian membuat beberapa sektor menjadi rancu. Masih ingat lagi beberapa tahun yang lalu di Sumatera Utara guru membuat sebuah bentuk perlawanan terhadap UN. Komunitas yang diberi nama ‘Air Mata Guru’ ini mengedepankan penolakan terhadap penzaliman kepada murid-muridnya. Apa pasal? Semua bermula dari ketidaklulusan peserta didik mereka yang cerdas namun ‘tidak lulus’ hanya karena mengikuti ujian selama dua jam. Pengorbanan mereka yang terus tetap konsisten dalam prestasi bahkan pernah mengharumkan nama negara harus pupus dengan UN. UN sebenarnya bukanlah momok yang mereka takutkan namun seketika  menjadi simbol terang yang ‘mengeksekusi’ mereka yang pantas melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Contoh di atas hanyalah satu dari sekian ribu pengadUN dari mereka guru yang peserta didiknya tidak lulus. Kesalahan bukan pada UN. Ada hal yang lebih harus dianalisis dalam menjalankan keputusan UN itu sendiri.
Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.
Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputus pada 14 September 2009 lalu oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said.
Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).
Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Presiden SBY, Wakil Presiden JK, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang S, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.
Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN. Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi ganggUN psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.
Amunisi Terakhir Pemerintah, Peninjauan Kembali (PK)
Meski MA melalui putusan perkara dan kasasi bahwa pemerintah dilarang melaksanakan UN sebagai standar baku kelulusan siwa. Namun, pemerintah masih bersikeras agar UN tetap dilaksanakan. Untuk melegalkan misi itu, pemerintah SBY melalui menteri Menteri Pendidikan Nasional dan BSNP akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan agar Ujian Nasional (UN) dilarang. Inilah satu-satunya amunisi yang tersisa bagi pemerintah untuk melegalkan pelaksanaan UN.
Bila PK ini dimenangkan oleh pemerintah SBY, maka UN 2010 akan legal dilaksanakan. Namun, jika PK ini ditolak, maka secara yuridis pemerintah dilarang melaksanakan UN 2010. Ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah terutama Mendiknas. Pelaksanaan UN tanpa dasar hukum berpoteni menjadi tindakan kriminal kepada negara karena telah ‘menghabiskan anggaran negara untuk kegiatan berlawanan hukum”.
Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan, menyimpang dari amanat undang-undang yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar – mengajar.
Sebagai sebuah proses, pendidikan memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tapi, perubahan yang mengabaikan banyak hal, justru membuat pendidikan lebih terpuruk. Tak dapat dipungkiri, selama pelaksanaan UN, masih banyak persoalan yang muncul. Mulai dari kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga menghalalkan segala cara untuk mendongkrak nilai UN demi meningkatkan marwah sekolah atau daerah. Lebih dari itu, sindrom kecemasan yang timbul, menjadi teror bagi guru, orang tua.
Anggaran UN yang Mahal vs Paradigma Pendidikan
Pada tahun 2009, pemerintah menghabiskan 572 miliar rupiah (setengah triliun) untuk pelaksanaan ujian nasional. Namun sayangnya, anggaran negara yang besar yang dikeluarkan untuk pelaksanaan UN 2009 masih sarat dengan praktik ketidakjujuran.
Banyak sekolah membocorkan ataupun memberikan kunci jawaban kepada siswa-siswinya ketika UN. Para pengawas [termasuk pengamat independen] lebih banyak bungkam melihat realitas tersebut. Tidak sedikit guru bahkan kepala sekolah memberi bocoran kunci jawaban agar pamor sekolahnya bertahan ataupun naik jika semua siswanya lulus atau bahkan lulus dengan nilai tinggi. Hal ini bahkan terjadi secara sistematik yang mana kepala dinas pendidikan di beberapa daerah tertentu ikut ‘memfasilitasi’ kecurangan UN di wilayahnya.
Dan yang paling parah adalah terjadinya ‘mafia kunci UN’. Pada subuh hari, oknum diknas bekerja sama dengan mafia untuk mendapatkan soal UN sekaligus pada pagi-paginya memberikan kunci jawaban kepada ‘pemesan’, baik siswa, orang tua siswa, maupun pihak sekolah.
Ketidaksiapan penyelenggaraan UN yang bersih dan jujur, membuat dunia pendidikan menjadi tercoreng. Pendidikan yang bertujuan untuk mendidik ilmu pengetahuan dan moralitas siswa didik pada akhirnya  berbalik mendidik ketidakjujuran pada siswa. Hal mendasar lainnya adalah pelaksanaan UN tanpa persiapan yang memadai secara langsung mendidik sikap mental siswa untuk mencapai sesuatu secara instan. Sehingga baik siswa maupun tenaga pendidik  cenderung terbentuk manusia berwatak ‘instan’.
Disamping itu, mulai terjadi pergeseran paradigma para pendidik. Banyak tenaga pendidik di sekolah-sekolah merasa bahwa mereka mendidik siswa-siswi hanya  untuk meluluskan siswanya dari UN. Proses panjang dalam belajar-mengajar selama 3 atau 6 tahun, hanya ditentukan 3-5 hari Ujian. Hal ini semakin jauh dari esensi pendidikan yakni mendidik. Sekolah dan tenaga pendidik semulanya berperan besar pada mendidik siswa dalam pengetahuan, etika dan moral, kini cenderung mengajar bagaimana lulus UN.  Hal ini pun dimanfaatkan bermacam-macam lembaga pendidikan, baik diluar sekolah maupun di internal sekolah [menjadi alasan sekolah menarik iuran dari orang tua].
Best Solution
Selama masih terjadi ketimpangan pemerataan kualitas sekolah di berbagai daerah, maka UN tidak  cocok digunakan untuk menentu kelulusan siswa. Kelulusan siswa hanya dengan melihat nilai UN sungguhlah tidak fair. Lulus atau tidaknya seseorang dalam suatu sistem pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ‘otak’, namun juga harus memperhatikan ‘hati’ atau etika. Oleh karena itu, maka lebih baik fungsi UN dikembalikan seperti fungsi Ebtanas (Evaluasi Tahap Akhir Nasional) yang di-upgrade.
UN menjadi pondasi penting jika ditilik dengan seksama dan penuh khidmat. Namun dengan keseriusan yang terlalu andil maka tak bisa tidak UN harus dipikirkan lagi matang-matang. Sebelum guru pula yang menjadi korban dari kebijakan ini. Semoga.

Komentar

Postingan Populer