Anak Mayat dan Penafsiran yang Panjang



Anak Mayat dan Penafsiran yang Panjang
: sebuah catatan kritis episode Peterakna

oleh Rian Kurniawan Hrp
 “Hina besi karena berkarat, hina manusia karena tak beradat”
Barangkali petikan dialog tersebut cukup padat untuk dibenturkan pada kondisi nyata masyarakat kita saat ini. Dialog itu membuat cambuk tersendiri bagi masyarakat urban yang sekiranya mulai meninggalkan norma-norma adat yang dahulu dijunjung tinggi. Adapun petikan dialog itu adalah salah satu ujaran yang keluar dari mulut seorang aktor yang tengah menatap tajam ke arah penonton. Aktor yang berperan sebagai Raja Kecik tersebut tampak benar-benar menghayati dialognya. Wajahnya pun menampakkan raut yang begitu sedih.
Sebuah pementasan drama berjudul Anak Mayat dihadirkan oleh kelompok teater Latah Tuah UIN Suska Riau. Garapan drama bangsawan yang bersempena dengan miladnya yang ke-20 tahun ini menjadi sebuah helat yang cukup dahsyat. Dengan menghadirkan kurang lebih 100 pendukung pementasan. Tak tangggung-tanggung, pementasan drama yang berdurasi 2 jam ini digelar tiga malam berturut-turut. Mulai dari 19-21 oktober 2016 di Anjungan Seni Idrus Tintin, Komplek Bandar Serai. Ini merupakan sebuah pencapaian besar, disaat pengkaderan organisasi  untuk melahirkan insan-insan  drama di kampus sedang stagnan. Mereka terus bergeliat dan bahkan mampu mementaskan sebuah karya besar dari tahun ke tahun diluar areal kampusnya. Ihwal drama di kampus sebenarnya ialah wadah pengembangan kreatifitas dan kesenian oleh kalangan akademis non jurusan seni. Mereka secara aktif dan berkesinambungan terus melakukan pencapaian-pencapaian kesenian.
Kelompok drama Latah Tuah ini mencoba menyuguhkan drama bangsawan yang merupakan ciri dari setiap pementasannya. Selama hampir 20 tahun semenjak 1996, identitas kebangsawanan itu memang sudah jatuh pada diri Latah Tuah. Pada episode Anak Mayat pun tentu menjadi perhatian dan perbincangan serius di kalangan insan drama di Riau pada umumnya. Sejatinya sebuah pementasan drama mesti diapresiasi sebagai tolok ukur keberhasilannya mementaskan karya. Bagaimana pun helat yang ditaja sebuah kelompok  tersebut mampu membuat mata penonton terkesima, mestinya ada hal penyeimbang sebagai cermin ‘mengukur diri’ agar lebih baik kedepannya.
Menyaksikan helat drama Anak Mayat, naskah yang ditulis SPN GP Ade Darmawi, kita akan disuguhkan teks-teks yang cukup bermakna, penuh dengan sentuhan pepatah dan ujaran-ujaran bijak. Secara teks, naskah drama ini sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat dari alur naratif yang bergerak tidak diduga-duga. Seakan-akan mampu membawa kita pada ruang tunggu, yang tak tahu sedang menunggu hal baru apa lagi yang akan datang. terang saja kekuatan teks naskah ini bisa menjadi sebuah kekuatan dalam merepresentasikan di atas panggung. Naskah sebagai bahan yang harus ditafsirkan secara utuh oleh sutradara mestinya dikaji bersama-sama aktor dan tidak sepenggal-sepenggal.
Drama Tari
