Makan Asap- sebuah puisi duka

Setiap pagi kami sarapan asap,
Aku, istriku, anakku beserta mertuaku dengan semangat sarapan asap,
Aku sudah katakan, sarapan tak boleh menambah porsi,
Tapi mereka semakin senang dengan asap
Bahkan anak bungsuku membawa bekal asap untuk pergi sekolah
Disana ia akan membagikan bekal asap yang dibawanya untuk sahabatnya yang belum makan asap
Saat itu knalpot mobilku tak punya asap
Ia hilang dalam sarapan asap berjamaah kami
Aku juga katakan pada pembantuku untuk memasak makan malam asap
Bisa ditaburi dengan madu asap, atau keju asap
Apapun itu agar kami semakin kenyang dengan asap

Di TV pagi ilmuwan menemukan asap adalah cadangan terakhir makanan di bumi
Jika bumi bertabrakan dengan mars maka asap adalah penyelamat pangan manusia
Aku juga bawa asap di lampu merah, kuantar istriku dengan guru asap
Kumasuki kantorku dengan semua karyawan berbau asap
Kami semakin akrab dengan asap
Foto-foto gubernur dan walikota makin indah dengan asap.

Anak-anak belajar matematika asap, bahasa asap dan perkembangbiakan asap
Asap datang tiap waktu, menjenguk kami
Ia datang tak mau pulang, begitulah setia asap 

Di jalan-jalan orang-orang selfie dengan asap
Orang-orang sibuk mengumpat asap
Padahal umpatan itu tak akan didengar asap
Karena asap sudah lama hidup di tengah-tengah orang-orang
Banyak merasa jadi pakar lingkungan, merasa tahu apa itu asap
Padahal pakar negara saja sedang sibuk menakar rupiah yang juga hampir dimakan asap

Aku tak sabar menunggu makan asap, 
semoga malam ini ada dendeng asap, 
Aku akan mengundang tetangga makan asap
Kuundang cik Ramli dan koko Sen.
Mereka memang tak makan asap, tapi paling tidak mereka tahu kalau kami makan asap.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer