Absurd, roh teater yang selalu hidup.

Kita sebut saja Eugene Iunesco dan Samuel Beckett. Ya, mereka ialah dua penyair dan dramawan yang selalu patuh dan setia dengan konsep absurd. Absurd sendiri merupakan suatu yang berkesan dibanding jenis aliran lain dalam berkarya saat ini. Mulai dari segala bentuk karya baik prosa maupun rupa. Kita bisa menilik pada sebuah konsep yang ditawarkan oleh saja naskah komedi satir Inspektur Jendral karya Nikolai Gogol dan naskah absurd Menunggu Godot karya Samuel Becket, Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa.

Beberapa waktu lalu juga di Indonesia sedang berkembang aliran ini untuk berkesenian. Mulai dari teater kampus hingga teater yang berkembamg di masyarakat. Saya jadi ingat dengan teater kubur pimpinan mas Dindon WS dan Teater Payung Hitam pimpinan Rahman Sabur di pulau jawa. Mereka selalu pentas dengan berbalut absurditas. Sementara perolehan kepemahaman sendiri dn tanggung jawab pekarya terhadap apresiasi yang intens penonton diserahkan sepenuhnya kepada imaji penonton.

Secara etimologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Absurditas adalah suatu paham atau aliran yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal (absurd). Ini semakin memperkuat keyakinan bahwa absurditas merupakan solusi dari keberadaan yang realis saat ini. Absurditas tidak mampu lagi menggambarkan konflik dan latar yang menjadi dasar dalam sebuah karya. Maka pemilihan Absurditas menjadi hal yang kompeten dalam peningkatan dalam mempertahankan karya yang cukup memuaskan.
Menurut Albert Camuss dalam dunia absurd, nilai suatu pengertian atau suatu kehidupan diukur dengan kemandulannya. Proyeksi setiap babak atau adegan yang digambarkan harus melalui observasi yang reflektif sehingga bisa memecahkan batu kemandulan. Keseriusan dalam sebuah karya absurditas dianggap oleh sebagian orang sebagai karya sampah. Namun disinilah seorang pekarya bisa dianggap mampu dan bisa menjadi pemikir absurditas untuk diadopsi ke dalam karyanya. Tentu dengan mengedepankan benang merah yang selalu tersambung. Benang merah kerap kali menjadi batu sandungan dalam penggarapan sebuah karya absurditas. Pekarya tidak mampu mengedepankan mana hubungan yang sinkron antara satu adegan dengan adegan lainnya. Disinilah yang menjadi sisi kekalahan absurditas dengan realis.
Absurditas bisa dipandang menjadi sebuah kekayaan yang luar biasa ketika penontonnya bergetar jantungnya melihat dan terkagum diam setelah pertunjukan. Akan tetapi kembali tersirat sebuah pesan dalam bekal pulang mereka ketika keluar dari gedung pertunjukkan. Apakah mereka dapat pesan dari absurditas yang ditampilkan tadi?. Itu hal yang paling mendasar yang harus diapresiasi oleh pekarya yang membawakan karyanya jika ingin penonton mengerti dari setiap lakon yang dan bahasa verbal yang diucapkan aktor di atas panggung.
Secara filosofis, kita sering mengalami kegundahan ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan, apakah dunia ini disusun atas dasar harmonitas atau absurditas ? jika dunia tempat manusia berpijak ini dalam keselarasan, keseimbangan dan harmoni, lalu mengapa ada fakta kekacauan, kejahatan, kebrutalan, chaos, absurditas. Sejarah kemanusian kita lebih banyak menampakkan fenomena adsurditas. Masyarakat sering dirisaukan oleh penindasan orang-orang lemah, aksploitasi buruh, eksploitasi wanita hingga kejahatan seksual terhadap anak-anak. Inilah kenyataan dunia yang absurd.