Menyaksikan pementasan ini kita memang sedang benar-benar menyaksikan drama bangsawan. Dialog yang panjang, gerak yang kokoh dan tampak heroisme yang menyala-nyala pada setiap tekanan tempo, nada maupun dinamiknya. Pembacaan dialog seperti itu memang sudah menjadi baku, layaknya ‘pil’ wajib dari sebuah karakter bangsawan. Namun berbincang tentang keseimbangan, maka pertunjukan drama pada dasarnya adalah lakon aktor. Sehingga jika ada pementasan drama yang menyuguhkan hampir separuh dari durasinya hanya untuk menunjukkan sebuah tari-tarian, tentu ini sangat mengganggu. Terlepas dari konsep yang sedang dirancang oleh sutradaranya sendiri. Hakikatnya adalah kita sedang menonton pertunjukan drama. Jika pun ada tarian yang dimaksudkan sebagai penguat alur dari naskah tersebut sebaiknya tidak mengaburkan pertunjukan itu sendiri.
Dalam pentas ini, diawali dengan lenggang zapin sebanyak 23 orang. Penulis sebagai penonton malam itu memang benar merasakan bahwa konsep kemelayuan sudah benar-benar coba dihadirkan di tengah panggung. Akan tetapi, ketika setiap adegan mesti digambarkan dengan tarian. Apalagi mak inang dan bujang, serta beberapa ‘pembersih’ istana melakukan tarian. Seakan-akan membuat pertunjukan disengaja untuk mengulur waktu, ditambah lagi dengan pesta di kerajaan Johor. Dimana pembesar istana joget dengan beberapa wanita. Penggambaran kegembiraan memang sah saja jika disimbolkan lewat gerak tari. Namun ada kejenuhan dari tari-tari yang begitu lama durasinya. Andai saja tarian itu sebagai pemantik suasana, ataupun wajah dari penggalan adegan tak perlu dengan durasi yang panjang. Penulis merasa sedang menonton drama tari, yang setiap adegannya diartikan lewat gerak. Lantas apakah pelakon-pelakon yang dihadirkan di atas panggung menjadi penyeimbang tarian atau malah tarian itu sebagai suguhan utama.
Jika seorang aktor mampu didaulat untuk memiliki lebih dari satu keahlian, misalnya bernyanyi dan menari tentulah akan membuat nilai tambah dari sebuah pementasan tersebut. Perjuangan sutradara yang mencoba meramu tubuh seorang aktor memiliki fungsi lebih dari peran, mesti mendapat apresiasi positif. Strategi panggung dari sutradara yang menjamah nilai-nilai bunyi vokal serta alunan nada, begitu juga dengan hentak dan lenggang menjadi kepuasan tersendiri bagi penonton. Ada harapan sajian tersebut mampu memukau dan mendapat decak kagum dari penonton sebagai bagian tidak terpisahkan dari euforia pementasan. Namun kecenderungan itu sejatinya tidaklah dipaksa, sehingga nilai dan momen penting seni peran ‘tenggelam’ dalam pertunjukannya itu sendiri.
Pembacaan pentas dengan tarian sebagai pembuka dan penutup adegan dianggap benar bagi sebagian kalangan untuk memperkuat ruh bangsawan itu sendiri. Pola pemanggungan seperti ini juga membuat sutradaranya terjebak dengan tarian-tarian yang juga hadir dalam setiap adegan-adegan inti pertunjukan. Anak Mayat masuk dan tercebur pada kesimpulan bahwa tarian ‘dianggap’ menjadi senjata paling ampuh menghadirkan suasana bangsawan pada pentasnya kali ini.

