Merayakan Pertunjukan Simbol “Ekstase Kemoceng”



: sebuah catatan kritis perjalanan tur teater Rumah Mata
oleh Rian Harahap
Panggung yang sengaja dibentuk seperti arena dikejutkan dengan seting tali temali yang mengait satu dengan lainnya. Sejatinya tali tersebut mengikat dengan simpul dan kain-kain yang menjuntai di beberapa bagian. Sebuah kursi disinari lampu par, tepat ditengah dan tiba-tiba muncullah suara racauan dari belakang penonton, menyumpah serapah, tak jelas dengan konvensi lingua negara dan benua belahan dunia mana.
Itulah gambaran awal dari sebuah pertunjukan yang dinakhodai oleh Agus Susilo, punggawa teater Rumah Mata dari kota Medan. Pertunjukan berdurasi lima puluh menit tersebut digelar pada Sabtu malam (12/3) di Gedung PKM UIN Susqa Riau. Ini adalah kota ketujuh, dari sebelas kota rangkaian tur pertunjukan teater mereka. Setelah Jakarta, Bandung, Lampung, Bengkulu, Jambi, Padang, Pekanbaru maka akan dilanjutkan menuju kota berikutnya yaitu Aceh, Sibolga, Berastagi dan diakhiri kota Medan.
Agus Susilo memang sudah tidak diragukan lagi dalam peta teater Sumatera Utara, seniman yang biasanya mangkal di Taman Budaya Sumatera Utara ini, acap kali mementaskan monolog dan menciptakan aktor-aktor baru. Mungkin inilah yang kembali diramu oleh beliau (Agus) menjalankan ‘proyek’ investasi aktor masa depan. Dalam perjalanan tur selama kurang lebih satu bulan ini. Beliau hanya membawa dua orang aktor yang masih “baru” dalam dunia teater sebutlah namanya, Hayyun Kamila dan Ajeng Prakoso, termasuk dengan dirinya sendiri. Maka dengan beranggotakan tiga orang tentu saja ini menjadi pementasan yang cukup “menguras” tenaga jika tidak disusupi dengan taktik dan strategi yang baik. Dimana semua unsur yang mesti ada dalam pementasan dan digarap oleh profesional dibidangnya digantikan oleh mereka yang hanya berjumlah tiga orang, dan ini juga bukan pementasan monolog, sekali lagi bisa diterjemahkan bahwa mereka bertiga memang beradu peran di atas panggung.
Sedikit merefleksikan sejarah, teater kini menjadi asing di telinga masyarakat. Untuk mencegah kepurbaan teater itu sendiri maka insan teater mesti terus bergiat menjamah ruang-ruang kosong, lapak-lapak yang sepi atau rumah kosong yang tak bertuan. Intinya adalah memasyarakatkan teater, persis seperti masa kejayaan dahulu di era tahun 20-an hingga 90-an. Saat orang-orang masih mau duduk berlama-lama, mengajak keluarganya menonton, hiburan, kesenian dan pembelajaran yang bisa dimaknai dalam setiap pentas teater.
Penulis ingat betul, teater dari pulau Sumatera di era 60-an yang sukses bermain kelling Indonesia, menembus pulau Jawa adalah Teater Nasional dari Medan pimpinan Darwis Rifai Harahap. Periode kini, teater di Pulau Sumatera masih terus mengupayakan kondisi pemasyarakatan teater itu tadi, sebut saja Teater Satu (Lampung), Teater Sakata (Sumbar), Teater Selembayung, Teater Matan dan Teater Latah Tuah (Riau). Mereka terus bergiat mementaskan karyanya hingga dari kota hingga ke ceruk-ceruk kampung demi memperkenalkan dan mengupayakan masyarakat mencintai dunia teater.
Ekstase Kemoceng: Kekuasaan
Tali-tali yang mengait satu sama lain, merupakan kumpulan kekuasaan yang mengikat satu sama lain, itulah yang ingin digambarkan dari pertunjukan absurd oleh Agus. Ia sebagai seorang sutradara dan penulis naskah ingin menghadirkan kekuasaan di atas panggungnya. Dengan racauan yang tidak jelas fonem dan morfemnya, ini bisa dikatakan sebagai bahasa eksperimen Agus sendiri. Dalam dunianya ia meracau, sementara di sisi panggung lain ada seorang perempuan bermain biola dengan nada-nada minor, perempuan satu lagi, mengikatkan badannya dalam sebuah hola hop, ia seperti menggambarkan “pemasungan” jenis baru.
Lantas Agus yang memakai daster perempuan dan diposisikan dalam perut hamil, mencambuk tali-tali yang membentang di setiap sudut. Hubungan kausalitas yang terjadi menambat setelah tali dipukul maka seorang perempuan akan menangis, tepat saja perempuan yang menangis adalah perempuan yang dipasung dalam hola hop. Agus kembali mencambuk tali dan perempuan yang tidak terkena cambukan, tapi ‘seakan’ kena secara tidak langsung lewat tali-tali dan energi kembali berteriak. Penonton coba membenturkan, tragedi-tragedi yang Agus hadirkan di awal pertunjukannya. Namun penulis, melihat pertunjukan Absurd ini terlalu ekstrim untuk ditonton penonton malam itu. Agus yang meracau, kembali mencambuk, kembali meracau, kembali mencambuk tali dan menangis. Ada kejenuhan dari proses pembenturan yang tidak sampai pada teks yang dimaksud. Simbol tali yang mengait masihlah bisa dipahami oleh penonton, namun untuk cambuk dan tangis belum bisa dipahami secara logis.