Charles Ralo menulis, Analisis Camus tentang absurd dimulai dengan menunjukkan bahwa secara wajar orang menemukan dan cukup mudah untuk menerima kehidupan rutinnya sehari-hari. Tetapi dalam kehidupan rutin itu suatu hari timbul ‘mengapa’ suatu pertanyaan apakah hidup memiliki makna.”
Senada dengan hal diatas, dari beberapa tulisan tentang tokoh-tokoh teater absurd dapat kita ketahui, bahwa mereka lebih dahulu telah menguasai teknik konvensional sebelum menunjukkan pengungkapan yang lain, misalnya Eugene Ionesco (kelahiran Rumania), Arthur Adamov (kelahiran Rusia), Samuel Beckett (kelahiran Irlandia), Antonin Artaut (Kelahiran Prancis), Gunter Grass (Jerman Barat), Harold Pinter (Kelahiran Inggris), Ed-ward Albee (kelahiran AS), dll. Karena dasar pijakannya telah dikuasai, mereka jadi lebih kuat sewaktu memproklamirkan diri sebagai seniman absurd. Sehingga wajar jika Ionesco sendiri berkata bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai character without characters.
Bagaimanapun sebuah pertunjukkan, seabsurd apapun itu harus mampu menunjukkan benang merah sehalus apapun. Setting harus mampu “berbicara”, mampu dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Dan konsistensi sebuah pertunjukan juga harus dipertimbangkan dalam kaitankehadirannya di dunia maya, di alam bawah sadar. Perlu ada kesingkronan antara setting yang rapi dengan tokoh yang kelihatan tidak terurus. Analisis naskah tampaknya perlu digali lagi. Dan tidak ada hubungan dengan miscasting, dimana keberadaan tokoh yang masih terkesan terbata-bata dalam memaksimalkan pola akting yang terkesan sangat lambat yang hampir saja mengundang rasa kantuk, jenuh atau geli bahkan terkaan yang mengada-ada sehingga mereka lebih baik beranjak dari kursi penonton sebelum pertunjukan usai. Ini terlihat sebagai sebuah sindrom keterpaksaan berakting, belum menyertakan roh tokoh yang diperankan.
Terlihatnya keinginan pekarya muda yang suka melihat dan bergumul dengan absurditas menjadi sebuah penilaian tersendiri. Realis tetap hadir daam pertunjukan teater seprti biasanya namun absurditas menjadi sebuah bumbu yang selalu membuat cerita baru di selip lakon yang konvensional. Teater di Nusantara mencoba meramu apa yang telah Eugene Iunesco dan Samuel Beckett rintis ketika itu.
Bagaimanapun itu absurditas dianggap masih menjadi roh yang hidup dalam pertunjukkan teater. Keinginan para pekarya yang saat ini ingin mencerdaskan penontonnya memilih jalan absurditas sebagai ruang mediasi mereka berkumpul. Roh absurditas akan selalu hidup dalam pertunjukan teater di nusantara sebagai pembentuk kecerdasan imaji penonton. Meski kita tahu bahwa absurditas itu tidak masuk akal dan mustahil. Dalam hal ini tetap saja kita masih menghargai betapa sebuah karya harus diapresiasi dan diantar tepat pada konteksnya.
Dengan demikian teater dapat menemui jalan yang cerah dan membuang lepas batas dari kesibukannya yang tidak terkait dunia panggung. Absurditas juga bukan menjadi sebuah jalan keluar yang disarankan dalam hal ini. Sebab kecenderungan penentuan itu juga tergantung pada referensi dan andil pekarya dalam mennentukan sikap dan arah karyanya. Sekali lagi kita katakan bahwa Absurd adalah roh teater yang selalu hidup.
Rian Kurniawan Hrp (Rian Harahap)
Mahasiswa Pend.bahasa dan sastra Indonesia UMSU (2007)
Penulis lepas serta Aktor dan Sutradara di Teater Sisi UMSU, Medan


Komentar

Postingan Populer