Menafsirkan Porsi dan Proporsi Panggung
Mengutip tulisan Harry Dim (2011) dalam Badingkut-Jalan Teater- bahwa, “Penglihatan penonton terhadap tata pentas dan susunan pelaku (aktor dan aktris) di atas pentas, itu relatif sama dengan ketika ia melihat komposisi gambar atau pun prinsip-prinsip artistik pada lukisa. Satu-satunya yang membedakan bahwa pelukis menyajikan karyanya di atas bidang datar, sementara sutradara dan penata panggung menyajikannya di dalam sebuah kedalaman ruang. Pelukis bekerja di atas bidang 2D, sutradara dan penata pentas bekerja dengan 3D.”

Penggambaran ini mengajak imajinasi penonton untuk melangkah jauh ke dalam ruang, serta partisi-partisi yang menjulang tinggi seperti 3D. Setidaknya inilah yang tampak pada dinding-dinding berukiran motif pucuk rebung dengan kombinasi kuntum dewa 3D. Pucuk rebung yang memiliki makna atas kekuatan yang muncul dari dalam sementara kuntum dewa memiliki tafsir sebuah nilai semangat kepahlawanan dari kerajaan melayu itu sendiri. Barangkali sutradara muda ini dengan sengaja, menghantarkan ingatan penonton pada tiga malam berturut-turut itu pada sebuah kemewahan kerajaan Johor (baca:melayu) dengan partisi-partisi yang menjulang tinggi. Nilai-nilai kemelayuan yang diguratkan lewat seting panggung tersebut, menjadi core value yang tak bisa dibendung untuk terus masuk ke pembacaan penonton pada panggung. Singgasana raja dengan corak emas, mengingatkan secara simbolik bahwa warna emas hanyalah dimiliki oleh darah biru atau keturunan raja-raja. Dalam hal ini, penonton merasa masuk dalam ruang tafsir sutradara dalam pemilihan ruang dan waktu.
Sutradara amat jeli, memilih warna serta kain-kain penutup bagi pentas kali ini. Ia memadu padankan kemewahan tersebut dengan model tanjak yang begitu mewah. Penulis sendiri, tidak menemukan petinggi kerajaan yang tak mengenakan tanjak. Sejatinya inilah gambaran kekonsistenan dari sebuah garapan bangsawan. Ia memang harus benar-benar hadir di panggung, meskipun banyak ‘masalah pelik’ untuk menghadirkan segala kelengkapan drama bangsawan itu sendiri ke atas panggung. Menurut hemat penulis, di masa saat ini cukup sulit untuk menampilkan drama dengan kelengkapan seperti itu (baca:masalah pelik).
Terlepas dari semua itu, porsi yang ditakar secara sempurna menjadi sesuatu yang hidup di atas panggung. Set panggung tidak hanya menjadi pandangan dan pajangan. Ia memiliki ‘daya ledak’ bagi pentas drama. Tinggal lagi porsi tersebut pun haruslah proporsional, tanpa keselarasan dan keseimbangan, tentulah beban panggung akan semakin berat dengan meninggalkan set megah sebagai barang-barang mati hanya untuk diduduki atau pun dipijak. Menonton drama bangsawan Anak Mayat penulis menggarisbawahi ketidaktelitian pembuatan set singgasana. Dimana penulis mencatat, ukiran di atas atap singgasana harus jatuh sebanyak tiga kali. Hal ini menandakan bahwa dalam membuat hal besar, bahkan hal kecil seperti menjepit dengan peniti atau paku haruslah benar-benar kuat dan kokoh, jika tidak alhasil akan membuat fokus penonton kabur. Ini bisa terlihat dari penonton yang beberapa kali terkejut dan membuat suara mendesis seperti keluhan hal itu berulang kali terjadi.
Akhirnya kemampuan aktorlah yang menjadi kekuatan selain teks itu sendiri memiliki kemagisan untuk memikat penonton. Aktor mestinya memiliki kemampuan di wilayahnya, mencoba merambah cabang seni lain yang saling berkaitan, melebihi seni peran, apalagi dalam sebuah pementasan teater bangsawan. Begitu juga dengan proporsional panggung dengan set yang luar biasa megah. Tentunya ini semakin menambah kekuatan pentas itu sendiri. Disamping hal lain yang memang penulis tidak kaji karena dua hal tadi benar-benar menguras fokus penulis untuk diulas lebih dalam.
            Pentas bangsawan Anak Mayat diharapkan mampu kembali, mengulang masa-masa romantisme dahulu. Saat drama bangsawan begitu digemari di tanahnya sendiri-Riau daratan dan Kepulauan. Jika drama bangsawan ini datang dari kampus, yang memang tidak mempelajari kajian drama secara akademis. Catatan ini sekiranya menjadi sangat perlu sebagai ruang-ruang kritis pembangun kerangka berpikir kaum mahasiswa yang mencintai drama, terlebih drama bangsawan. Penulis berharap akan banyak drama dan episode bangsawan yang terus berlakon di atas panggung Anjungan Seni Idrus Tintin.
Menangkap sebuah dialog bernas dari seorang Patik dalam Anak Mayat, “Daulat Tuanku Nan Hilang, Marhum mangkat dijulang. Hari ini hamba tunaikan hutang wasiatku tuanku. Kepada cucunda hamba, Raja Kecil Putra Cik Apong”
Mungkin ini bukanlah dialog terakhir episode Peterakna? Ada kecenderungan untuk melanjutkan dialog ini. Semoga dialog ini berlanjut dan ketelitian bahwa drama tetaplah drama, menjadi hal utama dalam bangsawan dan bukan tarian.
Syabas 20 tahun, Sanggar Latah Tuah!
Rian Kurniawan Hrp adalah peraih sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Magister Pendidikan UNRI. Pembelajar dan penikmat teater serta beberapa kali terlibat dalam pementasan teater di Anjung Seni Idrus Tintin.

Komentar

Postingan Populer