Seorang perempuan yang bermain biola, didandani dengan kostum seperti mumi. Dengan balutan kain putih, ada pertanyaan besar lantas hadir. Apakah yang ingin dihadirkan Agus dengan pilihan kostum seperti ini untuk seorang pemain biola? Persepsi penonton kembali ditantang, memenuhi detik dan menit menyaksikan pertunjukan Absurd ini. Setelah 20 menit penonton dihadiahi dengan sebuah ‘kemandekan’ alur, Aktor berpakaian daster dan hamil (Agus) memulai kalimatnya dengan kalimat “Tuhan yang salah”, kemudian ia kembali berhalusinasi dengan kursi kosong seakan berdialog merayu. Lantas ia kembali menggunakan racauan dan dijawab oleh perempuan yang terpasung, “Kekuasaan itu betapa konyol”.
Ikatan tali kembali bergoyang, kekuatan seting dalam pertunjukan ini memang tampak sekali. Ketika cambuk dipukulkan ke tali, maka simpul tali yang lain akan bergerak terus sepanjang 5-10 detik. Agus kembali meracau, dan bertengkar, menarik rambut perempuan yang terpasung. Ia terlibat dalam percakapan bahasa ‘bulan’ yang hanya mereka sendiri yang paham. Lantas perempuan itu bertanya, “Mau kemana lagi kau?”. Agus menjawab, “Berak!”. “Kekuasaan itu seperti berak”, dan kembali mereka bertengkar, bermain tali dan diakhir dengan pengakuan-pengakuan hingga akhirnya mereka saling mengikatkan lehernya dalam kaitan tali-tali, persis seperti bunuh diri oleh tiga aktor.
Dibalik tepuk tangan penonton ada yang perlu dikritisi dari pertunjukan teater Rumah Mata Medan. Pertama, Kekuasaaan selalu ingin dimiliki orang memegang jabatan. Kekuasaan ini berpengaruh pada pementasan Agus. Ia ingin menghadirkan kekuasaan dalam simbol-simbolnya, tali yang mengait satu dengan lainnya. Cambukan-cambukan yang tidak hanya sekali, menunjukkan bahwa pria menguasai wanita, meskipun pria itu digambarkan mengenakan daster. Akan tetapi Agus boleh memaksakan idenya untuk diapresiasi penonton, namun ada hal yang perlu digaris bawahi pertunjukan ini juga seakan menunjukkan ‘kekuasaan’ Agus atas aktornya. Penulis tidak habis pikir dengan tugas yang diberikan pada seorang perempuan bermain biola, yang sepanjang pertunjukan ia hanya berdiri dan memainkan nada minor. Disinilah kekuasaan juga terjadi, seakan-akan dari keseluruhan pertunjukan dua aktor yang sedang ‘diciptakan’ menjadi aktor masa depan ini, malahan tidak diberi ruang yang pantas untuk mengeluarkan energinya.
Kedua, pertunjukan simbol. Benar sekali, pertunjukan ini adalah perayaan simbol. Simbol kekuasaan, simbol gender, simbol tragedi, jika dirangkum ini adalah simbol satire yang ditujukan kepada pemangku jabatan. Mereka yang sedang sibuk berkuasa. Penonton paham akan hal itu, akan tetapi penggunaan racauan bahasa bulan –sebutan mereka- tentunya tidak dengan serta merta bisa dipahami penonton dengan baik. Konsep teater tubuh absurd mungkin akan lebih mudah dicerna daripada racauan yang penonton sendiri sampai jenuh mengartikannya. Bahasa adalah konvensi atau kesepakatan. Jika penonton tidak sepakat dengan bahasa yang disampaikan dalam sebuah pertunjukan, maka akan terputus komunikasi.
Ketiga, Absurdisme adalah jalan berpikir. Absurdisme bukanlah sebuah pertunjukan yang secara terang-terangan menunjukkan gerak dan tekstual yang jelas, namun karena konsep itu tidak pula secara serta merta menggunakan hal-hal yang tidak berhubungan masuk dalam sebuah karya pementasan. Sebuah karya pementasan adalah karya ‘suci’ yang disiapkan seperti anak panah yang melesap ke pikiran penonton. Andai saja, konsep Absurdisme hanya bermodalkan agar orang tidak mengerti, orang menganggap aneh, dan tidak mampu mencapai klimaks pementasan. Tentu saja, ada arogansi yang ‘terlalu’ dalam pementasan tersebut. Bukankah sebuah karya harus mengilhami penontonnya, menjalin komunikasi.
Dari pertunjukan Ekstase Kemoceng yang dipentaskan hingga April dan di sebelas kota di pulau Jawa dan Sumatera. Penulis melihat ada potensi lahirlah aktor masa depan yang siap membangun pondasi teater Indonesia. Apalagi dengan bermain teater di masyarakat yang berbeda, strata, status, agama serta kondisi budaya kemasyarakatannya. Tentu saja Teater Rumah Mata sudah mengantongi catatan penting, kisah teater di Indonesia meski hanya separuh.  Agus Susilo sudah berhasil menghadirkan semangat dan menambahkan corak teater bagi pemikiran kita. Pertunjukan yang bermakna kekuasaan, sejatinya mengajak kita untuk mengingat bahwa kita hanya titipan dan kekuasaan itu pun titipan. “Kekuasaan terbesar hanya ada pada Tuhan”, ucap Agus disela-sela diskusi selepas pentas.
Rian Harahap adalah alumni Magister Pendidikan UNRI, penikmat teater dan beberapa kali terlibat dalam pementasan teater di Anjung Seni Idrus Tintin.

Komentar

Postingan Populer